Renungan 29 Juli 2013

Peringatan St. Marta
Hari Senin, Pekan Biasa XVII
Kel 32:15-24.30-34
Mzm 106:19-20.21-22.23
Mat 13:31-35

 

Tuhan, Jadikanlah Aku Pembawa Damai! 

Ada seorang Misionaris yang melayani suatu daerah di Timor Leste selama lebih kurang 40 tahun. Ia meninggalkan negaranya di Eropa, datang ke pedalaman Timor Leste saat usianya masih muda dan tak kenal lelah melayani jemaat di daerah tersebut. Banyak kali ia terhibur, merasa bahagia karena kelihatan pelayanan dan karya misionernya berhasil. Semua orang juga segan dan memberi rasa hormat kepada pelayanannya. Akan tetapi pada suatu hari ia jatuh dalam penyesalan dan kekecewaan yang luar biasa. Ia hendak melakukan perjalanan ke Dili. Di pertengahan jalan ia harus kembali karena mengalami gangguan kesehatan. Dia merasa heran karena orang-orang di kampung tersebut sedang berjalan menuju ke gunung sambil membawa sesajian. Ia bertanya kepada mereka apa yang hendak mereka lakukan. Orang-orang itu berkata, “Ini adalah upacara adat kami. Sekarang kita sudah mengalami kemerdekaan maka sepatutnya kami juga mau mengucap syukur kepada nenek moyang kami di gunung”. Pastor itu berkata, “Tetapi itu berarti kalian menyembah berhala”. Mereka menjawab, “Menyembah berhala itu menurut pastor, bukan menurut kami”. Pastor Misionaris itu kembali ke pastoran dan merenungkan semua pengalaman yang barusan terjadi. Ternyata umat masih mengalami dualisme dalam imannya. Pada Hari Minggu mereka ke Gereja, pada hari yang lain mereka menyembah nenek moyang dan para leluhur di gunung. 

 
Pada hari ini kita mendengar kisah yang menarik dalam bacaan pertama. Cukup lama Musa dan Yosua menghadap Allah di gunung. Mereka turun dengan membawa dua loh batu bertuliskan semua hukum Allah. Itu adalah tulisan tangan Allah sendiri di atas loh batu. Ketika mereka sudah mendekat daerah perkemahan Israel, kedengaran oleh mereka nyanyian bersahut-sahutan dan berbalas-balasan. Ternyata orang-orang Israel sedang menyembah patung lembuh buatan tangan mereka. Apa reaksi dari Musa sebagai leader mereka? Ia menghancurkan dua loh batu di kaki gunung Sinai, mengambil patung anak lembu buatan tangan mereka, membakarnya, menggilingnya, menaburkan di dalam air dan memberi semua orang Israel meminum air tersebut. Musa juga merasa kesal dengan Harun karena kurang bertanggung jawab terhadap orang Israel sehingga membuat dosa besar melawan Tuhan. Harun membela diri di hadapan Musa, namun dosa sudah terjadi. 

Dalam situasi yang kacau balau ini, Musa berkata kepada bangsa Israel: “Kalian telah berbuat dosa besar, tetapi sekarang aku akan naik menghadap Tuhan, mungkin aku dapat mengadakan pendamaian karena dosa-dosamu itu”. Di hadirat Tuhan Musa berkata: “Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. Tetapi sekarang kiranya Engkau menghapus dosa mereka. Dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam Kitab yang telah Kautulis”. Tuhan menjawab Musa, “Barangsiapa berdosa terhadapKu, nama orang itulah yang akan Kuhapuskan dari dalam KitabKu. Tetapi pergilah sekarang, tuntunlah bangsa itu ke tempat yang telah Kusebutkan kepadaMu. Tetapi pada hari pembalasanKu, Aku akan membalaskan dosa mereka kepada mereka”. 

 
Relasi Musa dengan Yahwe sangat akrab. Mereka sangat bersahabat satu sama lain. Perjalanan Bangsa Israel di padang gurun selalu ditandai dengan jatuh dan bangun. Mereka menggerutu soal makan dan minum bahkan membuat patung anak lembu dari emas dan menyembahnya. Kehadiran Musa memang sangat penting. Ia berbicara dengan Tuhan supaya ada pendamaian dan pengampunan. Dalam negosiasi itu Tuhan tetap menaruh kasih sayangNya kepada Musa tetapi akan memberi balasan setimpal kepada bangsa Israel yang berdosa. Musa bertindak tegas untuk mengoreksi hati orang Israel yang membatu. Ia juga membawa memohon damai Tuhan atas Israel. Apakah kita juga dapat memiliki sikap seperti Musa yang membawa damai? 

 

Sikap Musa ini patut kita ikuti di dalam hidup setiap hari. Musa berani memberi koreksi ketika melihat orang Israel berbuat salah. Ia tidak tinggal diam. Musa juga berani untuk menghadap Tuhan dan memohon pendamaian dari Tuhan kepada Israel. Ia tentu punya harapan supaya tidak ada hukuman apa pun terhadap Israel, sebagai umat kesayanganNya. Banyak kali orang bersikap masa bodoh, tidak berani memberi koreksi dan membiarkan dosa bertumbuh subur. Banyak kali orang juga memiliki sikap menyalahgunakan kebaikan orang lain dengan dosa. Sikap-sikap ini ada di dalam masyarakat dan kalau tidak ada orang yang berani mengoreksi akan tetap ada selamanya.

 

 
Kerajaan Surga yang diwartakan oleh Tuhan adalah Kerajaan damai. Tuhan menghendaki agar pemerintahanNya berlangsung damai di dalam hati segenap umat manusia. Di samping damai, Kerajaan Surga juga merupakan suasana sukacita kekal yang dialami di dalam hidup setiap hari. Di dalam bacaan Injil hari ini, Tuhan Yesus mengumpamakan Kerajaan Surga dengan biji sesawi. Biji sesawi memang kecil tetapi akan bertumbuh menjadi pohon besar, hingga burung-burung dapat bersarang di atasnya. Kerajaan surga juga seumpama ragi yang diambil seorang wanita dan diadukan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai seluruhnya beragi. Perumpamaan ini memang sederhana dan titik fokalnya adalah pada keadaan awal dan akhir. Biji sesawi itu kecil akan menjadi besar. Ragi sedikit akan membuat adonan menjadi besar. 

 

Perumpamaan ini mau mengatakan tentang pewartaan yang sedang dilakukan Yesus dan yang menjadi saksi hanya 12 RasulNya. Namun kedua belas rasul ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi pertumbuhan Gereja. Hal ini menjadi nyata hingga saat ini. Gereja berkembang dalam komunitas-komunitas kecil, mengalami penganiayaan sehingga seolah-olah menjadi kerdil tetapi tetap bertumbuh menjadi besar. Biji sesawi menjadi pohon sayuran merupakan bahasa simbolis bagi komuntas Mesianik yang mendengar dan merasakan kehadiran Yesus (Yeh 17: 22-23; 31:6; da 4:9.18). 

Rencana Tuhan untuk menghadirkan Kerajaan Surga di dalam diri Yesus berkembang hingga saat ini. Tuhan yang memulai, Tuhan juga yang menggenapi. Sekecil apapun biji sesawi akan menjadi pohon, demikian juga ragi akan menjadi adonan besar. Maka Sabda Tuhan, meskipun sangat sederhana tetapi memiliki power yang luar biasa untuk mengubah hidup manusia secara pribadi dan jemaat. Bangsa Israel sudah mengalaminya. Mereka berubah dengan teguran dari Tuhan melalui Musa. Apakah kita secara pribadi merasakan bertumbuhnya Kerajaan Surga di dalam hidup pribadi?

 

 
Doa: Tuhan, kami bersyukur kepadaMu karena Engkau mengingatkan kami untuk tetapi setia kepadaMu. Bantulah kami semua untuk tetap mendengar SabdaMu dan setia melakukannya di dalam hidup setiap hari. Amen 

 
PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply