Renungan 6 Juli 2013

Hari Sabtu, Pekan Biasa XIII
Kej 27: 1-5.15-29
Mzm 135:1-2.3-4.5-7
Mat 9:14-17

 

Berpuasa atau Berpesta?

Pada suatu kesempatan saya ditanya oleh seorang sahabat tentang makna puasa menurut ajaran Gereja Katolik. Dalam tradisi Gereja Katolik berpuasa selalu dipahami sebagai usaha pribadi untuk mengurangi jumlah makan, dalam arti hanya makan kenyang satu kali dalam sehari. Mengapa demikian? Karena Gereja menghendaki agar setiap pengikut Kristus sebagai anggota Gereja dapat memiliki semangat pertobatan, penyangkalan diri dan membangun semangat menyerupai Kristus yang menderita di kayu salib. Berpuasa itu seperti berbela rasa dengan sesama yang menderita. Ini adalah pemahaman umum tentang berpuasa. Namun demikian apakah berpuasa hanya memiliki makna seperti ini? Sebenarnya berpuasa tidak hanya memiliki makna seperti ini. Berpuasa dapat memiliki makna lain dalam wujud aksi puasa yakni melakukan perbuatan-perbuatan kasih seperti menolong orang-orang miskin, mengunjungi orang-orang sakit, di penjara dan perbuatan kasih lainnya. Ternyata aksi nyata puasa ini belum juga cukup. Puasa menjadi sempurna  ketika setiap orang sungguh  merasa akrab dan dekat dengan Tuhan. Hal ini tentu mengandaikan adanya pertobatan yang terus menerus dari pihak kita sebagai manusia di hadirat Tuhan. Bagaimana membangun keakraban dengan Tuhan? Ada banyak cara misalnya dengan berdoa. Doa yang betul-betul tulus oleh orang benar akan didengar oleh Tuhan. Selain doa, kita juga dapat beramal dan berpuasa.
Pada hari Penginjil Matius memberi kesaksian bahwa para murid Yohanes Pembaptis bertanya kepada Yesus: “Kami dan orang-orang Farisi berpuasa tetapi mengapa murid-muridMu tidak?” Yesus menjawab mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berduka cita selama mempelai itu ada bersama mereka? Tetapi akan tiba saat ya mempelai itu diambil dari mereka, dan sejak saat itulah mereka akan berpuasa.” Orang-orang Yahudi setiap tahun memiliki dua hari puasa utama dan empat hari puasa kecil. Dua hari puasa utama adalah Yom Kippur dan Tisha B’Av yang berakhir hanya dua puluh empat jam. Puasa ini dimulai pada saat matahari terbenam sampai setelah matahari terbenam hari berikutnya. Orang tidak dapat makan, minum, menggosok gigi, mandi dan menyisir rambut. Puasa kecil hanya untuk seharian saja. Para murid Yohanes mempraktekkannya demikian juga orang Farisi sedangkan para murid Yesus tidak mempraktekkannya. Hal ini tentu melawan kebiasaan di dalam agama Yahudi. Oleh karena itu para  murid Yohanes mempertanyakannya kepada Yesus.

 

Yesus sendiri tidak menjawab pertanyaan para murid Yohanes. Ia justru mau mengatakan kepada mereka bahwa diriNya adalah mempelai yang sedang ada bersama para muridNya. Maka selama Yesus masih ada bersama para muridNya, hendaknya yang ada di antara mereka adalah sukacita. Dalam bacaan Injil juga Yesus mengatakan diriNya sebagai anggur baru yang harus di simpan di dalam kantong yang baru. Anggur adalah simbol kasih dan sukacita. Maka selama Yesus masih berada di tengah-tengah para muridNya, hendaknya ada kasih dan sukacita. Ketika Yesus mengalami paskah dengan menderita, sengsara dan wafat di kayu Salib maka para murid boleh berduka. Yesus mengatakan kepada para muridNya untuk berpuasa pada saat yang tepat. Puasa di sini identik dengan membangun semangat pertobatan.

 

Kehadiran dan penyertaan Yesus adalah sebuah janji yang Ia berikan kepada para muridNya. Ketika mengutus para muridNya untuk menjadi pewarta Injil ke seluruh dunia, ia berkata: “Aku akan menyertai kamu hingga akhir zaman” (Mat 28:20). Kehadiran dan penyertaan Tuhan Yesus hendaknya menjadi sumber sukacita bagi Gereja. Tuhan sendiri berjanji dan Dia sendiri tidak pernah ingkar janji. Apakah ada sukacita di dalam Gereja? Belakangan ini Gereja ditantang habis-habisan, laksana ada badai besar yang nyaris menghancurkannya. Kasus demi kasus bermunculan sebagai tanda bahwa Gereja ada di dunia dan kuasa kejahatan tetap mencari cela untuk menghancurkan. Tetapi Gereja didirikan oleh Tuhan Yesus. Dia sendiri tetap ada dan memberi sukacita di dalamnya. Semua ini karena kuasa yang diberikan Bapa kepadaNya sebagai Putera Allah. Oleh karena itu hal terpenting bagi kita adalah bukan berpuasa tetapi bersukacita karena Yesus ada di tengah-tengah kita. Prinsip kita adalah feasting not fasting!

 

 

Di dalam bacaan pertama kita mendengar tentang kuasa yang diberikan bapa kepada anak. Ishak, putra Abraham sudah menjadi tua dan buta. Ia berniat untuk memberikan berkat Tuhan dalam dirinya kepada keturunannya. Ia memiliki dua orang putera yakni Esau sebagai putra sulung dan Yakub putra bungsu. Tuhan menghendaki Yakub sebagai putra bungsu yang menerima berkatNya melalui Ishak. Ibunya Yakub yakni Ribka membantu sebuah kecurangan dalam mata manusiawi tetapi rencana Tuhan tetap akan terlaksana. Kita mengingat kata-kata Tuhan sendiri: “Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalanKu” (Yes 55:8). Dan terjadilah bahwa Yakub diberkati sedangkan Esau tidak. Nah berkat dan kutuk akan tetap berdampingan selamanya. Dalam bahasa Italia ada dua kata di sini: Benedizione (berkat) dan Maledizione (kutuk). Kedua kata dengan awalan yang berbeda tetapi akhirannya sama.

 

Sabda Tuhan pada hari Sabtu ini mengarahkan kita untuk merasakan kehadiran Tuhan sebagai sumber kasih dan sukacita. Tuhan tidak menghendaki adanya kesedihan atau sesuatu yang “berbau puasa” karena Ia sendiri yang menyertai kita hingga akhir zaman. Tuhan Yesus laksana anggur baru yang harus di simpan di dalam diri kita sebagai kantong baru. Kita semua dibaptis dan menjadi satu denganNya. Biarlah Dia bersemayam di dalam diri kita sebagai kantong baru. Pertanyaannya adalah apakah kita layak menjadi kantong baru bagi Tuhan Yesus, sang anggur baru? Kita percayakan semua ini pada rancangan Tuhan, bukan rancangan kita sebagai manusia.Doa: Tuhan, Bapa di dalam Surga. Bantulah kami untuk menerima kehadiran dan penyertaanMu sebagai anggur baru di dalam diri kami. Amen

 

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply