Homili Jumat Agung – 2013

Hari Jumat Agung
Yes 52:13-53:13
Mzm: 31: 2.6.12-13.15-16.17.25
Ibr: 4:14-16; 5:7-9
Yoh 18:1-19:42

“Sudah Selesai”

Fr. JohnSaudara dan saudari yang dikasihi Tuhan. “Lihatlah kayu salib!” Ini sebuah ajakan yang hari ini menjadi pusat permenungan kita. Kita memandang salib, tempat di mana tubuh Yesus Kristus di salibkan. Dari salib mengalir darah dan air, tanda kasih yang tuntas dari Yesus buat kita semua. Gereja mengenang aliran darah yang mulia Yesus Kristus dan air yang keluar dari lambungnya sebagai simbol sakramen-sakramen di dalam Gereja. Dengan memandang Kristus tersalib kita mengalami penebusan berlimpah dari Tuhan.

Santo Petrus dalam suratnya menulis: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Yesus Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tidak bernoda dan tidak bercacat” (1Ptr 1:18-19). Mengapa Tuhan melakukan semua ini di dalam diri Yesus Kristus? Satu jawaban pasti adalah karena kasih kepada manusia: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga telah mengaruniakan anakNya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal” (Yoh 3:16).

Beberapa hari yang lalu ada seorang yang bertanya kepadaku, “Romo, mengapa Yesus harus menebus kita di kayu salib? Apakah tidak ada cara lain lagi?” Sesuai dengan situasi zaman, pada zaman Yesus, menyalibkan orang selalu terjadi kalau orang itu menghujat Allah atau melakukan kejahatan-kejahatan seperti memberontak melawan kekuasaan yang ada. Di dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan bahwa Salib sendiri adalah tempat hukuman paling hina dan mengerikan. Kristus, Penebus kita, meskipun tidak berdosa memilih salib untuk menanggung kesalahan dunia dan merasakan kesakitan dunia. Dengan memikul salib maka Yesus membawa dunia kembali kepada Allah dengan kasih yang sempurna (KGK 613-617; 622-623). Memang tidak ada cara yang lebih radikal bagi Allah untuk menyatakan kasihNya selain membiarkan diriNya dalam pribadi PutraNya dipaku di kayu salib. Penyaliban merupakan hukuman yang paling memalukan dan mengerikan namun Allah sendiri mau masuk ke dalam hukuman terkejam yang pernah dibuat oleh manusia.

Ibu Theresia dari Kalkuta pernah berkata: “Ketika kita memandang kayu salib, kita memahami keagungan kasihNya. Ketika kita melihat palungan, kita memahami kelembutan kasihNya bagimu dan bagiku, bagi keluargamu dan setiap keluarga”. Jauh sebelumnya St Bernardus dari Clairvaux berkata: “Bukan kematian yang menggembirakan Allah Bapa, tetapi terlebih Kristus dengan bebas memilih kematian, yang melalui kematianNya Dia menghapuskan kematian, memungkinkan terjadinya keselamatan, dan mengembalikan kekudusan, yang menang atas setan dan kekuasaannya, merampas kematian dan memperkaya surga, yang memulihkan perdamaian di surga dan di bumi dan menyatukan segala sesuatu.”

Yesus tersalib, Yesus menderita bagi kita. Dalam bacaan pertama dari kitab nabi Yesaya tentang Hamba Tuhan yang menderita, mengilustrasikan seluruh kehidupan Yesus terutama drama penyalibanNya. Tuhan melalui Yesaya berkata: “Sesunguhnya, hambaKu akan berhasil, ia akan ditinggikan, disanjung dan dimuliakan. Meskipun tidak bersalah tetapi Ia memilih menjadi Hamba yang menderita. Banyak orang akan tertegun melihat dia begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi” (Yes 52:13-14). Kematian Hamba Tuhan yang menderita demi pengampunan dosa. Ini adalah pilihan bebasNya untuk mengasihi manusia.

Yesus melakukan pilihan bebasNya untuk mengasihi sampai tuntas dengan bertindak sebagai imam agung. Penulis kepada umat Ibrani dalam bacaan kedua menulis: ”Kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus Anak Allah, baiklah kita berteguh dalam pengakuan iman kita. Imam besar kita dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:14-15). Kita juga diajak untuk berani mendekatkan diri kepadaNya untuk mendapatkan pertolongan pada waktunya. Yesus Kristus sebagai imam Agung juga menunjukkan ketaatanNya dengan menderita. Ia juga menyelamatkan semua orang yang taat kepadaNya.

Yesus sebagai Imam Agung tidak mempersembahkan hewan sebagai korban. Ia justru mempersembahkan diriNya satu kali untuk selama-lamanya. Dengan mengikuti Kisah sengsaraNya kita merasakan pengurbanan Yesus. Satu kata yang menarik dari kisah sengsara Yesus Kristus adalah “Sudah selesai” (Yoh 19:30) sebelum Dia menundukkan kepala dan menyerahkan diriNya kepada Bapa di Surga. Dalam bahasa Yunani: “tetelestai”. Dalam sebuah penggalian arkeologis di tanah suci ditemukan peninggalan-peninggalan para pemungut cukai. Ada setumpuk catatan dari para pemungut cukai dengan tulisan tetelestai yang berarti sudah lunas. Kalau sudah lunas maka wajib pajak tidak perlu bayar lagi. Hal ini kiranya inspiratif untuk memahami kasih Yesus ketika Ia juga mengatakan “Sudah selesai”. Dosa-dosa sudah dilunasi oleh diriNya. Tidak ada utang piutang lagi.

Apa konsekuensi penebusan berlimpah dari Yesus? Kalau Yesus memikul salib sebagai tanda kasih sampai tuntas dengan mengatakan “Sudah selesai” maka mari kita juga menunjukkan kasih kita sampai tuntas bagi Tuhan dan sesama. Mari kita berani mengampuni supaya kita juga diampuni. Saya tutup homili hari ini dengan sebuah kutipan dari Thomas A Kempis: “Jika engkau memanggul salibmu dengan sukacita maka salibmu akan memanggulmu”.

Doa: Tuhan Yesus, terima kasih atas penebusanMu yang berlimpah bagiku. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply