Renungan 20 Juli 2012

Hari Jumat, Pekan Biasa XV

Yes 38: 1-6.21-22. 7-8
Mzm (Yes) 38: 10.11.12abcd.16
Mat 12:1-8
Hukum yang baik dan benar adalah…
Di dalam sebuah perusahan, seringkali terjadi pertentangan antara orang lama dan orang baru. Ada kecenderungan orang yang sudah lama bekerja untuk bertahan dalam ritme kerja yang sudah ada, sudah merasa nyaman dan tidak mudah tanggap terhadap gagasan baru untuk berkembangnya perusahan. Ketika ada orang baru, dengan semangat baru, dan mengusulkan hal baru, mereka ini mudah dianggap membangkang atau revolusioner dan membahayakan kinerja perusahan. Dampaknya adalah munculnya relasi yang tidak sehat antara orang lama dan orang baru sehingga perusahan mengalami kemunduran.
Situasi sosial semacam ini dialami oleh orang-orang Farisi yang hidup pada zaman Yesus. Kaum Farisi dan para pemimpin agama Yahudi berpegang teguh pada hukum Taurat Musa. Hukum Taurat Musa tidak mengijinkan orang-orang Yahudi untuk bekerja pada hari Sabath. Mereka harus menggunakan hari Sabath untuk memuliakan Tuhan sang Pencipta (Kel 20:8-11). Mereka juga mengenang pembebasan dari perbudakan di Mesir (Ul 5:12-15). Karena  itu ada Ada 39 daftar pekerjaan tertentu yang dilarang untuk dilakukan pada hari Sabath, termasuk di dalamnya adalah memetik bulir gandum atau hasil pertanian lainnya.
Penginjil Matius, mengisahkan bahwa Yesus berjalan bersama para muridNya di sebuah ladang gandum pada hari Sabat. Karena lapar maka para murid memetik bulir gandum dan memakannya. Orang-orang Farisi langsung menegur Yesus karena perbuatan para muridNya pada hari Sabath ini. Untuk menyadarkan mereka Yesus menggunakan pengalaman Daud dan para pengikutnya yang masuk ke dalam rumah Tuhan dan memakan roti sajian (1Sam 21:1-6). Atau para imam di dalam bait Allah juga sering melakukan kesalahan pada hari Sabat (Bil 28:9-19). Maka dengan tegas dan wibawa Yesus berkata: “Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat”
Sikap dan pernyataan Yesus ini mengingatkan kita ketika Ia mengatakan, “Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat melainkan untuk menggenapinya” (Mat 5:17). Untuk melawan orang-orang Farisi, Yesus mengutip nubuat Nabi Hosea, “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah lebih dari pada korban-korban bakaran” (Hos 6:6). Sebuah hukum dikatakan bernilai apabila menunjukkan belas kasih Allah dan menolong manusia bertumbuh sebagai manusia yang baik. Sebaliknya hukum dikatakan tidak bernilai apabila tidak menunjukkan wajah Allah yang berbelas kasih, hanya untuk menguasai manusia secara kaku dan tidak memanusiakan manusia. Ya, tujuan dari semua hukum adalah menunjukkan wajah Allah yang benar kepada manusia. Yesus melakukannya secara baru karena Dia menggenapi hukum Taurat dengan kasih dan Dia juga adalah Tuhan atas Hari Sabath. Yesus sungguh menghadirkan Allah yang berbelaskasih kepada manusia. 


Yesaya dalam bacaan pertama menghadirkan sosok Allah yang berbelaskasih terhadap orang sakit yang membutuhkan jamahan tanganNya untuk sembuh. Dikisahkan bahwa Raja Hizkia di Yehuda sedang sakit dan hampir mati. Hizkia diingatkan oleh Tuhan melalui nabi Yesaya bahwa ia akan mati karena sakit penyakitnya. Maka Hizkia menangis sambil memohon kepada Tuhan untuk mengingat segala perbuatan baik yang sudah dilakukannya di hadapan Tuhan. Tuhan pun mendengar permohonan Hizkia sehingga memberinya hidup lima belas tahun lagi dan membebaskan dia dan Yehuda dari kekuasaan raja Asyur. Allah berbelas kasih kepada orang yang berharap padaNya.
Sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita untuk tidak kaku terhadap berbagai hukum dan peraturan yang dibuat manusia. Semua hukum dan peraturan itu dikatakan baik kalau bertujuan untuk kebaikan manusia dan bukan untuk mengekang hidup manusia. Orang-orang Farisi hanya berbangga dengan 613 artikel dalam hukum Taurat dan berpikir bahwa hanya mereka sendiri yang layak di hadirat Tuhan. Mereka begitu kaku dan tidak menghargai martabat manusia. Yesus datang untuk menunjukkan wajah Bapa yang maharahim dan berbelaskasih. Ia tidak peduli dengan hukum atau adat kebiasaan Yahudi, yang penting bagiNya adalah manusia merasa bernilai dan bermartabat. Maka meski hari Sabat memiliki aturan, tetapi nilai manusia jauh lebih tinggi. Mereka yang lapar harus makan supaya kenyang bukan mati kelaparan. Mari kita mematikan pikiran negatif ala orang Farisi dan mengambil pikiran positif Yesus untuk memperhatikan sesama yang menderita dan membutuhkan belas kasih. 
Sabda Tuhan juga membantu kita untuk bertahan dalam setiap penderitaan, berpasrah kepada Tuhan dalam doa dan pujian. Hizkia, Raja Yehuda menunjukkan teladan yang baik. Dia bukan saja hidup layak di hadirat Tuhan tetapi ketika dalam keadaan sakit atau disampaikan bahwa ia akan mati karena penyakitnya, Ia tetap berdoa dan berharap pada Tuhan. Tuhan pun menaruh belas kasihNya kepada Hizkia. Bagaimana dengan anda dan saya yang selalu memiliki persoalan hidup? Apakah tetap setia seperti Hizkia atau “muntaber” alias mundur tanpa berita dari hadirat Tuhan?
Doa: Tuhan semoga kami dapat menghargai nilai hidup manusia. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply