Renungan 21 Juni 2012

St. Aloysius Gonzaga

Sir 48: 1-14
Mzm 97:1-2.3-4.5-6.7
Mat 6:7-15
Mengampuni berarti melupakan!
Hari ini seluruh Gereja katolik merayakan pesta Santo Aloysius Gonzaga (1568 – 1591). Dia dihormati sebagai pelindung kemurnian kaum muda katolik yang dilambangkan dengan seorang frater dan bunga lili (bakung).
Aloysius adalah putra sulung keluarga Castiglione. Ibunya memandang dia sebagai karunia istimewa Tuhan, sehingga ia membesarkan Aloysius dengan penuh perhatian dan bijaksana. Ibunya memiliki harapan bahwa kelak Aloysius dapat menjadi seorang imam. Ia pun mendidiknya dengan baik. Meskipun masih anak kecil, ia sudah bisa mengucapkan dengan penuh kepercayaan seruan ini: “Dalam nama Yesus dan Maria”. Ayahnya adalah komandan pasukan pada waktu pemerintahan Raja Philip II. Ia berharap bahwa kelak Aloysius dapat menjadi tentara yang perkasa. Namun demikian, Aloysius tidak menyukai para militer. Baginya, mereka represif!  Ketika berusia 9 (sembilan) tahun, ia berjanji akan tetap mempertahankan kemurnian hidupnya. Apa yang ia lakukan? Ia berusaha supaya dirinya terhindar dari godaan-godaan yang menyesatkan, ia selalu mengalihkan pandangan ke tempat lain ketika berpapasan dengan perempuan.
Ia menerima komuni pertama dari tangan Santo Karolus Boromeus. Pada usia 16 (enam belas) tahun, Aloysius memutuskan untuk masuk Serikat Yesus, tetapi ia ditolak dengan alasan masih terlalu muda. Pada usia 18 (delapan belas) tahun, ia berhasil masuk kolese Serikat Yesus di Roma. Ketika tiba di komunitas, Aloysius membisikkan kata-kata ini: “Di sinilah tempat ketenanganku, di sinilah aku ingin menetap!”. Ia sangat tekun berdoa, matiraga dan bersikap rendah hati. Dua tahun kemudian ia mengucapkan kaul dan belajar teologi. Pada tahun 1587 di kota Milan, ia aktif membantu di rumah sakit yang dibuka oleh para Jesuit untuk membantu orang-orang yang terkena wabah penyakit pes. Ia terus bekerja tanpa kenal lelah membantu para korban tanpa memperhatikan kesehatan dirinya sendiri sehingga akhirnya pun ia terjangkit penyakit itu. Pada usia 23 (dua puluh tiga) tahun, setelah menerima pemberkatan terakhir dari St Robertus Bellarminus, Aloysius pun meninggal dunia. Kata-kata terakhir yang diucapkannya adalah “Dalam nama Yesus dan Maria”. Ucapan yang sama ketika ia mulai bisa berbicara pertama kali.
Dari sekelumit riwayat Santo Aloysius ini kita belajar salah satu kebajikan yang ditunjukkan sebagai hasil didikan dari ibundanya yaitu semangat doa. Doanya pun singkat: “Dalam nama Yesus dan Maria”. Doa ini singkat namun sangat populer di dalam gereja di kemudian hari untuk memuji nama Tuhan Yesus, Maria dan Yoseph.
Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini mengajar para murid untuk berdoa. Memang para muridNya sering melihat Yesus berdoa, apalagi mereka adalah mantan murid Yohanes Pembaptis dan tahu bahwa Yohanes mengajar mereka berdoa. Yesus berkata, “Bila kalian berdoa janganlah bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah…Bapamu tahu apa yang kalian perlukan, sebelum kamu meminta kepadaNya.” Tentu saja Yesus mengharapkan agar para muridNya dapat berdoa bukan dengan kata-kata yang panjang tetapi dengan penuh penyerahan diri, pasrah pada Bapa di Surga.  Bapa sayang anak-anakNya dan Dia tahu serta peduli dengan anak-anakNya. Itu sebabnya Yesus mengajar “Bapa kami” sebagai model doa yang tepat.
Doa Bapa kami memiliki tujuh intensi yaitu: Dimuliakanlah namaMu, Datanglah KerajaanMu, Jadilah kehendakmu di atas bumi seperti di dalam surga, Berilah kami makanan kami yang secukupnya, Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami, Jangan membawa kami ke dalam pencobaan, Bebaskanlah kami dari yang jahat. Ini tujuh intensi yang sempurna dari doa Bapa Kami. Setelah selesai mengajar doa Bapa kami, Yesus masih mengingatkan mereka bahwa doa-doa itu menjadi sempurna kalau setiap pribadi mewujudkan cinta kasih satu sama lain dalam suasana saling mengampuni. 
Doa memiliki kekuatan untuk mengubah hidup orang lain. Apabila kita mendalami doa Bapa kami, doa ini tidak hanya berdampak pada transformasi hidup rohani kita secara pribadi tetapi dengan sendirinya transformasi hidup rohani kita akan mempengaruhi hidup pribadi sesama. Nabi Elia adalah orang yang setia di hadapan Yahwe. Dia sungguh-sungguh memiliki kharisma yang dapat mengubah hidup orang lain. Ahab misalnya, dapat menyesali dosanya karena membunuh Nabot berkat teguran Tuhan melalui Nabi Elia. Elisa bukan hanya mendapat mantel nabi Elia, tetapi roh Elia pun diterima Elisa. Elia menghadirkan Allah di dalam hidup umat kesayanganNya. Itu sebabnya ia layak diangkat oleh Tuhan dengan jiwa dan raganya.
Sabda Tuhan hari ini membantu kita untuk lebih bersemangat lagi dalam hidup doa. Mungkin saja selama ini kita berdoa tetapi masih dengan penuh perhitungan-perhitungan misalnya kalimatnya harus bagus dan indah. Ternyata Tuhan menghendaki doa yang sederhana tetapi intensinya jelas seperti doa Bapa kami. Mungkin juga selama ini kita sudah puas dengan doa-doa kita terutama setelah dikabulkan Tuhan. Kita berhenti sejenak dan ketika perlu baru kita berdoa lagi. Berdoalah tanpa henti! Katakanlah secara sederhana isi hatimu. Bapa di Surga pasti mendengarnya.


Kita juga diingatkan untuk saling mengampuni. Kalau kita saling mengampuni maka Tuhan juga mengampuni kita. Bagaimana dapat mengampuni sesama? Dalam bahasa Inggris dikenal istilah: “To forgive means to forget”. Mengampuni yang benar berarti melupakan. Tuhan mengampuni kita dengan melupakan dosa-dosa kita. Kita juga dapat mengampuni kalau kita berusaha melupakan dosa-dosa yang dibuat oleh sesama kepada kita. Apakah anda dan saya dapat “mengampuni dengan melupakan” dosa dan salah sesama kita? Cobalah, Tuhan pasti menggenapinya dalam hidup ini.
Doa: Bapa kami yang ada di surga, terima kasih karena Engkau mengasihi kami. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply