Keluarga

ANAK ADOPSI BUKAN ORANG LAIN

Saya pernah diminta untuk memberi pengajaran bagaimana pandangan gereja tentang keluarga. Karena temanya sangat luas maka saya mau lebih memfokuskan perhatian pada anak adopsi atau anak angkat. Hingga saat ini banyak pasutri belum menerima sepenuhnya anak adopsi. Mungkin saja isteri mau mengadopsi tetapi suami tidak mau atau sebaliknya. Alasannya mungkin pada hubungan darah. Ada keinginan supaya anak sungguh-sungguh berasal dari darah daging sendiri. Tetapi bagaimana dengan pasutri yang tidak dikaruniai anak karena alasan kesehatan?


Memang perlu diakui bahawa dalam hidup pribadi dan perkawinan kata adopsi dapat mengubah cara pandang dan pemahaman kita akan Allah yang mahakasih.  Jadi entah panggilan hidup sebagai pasutri atau dalam bentuk panggilan  hidup yang lain usaha memahami perkawinan dan adopsi dapat membantu kita untuk memahami Allah. Melalui sakramen perkawinan dua orang dari kita, pria dan wanita, memahami secara lebih mendalam relasi suami istri seperti relasi antara Allah dan Gereja. Ketika mempunya anak, khususnya lewat adopsi kita akan bertumbuh dalam penghargaan terhadap ikatan keluarga gereja.

Misteri perkawinan dan keluarga berakar pada Tritunggal Mahakudus. Semua orang dipanggil kepada relasi keluargawi dengan Allah. Hal ini diwujudkan dalam sakramen pembaptisan.


Menjadi anak Allah berarti diadopsi ke dalam keluarga Allah. Ini makna teologis dari adopsi yakni bersatu dengan Tuhan Allah. Namun dalam masyarakat ketika mendengar tentang adopsi atau mengangkat seseorang anak menjadi anak selalu disepelekan. Ada ungkapan-ungkapan seperti ini: “Dia hanya anak angkat” atau “Dia saudara angkat”. Dengan demikian ada pandangan bahwa anak-anak angkat itu bukan anggota penuh dalam sebuah keluarga. Dengan memahami adopsi secara tepat maka kita akan dibantu untuk memahami relasi yang dekat dengan Tritunggal dan membantu orang untuk memahami jati dirinya.


Nilai rohani adopsi


Pertama-tama kita perlu menyamakan persepsi kita tentang perkawinan. Dalam pandangan gereja katolik, perkawinan memiliki tiga tujuan yakni untuk kesejahteraan suami dan isteri, untuk kelahiran anak dan pendidikan anak.  Nah, dari ketiga tujuan ini, Gereja sangat menekankan pentingnya mengusahakan kesejahteraan suami dan isteri. Mengapa? Karena persatuan pertama yang mau diusahakan adalah persatuan suami dan isteri. Keduanya bukan lagi dua melainkan satu daging. Oleh karena itu kita bisa mengerti bahwa kalau pun tidak ada anak di dalam keluarga, suami dan istrri tetaplah menjadi satu daging. Tidak ada anak bukan menjadi alasan untuk bercerai.


Anak-anak yang lahir di dalam sebuah keluarga merupakan tanda kasih suami dan isteri. Memang ada rasa saling memberi dan menerima, saling berserah diri satu sama lain dalam diri pasutri namun tidak adanya anak-anak yang lahir dalam sebuah keluarga bukanlah menjadi alasan untuk menggagalkan hidup berkeluarga.


Ketika mengadopsi anak, akan terlihat dua jenis hubungan antara anak dan orang tua:  

Pertama, hubungan darah. Seseorang dikatakan mempunyai hubungan darah jika ada ikatan darah di antara keduanya secara generatif. Jadi pasutri yang menikah kemudian melahirkan anak secara otomatis memiliki hubungan darah dengan anak yang lahir. Anak-anak yang lahir juga memiliki hubungan darah satu sama lain. Kedua, hubungan adopsi. Menurut Kitab Hukum Kanonik, hubungan orang tua dan anak karena adopsi disebut hubungan hukum. Maksudnya, hubungan ini bukan hubungan darah tetapi hubungan bisa ada karena pertalian hukum. Dalam KHK tahun 1983, Kan 110 dikatakan: “Anak-anak yang diadopsi menurut norma hukum sipil dianggap sebagai anak dari orang atau orang-orang yang mengadopsinya”. Jadi untuk selamanya, anak angkat itu menjadi bagian dari keluarga baru.


Dengan demikian, gereja katolik melihat bahwa hal terpenting adalah persekutuan suami dan isteri dan saling mengasihi, tak terpisahkan. Jadi meskipun tidak ada anak yang lahir namun dengan mengadopsi saja sudah cukup. Mengapa? Karena dengan mengadopsi, secara hukum ada pertalian antara yang mengadopsi dan yang diadopsi. Maka anak adopsi pun memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan  anak kandung. Tidak ada perbedaan anak adopsi dan anak kandung. Pada kodratnya sama.


Banyak kali kita lupa konsep adopsi dalam Kerajaan Allah. Pandangan dunia tentang adopsi

berpusat pada pemahaman tentang “anak yang tidak dikehendaki” sedangkan Kerajaan Allah berpusat pada “Anak yang dikehendaki”. Kita lihat kembali sejarah keselamatan. Allah mencari umat manusia dan Dia sendiri yang menghendaki anak-anakNya. Maka dalam keluarga Allah, kita semua adalah anak-anak yang dikehendakiNya. Maka tindakan keluarga-keluarga kristiani mengadopsi anak-anak adalah perluasan dari keinginan Allah untuk memiliki anak-anak. Adopsi menjadi satu contoh bagaimana Allah mengendaki kita menjadi anak-anakNya.

Ajaran Katekismus Gereja Katolik


Dalam Katekismus Gereja Katolik diajarkan bahwa mengadopsi anak sebenarnya mengikuti apa yang terjadi dalam peristiwa Yesus. Katekismus Gereja Katolik menunjukkan bahwa peristiwa inkarnasi merupakan awal dari program adopsi Allah yang mencakup seluruh dunia (KGK 505). Lebih jelas dikatakan: “Dalam kelahiran baru anak-anak yang diangkat dalam Roh Kudus lewat iman”.  Martabat kita sebagai anak-anak Allah memberi kita suatu bagian yang nyata bersama Kristus dalam kehidupan Tritunggal (KGK 654). Martabat anak-anak angkat kita memberikan anak angkat itu suatu kekayaan keluarga kita. Maka adopsi adalah cara yang dengannya kita ambil bagian dalam kehidupan keluarga Allah.


Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama terdapat contoh Hana. Hana bernazar bahwa sekiranya ia mendapat anak maka ia akan mempersembahkan  anak itu kembali kepada Tuhan selama seluruh hidupnya (2Sam 1: 11-13). Adopsi lalu menjadi kesempatan untuk mempunyai anak dan mempersembahkannya kepada Allah. Tujuan akhir dari adopsi adalah mengasihi dan mengasuh anak supaya ia nantinya mempunyai masa depan yang bagus.


Beato Yohanes Paulus II dalam Familiaris Concortio menegaskan bahwa panggilan menjadi orang tua bukan soal biologis saja tetapi mencakup aspek lain seperti tanggung jawab untuk menanamkan gambaran Tritunggal Mahakudus dalam diri anak-anak. Paus berkata: “Keluarga merupakan lingkungan permbinaan pertama dan paling dasar untuk hidup masyarakat. Sebagai persekutuan cinta kasih, keluarga mengalami penyerahan diri sebagai hukum yang menuntun dan mengembangkan anggota-anggotanya. Pemberian diri yang mengungkapkan hubungan saling cinta antara suami dan istri menjadi pola dan norma untuk pemberian diri yang harus dipraktekkan dalam hubungan kakak- beradik serta berbagai angkatan yang hidup bersama dalam keluarga”. (FC, 37).


Masalah yang akan digeluti adalah menyangkut jati diri anak. Ketika beranjak dewasa mereka bisa mengetahui darimana ia berasal. Tantangan juga akan dihadapinya kalau ada anak kandung. Di dalam Kitab Kejadian 1:26 menuturkan bahwa Allah telah menciptakan setiap orang sesuai gambar Allah. Gambar Allah sebagai Tritunggal dan sebagai kasih abadi adalah dasar jati diri kita. Perhatikanlah rumusan Katekismus Gereja Katolik berikut ini:


“O Cahaya yang membahagiakan, Tritunggal dan Kesatuan asli” (LH Madah “O lux beata, Trinitas”). Allah adalah kebahagiaan abadi, kehidupan yang tidak dapat mati, cahaya yang tidak pernah pudar. Allah adalah cinta: Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Karena kehendak bebas, Allah hendak menyampaikan kemuliaan kehidupan-Nya yang bahagia. Inilah “keputusan belas kasihan” Bdk. Ef 1:9., yang telah Ia ambil dalam Putera kekasih-Nya sebelum penciptaan dunia. “Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya” (Ef 1:5), artinya “menjadi serupa dengan gambaran anak-Nya” (Rm 8:29), berkat “Roh yang menjadikan kamu anak Allah” (Rm 8:15). Rencana ini adalah “kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita sebelum permulaan zaman” (2 Tim 1:9) dan yang langsung berasal dari cinta trinitaris. Rencana itu dilaksanakan dalam karya penciptaan, dalam seluruh sejarah keselamatan setelah manusia berdosa, dalam pengutusan-pengutusan Putera dan Roh Kudus yang dilanjutkan dalam pengutusan Gereja” (KGK, 257).


Di dalam Kitab Suci, Allah mengungkapkan diriNya dengan banyak cara. Allah menjadi gembala (Mzm 23). Dalam Kitab Hosea, Allah sebagai suami. Allah mewahyukan diri dalam cara untuk merawat kita. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa:


“Allah adalah Bapa yang maha kuasa. Kebapaan-Nya dan kekuasaan-Nya saling menerangkan. Ia menunjukkan kekuasaan-Nya sebagai Bapa dengan memelihara kita Bdk. Mat 6:32., dengan menerima kita sebagai anak-anak-Nya (Aku mau “menjadi bapa-Mu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan perempuan, demikianlah firman Tuhan yang maha kuasa” 2 Kor 6:18)” (KGK, 270).


Allah mewahyukan diriNya sebagai seorang Bapa. Dalam Kitab Perjanjian Lama, Allah memusatkan kasihNya pada Putra sulungNya yaitu Israel (Kel 4:22). Allah berusaha menunjukkan kepada orang-orang Israel siapa diriNya lewat perhatian, kasih sayang, pengajaran, disipilin dan belaskasihanNya yang terus menerus. Manusia lalu menjadi keluarga Allah. Tentang hal ini Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:


“Allah dalam Dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas. Berdasarkan keputusan-Nya yang dibuat karena kebaikan semata-mata, Ia telah menciptakan manusia dengan kehendak bebas, supaya manusia itu dapat mengambil bagian dalam kehidupan-Nya yang bahagia. Karena itu, pada setiap saat dan di mana-mana Ia dekat dengan manusia. Ia memanggil manusia dan menolongnya untuk mencari-Nya, untuk mengenal-Nya, dan untuk mencintai-Nya dengan segala kekuatannya. Ia memanggil semua manusia yang sudah tercerai-berai satu dari yang lain oleh dosa ke dalam kesatuan keluarga-Nya, Gereja. Ia melakukan seluruh usaha itu dengan perantaraan Putera-Nya, yang telah Ia utus sebagai Penebus dan Juru Selamat, ketika genap waktunya. Dalam Dia dan oleh Dia Allah memanggil manusia supaya menjadi anak-anak-Nya dalam Roh Kudus, dan dengan demikian mewarisi kehidupan-Nya yang bahagia” (KGK, 1).


Pembaptisan adalah jalan masuk menjadi keluarga Allah. Kita semua diadopsi ke dalam keluarga Allah. Perhatikanlah apa yang dikatakan Katekismus Gereja Katolik:


“Pembaptisan tidak hanya membersihkan dari semua dosa, tetapi serentak menjadikan orang yang baru dibaptis suatu “ciptaan baru” (2 Kor 5:17), seorang anak angkat Allah Bdk. Gal 4:5-7.; ia “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” (2 Ptr 1:4), adalah anggota Kristus Bdk. 1 Kor 6:15; 12:27., “ahli waris” bersama Dia (Rm 8:17) dan kenisah Roh Kudus Bdk. 1 Kor 6:19”. (KGK 1265).

Dengan uraian-uraian ini kiranya kita semua dibantu untuk untuk mengerti nilai-nilai rohani dan ilahi dari adopsi. Menghargai anak-anak dengan martabatnya yang luhur seperti anak dari darah daging sendiri. Mereka bukanlah orang lainn tetapi bagian dari diri kita.  Mengapa? Karena kita sendiri adalah anak adopsi dari keluarga Allah. Pembaptisan adalah jalan masuk menjadi anak adopsi Allah.


P. John Laba,SDB

Leave a Reply

Leave a Reply