Homili Hari Minggu Biasa XXXII/B – 2012

Hari Minggu Biasa ke-XXXII/B
1Raj 17:10-16
Mzm 146:7.8-9a.9bc-10
Ibr 9:24-28
Mrk 12:38-44

Mari Membangun Budaya Empati!

Seorang tokoh umat mencoba menjelaskan makna memberi kolekte dalam perayaan Ekaristi. Dia mengatakan bahwa kolekte itu dari umat, oleh umat dan untuk umat. Tidak pernah kolekte untuk pastor. Semua kolekte yang dikumpulkan dari umat dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan iman umat, dan solidaritas umat Allah di dalam gereja lokal dan Gereja universal. Kolekte merupakan kesempatan di mana umat Allah membangun semangat saling berbagi sebagai umat Allah. Di antara umat yang mendengar penjelasan tokoh umat ini, bertanya dari mana pastor atau gembalanya hidup? Tokoh umat itu menjawab, pastor hidup dari pelayanannya: ia menerima stipendium dan iura stole. Dari pelayanan ini ia menghidupkan dirinya. Setelah mendengar penjelasan tokoh umat ini, seluruh umat di dalam gereja mengangguk dan berkata, “Wah kasihan pastornya. Kita pikir kolekte kita kumpul buat pastornya juga”.

Kadang-kadang umat berpikir bahwa kolekte hari Minggu dan hari Raya itu untuk pastornya. Maka ketika relasi dengan pastornya kurang baik maka umat sulit untuk memberi kolekte atau derma kepada gereja. Padahal kolekte adalah satu sarana berbagi atau sarana untuk membangun semangat bela rasa dengan sesama. Kadang-kadang orang berpikir bahwa ia memberi kolekte karena memiliki sesuatu yang lebih. Ini hal yang keliru di dalam hidup menggereja. Seharusnya orang menyadari bahwa ia memberi segala yang ia miliki sebagai kolekte atau derma. Artinya kalau memberi kolekte orang perlu merasa bahwa ia sedang bermurah hati dengan sesama dan tidak takut atau punya banyak perhitungan. Orang seharusnya berpikir bahwa Tuhan akan mencukupkan segala yang ia perlukan.

Bacaan-bacaan pada Hari Minggu Biasa ke XXXII, tahun B ini mengantar kita untuk memahami secara mendalam makna bermurah hati dalam berbagi dengan sesama atau berbela rasa (compassionate). Bacaan pertama menghadirkan kisah tentang seorang janda di Sarfat. Pada waktu itu nabi Elia melakukan sebuah perjalanan ke daerah Sarfat. Di sana ia bertemu dengan seorang janda. Nabi Elia meminta air untuk minum dan disuguhkan oleh janda itu. Elia kemudian meminta roti, janda itu berkeberatan karena yang ada padanya hanya segenggam tepung dalam tempayan dan minyak dalam buli-buli. Janda itu mengatakan bahwa ia sedang mengumpulkan kayu api untuk membuat roti dan makan bersama anaknya setelah itu mereka mati karena tidak punya persediaan makanan lagi. Tetapi sebagai utusan Tuhan, Elia meyakinkan janda itu dan terjadilah mukjizat. Janda bersama anaknya dan Elia bertahan hidup dengan tepung dan minyak persediaan yang ada.

Kisah ini menarik perhatian kita dalam konteks bela rasa dan berbagi. Terkadang orang merasa “takut untuk miskin” ketika memberi atau berbagi karena persediaannya sendiri terbatas. Janda di Sarfat membuktikan bahwa dengan mematuhi sabda Tuhan, mukjizat besar dapat terjadi. Maka jangan takut miskin, beranilah berbagi dan Tuhan akan tetap mencukupkan segalanya bagimu! Sikap bela rasa atau empati nampak di sini. Janda di Sarfat ini meskipun punya persediaan makanan terbatas tetapi dia berbela rasa dengan nabi yang sedang kelaparan. Ia memiliki sedikit persediaan makanan tetapi membantu memberi hidup kepada sesama itu nilainya lebih mulia! Janda ini juga memiliki iman yang besar. Dia terbuka pada Allah dan percaya bahwa Allah akan memberikan segalanya karena nabi yang ada di depannya. Nabi Elia juga berbela rasa dengan memberikan Allah kepada janda itu. Allah yang diimani nabi adalah kasih! Allah sendiri yang mencukupi kebutuhan umat kesayanganNya.

Penulis kepada umat Ibrani dalam bacaan kedua menggambarkan Kristus yang menunjukkan bela rasa sebagai Imam Agung. Kalau jaman dahulu para imam mempersembahkan kepada Tuhan kurban bakaran, sekarang Kristus mempersembahkan diriNya secara total. Dia adalah Imam Agung yang rendah hati, dan rela menderita bagi manusia. Ia punya kuasa untuk menghapus dosa manusia. Maka sikap bela rasa Kristus sebagai Imam Agung atau pemimpin kita adalah: mempersembahkan diriNya, menderita dan menghapus dosa!

Dalam bacaan Injil hari Minggu yang lalu, Tuhan Yesus mengingatkan kita semua untuk memiliki kemampuan “mendengar” dan ketika mendengar dengan baik, kita akan mampu memiliki kasih kepada Tuhan dan sesama. Ingat apa yang diungkapkan dalam Kitab Ulangan: “Shema Israel” atau “Dengarlah hai Israel, Tuhan Allah kita itu satu. Maka kasihilah Tuhan Allah dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”. Yesus mengutip dan mengatakannya sebagai hukum pertama dan hukum kedua adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im 19:18).

Hari ini hukum kasih mau dikonkretkan dalam hidup setiap pribadi. Dalam Bacaan Injil Tuhan Yesus mengambil contoh orang kaya yang memberi kolekte dari kelebihan uangnya dan seorang janda miskin yang kisahnya mirip dengan kisah janda di Sarfat dalam bacaan pertama. Janda miskin ini memiliki sikap lepas bebas, tidak terikat pada uang yang dimiliki yang jumlahnya juga sangat sedikit. Janda ini juga bersikap murah hati. Orang-orang kaya yang datang ke rumah ibadat memberi dari kelebihan mereka. Janda miskin memberi “segala” yang ia miliki dan tentu nantinya ia hanya berharap hanya kepada Allah. Letak perbedaannya adalah: Orang-orang kaya memberi dari kelebihannya. Artinya uang yang lebih itu diberikan kepada Tuhan. Kalau orang itu punya gaji sepuluh juta per bulan, dia hanya menyisihkan yang kebetulan ada di dalam dompet (kelebihannya) yakni hanya 0,00 sekian persen untuk menjadi kolekte. Mereka juga mungkin memberi dengan penuh perhitungan dan bukan menjadi bagian dari kemurahan hatinya. Bela rasanya terbatas bahkan tidak ada!

Bagi janda miskin, dia hanya mempunyai dua peser uang yang ia miliki. Dia memberi bukan dari kelebihan tetapi dengan murah hati ia memberi segala yang ia miliki untuk Tuhan. Orang yang mulia adalah mereka yang memberi dengan murah hati. Yesus mau mengingatkan supaya orang-orang yang berkelebihan memiliki bela rasa dengan orang miskin. Baju kemurahan hati si janda miskin harus dikenakan oleh orang-orang kaya supaya mereka juga memberi dengan murah hati seperti janda miskin. Orang kaya memiliki bela rasa dengan orang yang miskin! Kita semua saling mendukung dan mendorong untuk berbela rasa, bersikap murah hati. Orang miskin saja memberi dengan sukacita, bagaimana dengan mereka yang berkecukupan? Apakah masih takut menjadi miskin juga?

Bacaan-bacaan suci hari ini mengundang kita untuk bermurah hati dalam memberi. Tuhan telah memberi kepada masing-masing pribadi bakat dan kemampuan dengan cuma-cuma maka berikanlah juga dengan cuma-cuma kepada Tuhan dan sesama. Prinsip “memberi dari kelebihan” berubah menjadi memberi segala yang dimiliki untuk Tuhan. Tentu saja memberi bukan hanya dalam arti material tetapi juga waktu dan bakat-bakat untuk Tuhan dan sesama. Betapa susahnya mencari orang untuk menjadi pengurus Gereja. Selalu ada alasan untuk tidak berani melayani atau takut dikritik. Menjadi pengurus gereja ada kesempatan untuk melayani lebih banyak dan memberi segalanya. Mari kita mengambil semangat kedua janda dalam bacaan pertama dan bacaan Injil untuk melayani Tuhan dan sesama.

Doa: Tuhan bantulah kami untuk bermurah hati dan ber-empati (berbela rasa). Amen

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply