Renungan 6 September 2012

Hari Kamis, Pekan Biasa XXII

1Kor 3:18-23
Mzm 24: 1-2.3-4.5-6
Luk 5: 1-11
Berhargakah sikap lepas bebas di hadirat Tuhan?
Ada seorang Romo  yang memberikan sebuah homili yang bagus. Ia mengatakan kepada semua umat yang hadir bahwa mereka dapat menjadi pengikut Kristus yang baik kalau mereka dapat makan dan mencernakan dengan baik tiga tahu. Semua umat merasa heran mendengarnya sehingga ada kegaduhan di dalam Gereja. Ia berusaha menenangkan mereka. Setelah itu ia menjelaskan rumusan tiga tahu: “Saudara-saudari, tahu pertama adalah tahu Tuhan sekurang-kurangnya Tuhan Yesus. Tahu Tuhan Yesus berarti tidak hanya mengagumi semata-mata tetapi mengenalNya lebih dalam, akrab dan bersahabat dengan Dia. Tahu kedua adalah tahu diri. Orang yang mau akrab dan bersahabat dengan Tuhan Yesus sekurang-kurangnya harus tahu diri. Tahu diri berarti mengenal dirinya lebih dalam, kelebihan dan kekurangannya dan senantiasa berusaha untuk mengikuti Yesus dari dekat. Satu hal yang penting di sini adalah pengalaman akan Allah yang ditandai dengan pertobatannya hari demi hari. Tahu yang ketiga adalah tahu bawa diri. Orang yang mengikuti Tuhan dengan mengenal dirinya secara mendalam akan berusaha hari demi hari untuk membawa dirinya sebagai persembahan yang sangat berharga bagi Yesus. Orang yang tahu bawa diri akan mematikan kecenderungannya untuk berbuat dosa dan salah.” Saya yang mendengarnya ikut terpesona dan kagum dengan homili yang singkat dan berisi, punya makna yang mendalam.
Santu Paulus mengenal dengan baik situasi Gereja di Korintus. Di dalam tubuh jemaat Korintus ada ancaman perpecahan. Ada kelompok yang pro Kefas (Petrus), ada yang pro Paulus dan ada yang pro Apolos dengan demikian ada rasa iri hati satu sama lain. Paulus dengan tegas mengatakan bahwa dirinya sebagai pelayan jemaat hanya membawa mereka kepada Tuhan, dan Tuhanlah yang akan mengatur segalanya. Ia berkata: “Aku, Paulus menanam, Apolos menyiram dan Tuhan Allah yang menumbuhkannya.” Ternyata penjelasan Paulus tidak selesai di situ. Paulus juga melihat orang-orang Korintus yang masih mengagungkan pengetahuan manusiawi atau hikmat duniawi mereka. Paulus lalu berkata, “Jika di antara kalian ada yang menyangka dirinya berhikmat menurut penilaian dunia, hendaknya ia menjadi bodoh untuk berhikmat karena hikmat dunia adalah kebodohan bagi Allah”. Singkatnya, orang harus tahu diri di hadapan Tuhan sehingga dapat merendahkan diri dari pengetahuan duniawinya. Tuhan adalah segalanya.
Selanjutnya Paulus juga mengingatkan mereka, “Janganlah ada orang yang memegahkan dirinya. Segalanya adalah milik kalian, kalian milik Kristus dan Kristus milik Allah” Kata-kata Paulus ini sejalan dengan Mazmur 24 yang mengatakan, “Milik Tuhanlah bumi dan segala isinya, jagat dan semua yang diam di dalamnya”. Tuhanlah yang berkuasa atas hidup manusia dan segala ciptaan yang lain. Maka apa untungnya anda memegahkan diri kalau semuanya adalah milik Tuhan. Nah, orang seharusnya rendah hati di hadapan Tuhan.
Kesadaran akan pentingnya kerendahan hati dialami oleh para murid Yesus. Penginjil Lukas memberi kesaksian bahwa Yesus mengajar banyak orang di pantai danau Galilea. Setelah selesai mengajar, Ia menyuruh Simon bertolak ke tempat yang lebih dalam untuk menebarkan jala. Simon berkata, “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa.Tetapi atas perintahMu aku akan menebarkan jala juga.”  Simon dan teman-temannya menangkap banyak ikan. Simon dengan rendah hati dan dengan perasaan takjub, tersungkur di depan Yesus dan berkata, “Tuhan tinggalkanlah aku, karena aku ini orang bredosa”. Yesus menenangkan mereka dengan berkata, “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia”. Kata-kata ini kiranya menjadi motivasi yang kuat bagi mereka untuk melepaskan segalanya dan mengikuti Dia.
Ada dua hal penting dalam kisah Injil ini:

Pertama, semua pekerjaan dan pengorbanan diri akan berhasil dengan baik kalau selalu bersama Tuhan. Selalu bersama Tuhan berarti selalu mengandalkan Dia di dalam hidup dan karya kita. Yesus sendiri berkata, “Terlepas dar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Simon dan teman-temannya mengalami bahwa malam yang gelap (artinya tidak ada Tuhan sebagai Terang Dunia) maka mereka tidak menangkap apa-apa. Tetapi ketika Tuhan hadir, berbicara, mereka mendengar dan melaksanakannya maka mereka berhasil. Gereja tidak dapat berkarya sendiri, ia harus ber-duc in altum dalam hal iman akan Yesus supaya berhasil dalam kerasulannya. 

Kedua, Kita perlu kebajikan kerendahan hati. Simon menyadari kelemahan dan pengalaman “malam yang gelap”, kini takjub dan tersungkur di depan Yesus. Kebajikan ini hendaknya menjadi milik semua orang beriman. Pengetahuan duniawi (bacaan pertama) adalah kebodohan di hadirat Tuhan maka janganlah memegahkan diri. 

Ketiga, Sikap lepas bebas. Untuk dapat mengikuti Yesus dari dekat orang tidak hanya sebuah keinginan untuk bersama Yesus, dan kebajikan kerendahan hati  tetapi kemauan untuk melepaskan diri dari segala sesuatu yang mengikat hati dan budi. Rela melepaskan membuat orang menjadi pribadi yang merdeka untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Sikap lepas bebas itu mahal. Semua orang mencari dan mau memilikinya supaya bisa bersatu dengan Tuhan Yesus seperti para muridNya.
Sabda Tuhan hari ini enak seperti tahu.  Mari belajar terus menerus untuk tahu Tuhan dalam hidup doa, tahu diri sebagai pribadi yang unik dan tahu bawa diri untuk menjadi persembahann yang berarti bagi Tuhan. Mari santap dan cernakan baik-baik dalam hidup ini.
Doa: Tuhan, terima kasih karena Engkau memiliki aku. Amen.
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply