Homili Hari Minggu Prapaskah IV/C – 2013

Hari Minggu Prapaskah IV/C

Yos 5:9a.10-12

Mzm 34:2-3.4-5.6-7

2Kor 5:17-21

Luk 15:1-3.11-32

Bapa yang kekal itu murah hati

Fr. JohnHari ini kita memasuki hari Minggu Prapaskah IV tahun C. Di dalam liturgi Gereja Katolik, Hari Minggu ke-4 Prapaskah ini biasa disebut Hari Minggu laetare atau hari Minggu sukacita. Selama tiga pekan terakhir permenungan kita adalah tentang bagaimana kita lebih siap lagi untuk merayakan paskah. Di pekan pertama kita diharapkan untuk mengalahkan godaan atau cobaan hidup. Yesus berhasil mengalahkan kuasa godaan berupa kenikmatan dunia, kekuasaan dan popularitas. Pekan kedua prapaskah dikenal dengan nama pekan kemuliaan. Tuhan Yesus menampakkan kemuliaanNya di sebuah gunung tinggi di hadapan tiga rasul inti yakni Petrus, yakobus dan Yohanes. Kita di sadarkan untuk selalu memandang Yesus yang melewati penderitaan untuk mencapai kemuliaanNya. Di pekan ketiga prapaskah kita diajak oleh Yesus untuk membangun semangat tobat yang radikal. Hari ini di pekan keempat prapaskah kita semua diajak untuk bersukacita karena pengampunan berlimpah yang dialami setiap pribadi. Allah adalah Bapa yang baik, Bapa yang penuh kasih sayang dan suka mengampuni.

Kita memulai perayaan Ekaristi hari ini dengan seruan sukacita: “Laetare, Ierusalem, et conventum facite, omnes qui diligitis eam; gaudete cum laetitia, qui in tristitia fuistis, ut exsultetis, et satiemini ab uberibus consolationis vestrae” atau “Bersukacitalah hai Yerusalem dan berhimpunlah, kamu semua yang mencintainya; bergembiralah dengan sukacita hai kamu yang dulu berdukacita, agar kamu bersorak sorai dan dipuaskan dengan kelimpahan penghiburanmu” (Yes 66:10-11). Seluruh gereja bersukacita karena kelimpahan penghiburan yang diberikan oleh Allah baginya. Allah mengasihi Gereja, dalam hal ini setiap orang yang dibaptis dalam nama Allah Tritunggal Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Yesus hendak mewujudkan janji kasih dan pengampunan Bapa melalui perumpamaan Bapa yang maharahim dan berbelas kasih. Para pendengar Yesus saat itu adalah para pemungut cukai, dan orang-orang berdosa. Hal ini menimbulkan kecemburuan kaum Farisi yang mengatakan bahwa Yesus menerima serta makan dan minum bersama orang berdosa. Untuk itu Yesus menjelaskan pilihan pelayanan kepada kaum pendosa dengan perumpamaan ini: Ada seorang Bapa yang memiliki dua orang anak. Anak bungsu meminta bagian yang merupakan haknya atas harta warisan. Ayahnya dengan murah hati memberi semua yang menjadi haknya. Ia meninggalkan ayahnya menuju ke sebuah negeri yang jauh. Di sana ia menghabiskan segala kekayaannya dengan berfoya-foya dan bersama para pelacur hingga menjadi seorang yang melarat. Ia lalu bekerja pada seorang majikan yang menyuruhnya untuk menjaga babi. Ia pun mengisi perutnya dengan makanan babi.

Dalam situasi hidup yang ekstrim ini, ia termenung dan mengingat ayahnya yang baik dan murah hati, yang memiliki banyak orang upahan. Ia berniat untuk kembali kepadanya dan bekerja sebagai orang upahan juga. Ia akan berkata kepada ayahnya bahwa ia telah berdosa terhadap surga dan ayah dan tidak layak sebagai anak ayahnya. Maka ia pun kembali kepada ayahnya. Apa yang terjadi? Memang anak ini bergerak menuju kepada ayahnya tetapi ayahnya yang pertama melihat ia kembali ke rumah. Ayahnya berlari mendapatkan anak itu, memeluk dan menciumnya. Anak itu mengakui kesalahannya dan ayahnya menerimanya kembali. Ia pun diberi jubah yang baru dan terbaik, cincin, dan sepatu baru. Seekor domba di sembeli dan mulailah perayaan sukacita di dalam keluarga itu. Jubah itu melambangkan kehormatan tertinggi. Cincin menandakan persekutuan kasih antara ayah dan anak. Sepatu melambangkan kebebasan pribadi yang sudah hilang  dan mau dibaharui kembali. Anak domba yang disembeli sebagai lambang perjamuan sukacita. Semua barang yang dikenakan dan dirayakan ini menunjukkan bahwa anak itu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapatkan kembali.

Perjamuan sukacita ini ternoda karena ulah anak sulung yang egois. Ia cemburu melihat perlakuan ayahnya terhadap adiknya. Padahal selama ini ia makan dan minum dari semua harta ayahnya sedangkan harta warisan yang menjadi miliknya tidak dipakai. Itu sebabnya ayahnya berkata: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali”.

Kita berjumpa dengan tiga figur yang menarik dalam Injil hari ini. Tokoh utamanya adalah  Bapa yang baik terhadap anak-anaknya. Ia tidak memperhitungkan kesalahan kedua anaknya. Anak yang bungsu jatuh dan mati dalam dosa tetapi ia sadar dan kembali kepada ayahnya karena ia tahu ayahnya orang baik. Ia memperoleh kembali martabat sebagai anak. Anak sulung lupa diri, berada di zona nyaman, disadarkan untuk merasa bahwa semua milik ayah adalah miliknya dan bahwa ia pun harus bersukacita karena adiknya bisa kembali ke rumah. Ayah yang baik adalah Tuhan sendiri dan kedua anaknya adalah manusia, anda dan saya. Banyak kali kita menjadi anak bungsu tetapi lebih banyak kali kita menjadi anak sulung yang lupa diri dan tidak tahu berterima kasih.

Kisah anak bungsu membantu kita menyadari gerakan untuk berjalan menuju kepada Tuhan. Inilah pengalaman metanoia. Ada kemiripan dengan umat perjanjian lama ketika dipimpin oleh  Yosua untuk masuk ke tanah terjanji. Mereka semua berdosa tetapi Tuhan menghapus cela Mesir dalam diri mereka. Mereka bersukacita bersama, dalam perayaan paskah di Gilgal. Mereka akan makan manna terakhir di Gilgal, dan hari-hari selanjutnya mereka akan dikenyangkan dengan makanan dari negeri Kanaan. Tuhan baik dan tidak memperhitungkan dosa dan kesalahan umat Israel.

Santo Paulus mengambil pengalaman umat Perjanjian Lama dan menempatkannya dalam konteks pendamaian atau rekonsiliasi. Manusia yang hidup dalam dosa akan binasa, namun Allah telah mengutus Yesus Kristus PuteraNya untuk menebus umat manusia. Ia tidak memperhitungkan dosa manusia tetapi memperhatikan iman umat manusia kepadaNya. Itu sebabnya Allah mendamaikan manusia dengan diriNya melalui Yesus Kristus. Paulus sebagai utusan Kristus berseru: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Kristus tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.”

Sabda Tuhan mengajak kita untuk merasakan penebusan berlimpah dari Tuhan. Pertobatan yang benar akan membuahkan sukacita abadi. Bapa akan melakukan perjamuan sukacita untuk menerima kita yang sadar diri sebagai orang berdosa, yang telah mati dan beroleh hidup baru dalam Kristus sang Pendamai sejati.

Doa: Tuhan yang mahabaik, bantulah kami untuk merasakan sukacita pertobatan. Amen

PJSDB

 

Leave a Reply

Leave a Reply