Renungan 20 April 2013

Hari Sabtu Paskah III

Kis 9:31-42

Mzm 116:12-13.14-15.16-17

Yoh 6:60-69

 

Tuhan, Kepada Siapakah Kami Akan Pergi?

 

Pada suatu kesempatan ada seorang frater selaku pimpinan asrama di sebuah kolese sekolah katolik mengalami emosi tingkat dewa. Perilaku sebagian anak asrama mengecewakan karena peraturan-peraturan asrama sering dilanggar. Misalnya, asrama adalah daerah bebas rokok tetapi selalu saja ada anak asrama yang merokok sembunyi-sembunyi pada tengah malam. Anak-anak asrama dilarang menggunakan gadget, tetapi ada anak-anak yang memiliki sim card dan meminjam HP karyawan untuk menelpon atau facebook meriah. Anak-anak asrama dilarang keluar kompleks asrama kalau tidak diijinkan oleh frater, tetapi ada anak-anak yang pergi tanpa meminta ijin. Masih banyak perilaku anak asrama yang membuat frater emosi tingkat dewa dan dengan suara keras berkata: “Kalau saudara-saudara tidak betah lagi di asrama, tidak mematuhi peraturan asrama, saya persilakan saat ini juga keluar dari asrama”. Beberapa anak asrama tanpa refleksi langsung mengangkat barang-barangnya dan meninggalkan asrama. Kepada anak-anak yang masih tinggal di asrama frater bertanya, “Kalian tidak mau ikut teman-teman yang pulang ke rumah?” Salah seorang anak asrama berkata, “Frater, disini kami mau menjadi manusia!” Frater mengangguk dan masuk ke kantornya. 

Kadang-kadang di dalam keluarga atau tempat kerja kita juga mengalami krisis tertentu karena teguran yang keras, karena tidak cocok dengan kebijakan perusahaan, karena orang tua terlalu autoriter dalam parenting. Semua hal itu sangat wajar di dalam kehidupan namun ada orang tertentu yang merasa sebagai halangan besar untuk masa depan. Itu sebabnya mereka protes, putus asa bahkan meninggalkan rumah atau tempat kerja.

 

Penginjil Yohanes hari ini melaporkan bagian terakhir diskursus Yesus tentang Roti

Hidup. Yesus sudah tegas dan terang-terangan berkata bahwa untuk memperoleh hidup kekal, dibangkitkan pada akhir zaman dan tinggal selamanya bersamaNya maka orang harus makan daging yaitu tubuhNya dan minum darahNya. Mengapa? Karena Ia adalah satu-satunya Roti Hidup. Makanan yang memberi hidup yang tentu saja berbeda dengan mana di padang gurun yang pernah dimakan oleh nenek moyang mereka. Perkataan-perkataan Yesus ini dinilai sangat keras sehingga membuat mereka tidak sanggup mendengarnya. Yesus tahu keadaan hati mereka dan berusaha menjelaskan bahwa semua perkataanNya adalah Roh dan Hidup. Namun demikian masih banyak juga yang tidak percaya kepada Yesus. Mereka yang bertahan adalah mereka yang sungguh percaya kepadaNya, karena anugerah Bapa kepada mereka.

 

Dalam situasi seperti ini para murid mengalami krisis yang bisa disebut krisis Galilea. Apakah mereka juga mau pergi atau mundur dari hadapan Yesus? Petrus sebagai pemimpin mereka berkata: “Tuhan kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal. Kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” Pengakuan iman Petrus ini diwariskan turun temurun di dalam Gereja. Yesus adalah pokok kehidupan. Dialah pokok anggur yang benar dan kitalah ranting-rantingnya. Terlepas dari Yesus, kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15:5).

 

Apa artinya pengakuan iman Petrus bagi kita? Masing-masing kita juga mengalami krisis Galilea. Ada saja persoalan-persoalan dan pergumulan hidup yang kita hadapi. Apakah kita harus menyerah pada situasi seperti ini? Apakah kita juga harus mundur, meninggalkan Tuhan? Kalau kita sungguh-sungguh mengimani Yesus maka tidak ada kata mundur karena Dia juga berkata kepada kita: “Tenanglah, Aku ini, jangan takut” (Yoh 6:20).

 

Setiap kali mengikuti perayaan Ekaristi kita menyaksikan dan mengalami “makan tubuh” dan “minum darah” Yesus. Kita hanya bisa menerima misteri ini dengan iman kita. Santo Leo Agung pernah berkata: “Saat kita menerima Tubuh dan Darah Kristus, kita akan diubah menjadi seperti yang kita terima”. St. Ignasius Antiokhia berkata, “Kami memecahkan roti yang memberi obat keabadian, dan makanan yang membuat kita hidup selamanya di dalam Kristus”.

 

Hari ini kita belajar dari komunitas para rasul yang tidak mau mundur dari hadapan

Yesus. Di masa depan dengan bantuan Roh Kudus, mereka akan berani mewartakan Injil, meskipun banyak penganiayaan dan penderitaan. Lukas dalam bacaan pertama hari ini, mengisahkan situasi komunitas Gereja perdana di Yudea, Galilea, dan Samaria berada dalam situasi damai. Hal ini terjadi setelah badai penganiayaan yang dilakukan Saulus, tetapi kini Saulus sudah menjadi Paulus. Dampak penganiayaan ternyata tidak mematikan gereja, justru menghidupkan dan menyuburkan Gereja. Petrus misalnya dikisahkan berkeliling dan berbuat baik dengan menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati dalam nama Yesus Kristus. Eneas dan Dorkas adalah orang-orang yang disembuhkan dan dibangkitkan dalam nama Yesus.

 

Sabda Tuhan pada hari ini mengajak kita untuk

tetap tinggal bersama Yesus Kristus, apa pun situasinya. Kita tidak perlu takut akan bahaya, penganiayaan dan kekerasan yang mengancam iman kita. Orang yang bertahan akan selamat jiwanya. Mengapa harus takut? Bukankah Dia selalu menyertai kita hingga akhir zaman? Di mana ada penganiayaan terhadap Gereja, di situ rahmat Tuhan akan semakin berlimpah. Gereja perdana sudah mengalaminya dan terbukti tetap bertahan karena Yesus sungguh-sungguh hadir. Mari dengan iman, bersama Petrus kita berkata: “Tuhan, kepada siapa kami akan pergi? SabdaMu adalah hidup kekal! Kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah”.

 

Doa: Tuhan Yesus Kristus, semoga kami semakin percaya dan mencintai Engkau sebagai sabda hidup kekal. Amen

 

PJSDB

 

Leave a Reply

Leave a Reply