Renungan 10 September 2012

Hari Senin Pekan Biasa XXIII

1Kor 5:1-8
Mzm 5:5-7.12
Luk 6:6-11
Memilih berbuat baik atau berbuat jahat
Ada seseorang datang kepadaku untuk sharing pengalamannya. Ia banyak bercerita tentang masa lalunya yang cemerlang karena sukses dalam pekerjaan. Ia memiliki banyak bakat sehingga dipercayakan untuk melakukan apa saja yang baik untuk perusahan di mana ia bekerja. Sebagai seorang katolik yang patuh, ia mengalami tantangan tertentu terutama berhadapan dengan rekan-rekan karyawan yang lain. Dalam perjalanan hidupnya sebagai bagian penting di dalam perusahan, ia selalu tergoda untuk memilih berbuat baik atau berbuat jahat. Ya kebetulan tugasnya adalah di bagian keuangan. Terkadang ia melihat pergerakan keuangan yang baik dan keuntungan yang diterima perusahan pun besar. Ia tergoda untuk memilih berbuat baik dengan bersikap jujur atau memilih berbuat jahat dengan bertindak sebagai koruptor. Ia tetap pada pendirian untuk bersikap jujur tetapi rekan-rekan lain tidak jujur. Ia seperti sedang melawan arus maka pada akhirnya dia memutuskan, “Kalau saya tetap berada di sini, saya sangat idealis untuk menegakkan kejujuran dan keadilan tetapi saya sendiri juga yang akan menjadi korban ketidakadilan rekan-rekan. Saya memilih mundur dan mencari tantangan baru dalam dunia kerja”
Mendengar sharing ini saya lalu berpikir bahwa pada prinsipnya cukup benar bagi kita semua. Kita selalu dihadapkan pada pilihan ini: memilih untuk tetap berbuat baik atau memilih untuk berbuat jahat. Orang dalam Kisah ini memilih yang terbaik baginya sehingga ia memutuskan untuk keluar dari perusahan. Dia tidak mau nyaman sendirian. Dia juga harus berhadapan dengan tantangan dari sesama rekan kerja. 
Penginjil Lukas, hari mengisahkan pengalaman imannya bersama Yesus. Dikisahkan bahwa Yesus masuk ke dalam Sinagoga dan mengajar. Ada seorang yang mati sebelah tangan dan minta untuk disembuhkan pada hari Sabath. Tentu saja para musuh Yesus yakni kaum Farisi dan para ahli Taurat mengawasi dari jauh dan dekat. Yesus bertanya kepada kaum Farisi dan para ahli Taurat, “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat? Menyelamatkan nyawa orang atau membinasakahnya? Dengan berani Yesus menyembuhkan orang sakit itu pada hari Sabath. Perbuatan Yesus merupakan sebuah ancaman serius bagi iman mereka karena dilakukan pada hari sabat.
Hari Sabat dalam bahasa yahudi memiliki akar kata SBT yang berarti beristirahat. Sebagaimana kita baca di dalam Kitab Kejadian, setelah menciptakan bumi dan isinya, Tuhan beristirahat pada hari ketujuh (Kej 2:2). Di kemudian hari Tuhan menjadikannya sebagai salah satu perintahNya (Kel 20:8-11). Jadi hari Sabath menjadi saat ber-refreshing sejenak dari semua pekerjaan sepanjang pekan. Dengan demikian hari Sabat juga menyenangkan (Yes 58:13). Hari sabath juga dihubungkan dengan kenangan dan peringatan. Ada dua hal yang harus selalu diingat oleh orang-orang Israel yaitu Allah beristirahat setelah bekerja (Kel 20:1) dan Israel dibebaskan dari perbudakan Mesir (Ul 5:15).  Hari Sabat juga dihiasi dengan aura kekudusan. Hari Sabath adalah hari yang kudus karena diberkati oleh Tuhan (Kel 20:11). Di Israel, hari Sabath menjadi kesempatan untuk menjadi kudus (Im 23:3). 
Yesus mencoba membuka pikiran orang-orang Farisi dan para Ahli Taurat untuk mengubah cara pandang mereka terhadap hari Sabat. Dia sendiri mengatakan, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:27). Oleh karena itu hal yang penting di sini adalah menjadikan hari Sabat sebagai hari cinta kasih, saat membangun keadilan dan persaudaraan. Sebagai hari beristirahatNya Tuhan maka cinta kasih Tuhan harus ditegakkan dalam hidup setiap pribadi.
Apa yang harus dilakukan oleh umat Tuhan? 
Tentu membicarakan hari Sabat dan menguduskannya adalah panggilan umat beriman. Hal ini terwujud di dalam kebersamaan di komunitas. Namun demikian komunitas juga memiliki banyak pribadi yang berbeda-beda. St. Paulus melihat komunitas di Korintus mengalami kemerosotan moral. Dalam hubungan  antar pribadi dalam perkawinan terjadi krisisi nilai luhur perkawinan. Oleh karena itu Paulus mengingatkan umat di Korintus untuk  membuang ragi yang lama supaya menjadi adonan baru karena sebagai pengikut Kristus jemaat Korintus tidak beragi. Mengapa? Karena Yesus telah berkorban sebagai anak domba paskah. Paulus pada akhirnya mengajak jemaat di Korintus untuk selalu bersyukur kepada Tuhan. Mereka menjadi roti yang tidak beragi yaitu kemurnian dan kebenaran.
Praksis Gereja untuk berjalan dalam jalan kebenaran, kemurnian dan keadilan menjadi cita-cita yang bagus untuk diwujudkan. Nah, kita butuh Tuhan Yesus untuk membaharui sikap-sikap yang legalistis dan tidak berprikemanusiaan menjadi sikap yang penuh kasih, persaudaraan dan damai. Kita butuh pribadi-pribadi yang baik dan jujur untuk menjadikan gereja di dunia ini hidup.
Doa: Tuhan, terima kasih atas kebaikanMu untuk aku. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply