Homili Hari Minggu Biasa, Pekan ke-XXI

Hari Minggu Biasa Pekan ke-XXI

Yos 24:1-2a.15-17.18b
Mzm 34:2-3.16-17.18-19.20-21.22-23
Ef 5:21-32
Yoh 6:60-69
Tentukanlah Pilihan, Ambillah Keputusan dan imanilah Dia!
Seorang misionaris dari Belanda telah melayani umat sebuah paroki di pedalaman selama 40 tahun. Sejak awal kehadirannya di daerah itu, ia merasa diterima dengan baik. Orang-orang yang belum beragama tertarik dengan gaya hidup misionaris yang sederhana dan bersahaja ini sehingga mereka memohon untuk belajar agama katolik dan dibaptis. Dengan demikian daerah itu menjadi pusat penyebaran agama katolik. Banyak orang merasa “dari orok” sudah dibaptis menjadi katolik. Tentu saja secara kuantitatif perkembangan seperti ini melegahkan. Artinya gereja katolik bertumbuh secara kuantitatif. 
Imam misionaris itu pernah memberi kesaksian seperti ini: “Memang pada mulanya saya bangga sebagai misionaris di daerah ini. Tetapi dalam perjalanan waktu 40 tahun ini saya belum menemukan pertumbuhan kualitas iman yang memadai. Saya pernah kecewa ketika menyaksikan tokoh umat yang masih aktif membuat upacara adat dan memberi sesajian kepada leluhur mereka di gunung, di pohon besar atau di atas batu besar. Saya bertanya kepada mereka mengapa masih menyembah berhala. Dan mereka menjawab disinilah nenek moyang kami bersatu dengan sang pencipta matahari dan bulan. Tuhan Allah kami sembah di dalam Gereja pada hari Minggu tetapi di sini nenek moyang kami juga bersatu dengan Tuhan mereka.” Saya mengatakan kepada mereka, “Kita memiliki tujuan yang sama yakni sembah sujud kita kepada Tuhan pencipta, tetapi ingatlah bahwa kalian sudah dibaptis menjadi abdi Tuhan!” Ini adalah sebuah kesaksian sederhana seorang abdi Tuhan dan membawa kita untuk berfokus pada Sabda Tuhan hari ini tentang relasi yang menumbuhkan iman. 
Apa makna iman di dalam Gereja Katolik? Di dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik dikatakan, “Iman adalah anugerah cuma-cuma dari Allah dan tersedia bagi semua orang yang memintanya dengan rendah hati. Iman merupakan keutamaan adikodrati yang perlu bagi keselamatan. Tindakan iman adalah tindakan manusiawi yaitu tindakan akal budi manusia, yang atas dorongan kehendak yang digerakkan oleh Allah mengamini dengan bebas kebenaran ilahi. Iman juga pasti karena berdasarkan Sabda Allah, iman itu bekerja oleh kasih (Gal 5:6) dan iman itu tumbuh terus menerus dengan mendengarkan Sabda Allah dan doa. Iman membuat kita mengecap sukacita surga bahkan mulai sekarang ini juga.” (KKGK, 28).
Pertanyaan yang kiranya muncul dari Sabda Tuhan adalah apa wujud nyata relasi yang menumbuhkan iman? Yosua dalam bacaan pertama memberi kesaksian yang sangat menarik. Umat terpilih sudah menghuni tanah Kanaan. Mereka perlahan-lahan menata hidupnya berdasarkan suku-suku anak Israel. Yosua bersama semua suku Israel sedang berada di Sikhem. Sikhem adalah sebuah tempat di dekat gunung Ebal dan Garizim, letaknya sekitar 56 km dari Yerusalem. Pada saat ini daerah Sikhem termasuk bagian dari kota Nablus, Palestina. Di tempat ini Yosua meminta kepada semua suku untuk membuat pilihan bebas: Apakah sesudah tiba di tanah Kanaan ini, anak-anak Israel mau kembali menyembah dewa-dewi nenek moyang mereka atau mereka mau setia menyembah Allah yang benar. Yosua sendiri menekankan bahwa, “Aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan!”. 
Para wakil anak Israel yang mendengar perkataan dan janji setia Yosua kepada Yahwe berjanji, “Jauhlah dari kami meninggalkan Tuhan untuk beribadah kepada allah lain! Sebab Tuhan Allah kita, Dialah yang menuntun kita dan nenek moyang kita dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan. Dialah yang telah melakukan tanda-tanda mukjizat yang besar ini di depan mata kita sendiri, dan yang telah melindungi kita sepanjang jalan yang kita tempuh, dan di antara bangsa yang kita lalui. Kami pun akan beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita”. Kehebatan Yosua (nama yang sama dengan Yesus: Yehosua) adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak Israel untuk memilih dan memutuskan pilihan mereka. Apakah memilih untuk kembali kepada iman nenek moyang mereka di seberang sungai Efrat atau memilih untuk mengimani Allah yang benar. Mereka menentukan pilihan mereka untuk menyembah Allah yang benar.
Janji setia kaum Israel kepada Allah yang benar menunjukkan bahwa relasi antar pribadi mereka dengan Allah ini dibangun di atas dasar kasih Allah yang tiada habis-habisnya kepada mereka. Memang dalam perjalanan di padang gurun, mereka jatuh dalam dosa tetapi Allah selalu berinisiatif untuk menyelamatkan mereka. Pengalaman dikasihi Allah inilah yang membuat mereka berjanji, ”Kami akan beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita”
Pengalaman kasih dan mengasihi juga dialami oleh para murid Yesus. Penginjil Yohanes selama lima Hari Minggu terakhir menghadirkan diskursus Yesus tentang Roti Hidup. Para murid mendengar pengajaran dan diharapkan bahwa mereka memahami dan mengimani Yesus sebagai Roti Hidup yang turun dari Surga dan yang memberi hidup kekal. Maksud Yesus tentang Roti Hidup adalah daging TubuhNya dan darahNya sendiri. Barangsiapa makan Tubuh dan minum DarahNya akan memperoleh hidup kekal. Masalahnya adalah para murid yang mendengar diskursus ini kecewa karena Yesus mengatakan “makan Tubuh dan minum darahNya”. Mereka berkata, “Perkataan ini keras! Siapakah yang sanggup mendengarkannya?” Yah, ini tanggapan para murid yang wajar karena mereka belum mengerti makna pengorbanan Yesus. Yesus mengingatkan mereka, “Adakah perkataan itu mengguncangkan imanmu?” Padahal semua yang diajarkan dalam diskursus Roti Hidup adalah roh dan hidup bukan daging! Yesus juga mengingatkan mereka bahwa mereka dapat datang kepadaNya karena anugerah Bapa, mereka ditarik oleh Bapa (Yoh 6:44). 
Perkataan Yesus dinilai keras dan menimbulkan krisis Galilea yang mengancam relasi persahabatan para murid dan Yesus sendiri. Banyak murid mundur di Galilea sehingga Yesus bertanya, “Apakah kamu juga tidak mau pergi?” Petrus mewakili para murid mengakui imannya, “Tuhan kepada siapa kami akan pergi? SabdaMu adalah Sabda hidup yang kekal. Kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau adalah yang Kudus dari Allah”. Nah, pertanyaan dan jawaban Petrus memperkuat relasi Yesus dan para muridNya. Para murid sebetulnya berada dalamm situasi memilih untuk tetap berlasi atau tidak berelasi dengan Yesus. Yesus memberi kebebasan kepada mereka untuk menetukan pilihan yang tepat. Ada yang menentukan pilihan untuk mundur dari Yesus, dan Petrus dan teman-teman lain memilih untuk tetap setia kepada Yesus.
Nah, nyata di sini bahwa relasi antar pribadi para murid dan Yesus belumlah utuh. Mereka boleh tinggal bersama Tuhan Yesus dan menyaksikan segala karya dan SabdaNya namun relasinya masih dangkal. Motivasi persekutuan dengan Yesus masih pada level manusiawi sehingga begitu mendengar kata-kata yang keras mereka langsung memilih mundur atau murtad. Lalu apa relasi yang betul-betul menunjukkan keutuhan pribadi dengan pribadi?
Santu Paulus dalam bacaan kedua memberi contoh relasi utuh suami dan isteri sebagai simbol perwujudan relasi Kristus dengann gerejaNya. Kepada para suami dan isteri pertama-tama dianjurkan untuk memiliki kebajikan kerendahan hati. Dengan kebajikan kerendahan hati maka para isteri dapat tunduk kepada suami seperti mereka tunduk kepada Tuhan. Para suami dengan rendah hati mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat atau Gereja. Suami mengasihi isteri seperti ia mengasihi tubuhnya sendiri. Dia merawat dan mengasuh tubuhnya. Maka relasi mereka menjadi sempurna terutama “Laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging”. Relasi intim antara suami dan isteri menjadi simbol relasi intim Kristus dan jemaat atau GerejaNya. Paulus juga menekankan supaya pria dan wanita menentukan pilihan yang tepat dan cocok karena sebagai suami dan isteri mereka melambangkan relasi Kristus dan Gereja.
Sabda Tuhan pada hari ini memberikan kepada kita buah-buah rohani yang sangat bernilai. Pertama, Allah menghendaki agar kita tetap bersekutu denganNya. Dia yang menarik setiap pribadi kepada Yesus PuteraNya. Oleh karena itu sebagai orang yang dibaptis kita perlu mengakui iman kita: “Tuhan, kepada siapa kami akan pergi? SabdaMu adalah Sabda hidup kekal dan kami percaya bahwa Engkau adalah yang kudus dari Allah.” Oleh karena itu “Kami pun akan tetap beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah yang benar.”  Kedua, Setiap keluarga katolik diteguhkan relasinya melalui seruan Paulus supaya suami dan isteri menjadi model yang tepat relasi Kristus dan GerejaNya di dunia ini. Kerendahan hati hendaknya menjiwai kepatuhan dan kasih sebagai suami dan isteri. 

Ketiga, Tubuh dan Darah Kristus adalah bukti kasih Allah yang sempurna bagi manusia. Ini mengundang kita untuk menyadari Ekaristi sebagai saat berelasi utuh dengan Kristus, sebelum memasuki perjamuan kekal di Surga. Apakah anda menyadari Ekaristi sebagai saat bersyukur atas keselamatan kekal dalam diri Yesus Kristus? Relasi antar pribadi hendaknya mendukung pertumbuhan iman kita. Keempat, Kita juga diarahkan untuk membuat discernment iman. Kita harus menentukan pilihan hidup yang tepat dalam hal beriman atau pun dalam menjawabi panggilan Tuhan. Discernment akan membantu kita mengambil keputusan yang matang dan tepat dalam beriman dan berelasi dalam panggilan hidup.
Doa: Tuhan, terima kasih atas Ekaristi yang selalu kami rayakan bersama, semoga Ekaristi menyempurnakan relasi Engkau dan kami umatMu. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply