Renungan 30 Juli 2013

Hari Selasa, Pekan Biasa XVII

Kel 33:7-11;34:5b-9.28
Mzm 103: 6-7.8-9.10-11.12-13
Mat 13:36-43
Inilah Allah yang diimani Musa
Kalau kita rajin membaca Kitab Perjanjian Lama, ada figur-figur tertentu yang memiliki relasi yang sangat akrab dengan Tuhan. Sebut saja Abraham. Dia adalah orang yang berani berdebat dengan Tuhan, bernegosiasi untuk membebaskan Sodom dan Gomora dari hukuman Tuhan. Abraham berkata kepada Tuhan: “Janganlah kiranya Tuhan murka kalau aku berkata” (Kej 18:20-32). Ini adalah satu model doa permohonan yang terbesar dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Figur lain yang menjadi sahabat Allah adalah Musa. Dari Musa kita belajar bahwa doa berarti bercakap-cakap dengan Allah. Dalam semak yang menyala, Allah membuat percakapan nyata dengan Musa dan Allah memberinya tugas. Musa mengajukan keberatan dan pertanyaan. Allah lalu menyatakan kepada Musa namaNya yang kudus (Kel 3:1-22). Seperti Musa yang kemudian percaya kepada Allah dan menjalankan pelayanannya dengan sepenuh hati, maka kita juga harus berdoa dan masuk dalam sekolah Allah.
Pada hari ini kita mendengar bagaimana  relasi Musa dan Allah begitu akrab. Pada waktu itu Musa mengambil sebuah kemah dan membentangkannya jauh di luar perkemahan dan disebut Kemah Pertemuan. Kemah itu sungguh menjadi tempat perjumpaan antara Tuhan dan manusia. Ketika Musa pergi ke kemah itu, semua mata tertuju kepadanya hingga ia masuk ke dalam kemah. Ketika Musa berada di dalam kemah, turunlah tiang awan dan berhenti di depan pintu kemah lalu Tuhan berbicara dengan Musa. Tiang awan adalah shekina, tempat di mana Tuhan ada dan hadir. Pada kesempatan itu bangsa Israel berdiri dan menyembah Tuhan dari pintu kemahnya masing-masing. Hal ini merupakan sebuah gambaran relasional antara Tuhan dan manusia dan manusia dengan Tuhan.
Tuhan menunjukkan keakrabanNya dengan manusia dan manusia juga seharusnya menjadi akrab dan bersahabat dengan Tuhan. Relasi anatara Tuhan Allah dan Musa dikatakan bersahabat dan akrab. mengapa demikian? Karena di depan Kemah Perjanjian, Tuhan berbicara dengan Musa dengan berhadapan muka seperti orang berbicara dengan temannya. Tentu saja bangsa Israel merasa heran dengan pengalaman iman seperti ini. Di mata mereka hanya tiang awan yang kelihatan di berada di depan pintu kemah perjanjian. Namun Musa berbicara layaknya di hadapan seorang manusia. Orang-orang Israel juga mendengar suara yang lain selain suara Musa dan merasa heran tetapi takjub pada kebesaran Tuhan.
Tuhan tidak hanya memperdengarkan suaraNya ketika berbicara dengan Musa. Ia juga digambarkan berjalan lewat di depan Musa sambil berseru: “Tuhan adalah Allah yang penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setiaNya, rahmat dan kesetiaanNya berlimpah-limpah. Ia meneguhkan kasih setiaNya kepada beribu-ribu orang, Ia mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa. Tetapi orang yang bersalah tidak sekali-kali Ia bebaskan dari hukuman. Dan kesalahan bapa akan dibalaskanNya kepada anak-anak dan cucunya, sampai keturunan yang ketiga dan keempat.” Reaksi Musa setelah mendengar kata-kata Tuhan adalah berlutut ke tanah, sujud menyembah dan memohon kepada Tuhan untuk berbelas kasih kepada umat Israel. Ia bahkan meminta Tuhan untuk berjalan di tengah-tengah mereka sebagai bangsa yang berdosa, seraya memohon pengampunan dosa. Musa bahkan memohon supaya Tuhan mengambil mereka menjadi milikinya. Musa juga mengadakan puasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam.

Kisah relasi Musa dan Tuhan memang menarik perhatian kita semua. Musa selalu bercakap-cakap dengan Tuhan. Sebagai seorang pemimpin, ia tidak pernah mengusahakan kebahagiaan dirinya secara pribadi. Ia justru bertindak sebagai pendamai antara Tuhan Allah dengan Israel sebagai bangsa yang berdosa. Oleh karena imannya yang kuat maka Tuhan juga mendengar semua permohonannya. Pengampunan berlimpah diberikan Tuhan kepada bangsa Israel. Menjadi pemimpin memang harus berani melupakan diri dan mengusahakan kebahagiaan sesama. Hal ini yang selalu dilupakan oleh manusia masa kini. Pemimpin justru dilayani dan dihargai. Pemimpin justru mencari kesempatan untuk memperkaya diri. Andaikan Musa berada di sini, ia akan meminta semua pemimpin untuk melayani dengan sungguh. Yesus sebagai Musa baru menunjukkan teladanNya sebagai Pemimpin dan Penyelamat, tanpa meminta imbalan apa-apa.

Tuhan tidak hanya menunjukkan belaskasihNya kepada manusia. Ia juga menunjukkan kesabaranNya yang begitu besar bagi manusia. Seorang pemuda pernah bertanya kepadku, “Apakah Tuhan Allah itu sabar dengan manusia?” Satu jawaban yang pasti adalah Tuhan memang sungguh sabar dengan manusia. Perumpamaan tentang lalang yang bertumbuh bersama gandum merupakan salah satu contoh Tuhan yang sangat sabar dengan manusia. Perikop Injil kita hari ini menjelaskan makna dari perumpamaan ini. Yesus sebagai Anak Manusia menaburkan benih. Benih adalah Sabda atau semua perkataan yang keluar dari mulut Tuhan. Ladang adalah tempat di mana manusia berpijak. Iblis adalah musuh yang menaburkan lalang atau kejahatan. Akhir zaman adalah saat menuai dan para penuai adalah malaikat-malaikat Tuhan. Anak manusia memiliki kuasa untuk meminta para UtusanNya, dalam hal ini para Rasul untuk mengumpulkan segala sesuatu. Lalang dipotong dan dibakar, gandum disimpan di lumbung.

Perumpamaan Yesus ini menjadi konkret dalam hidup sebagai Rasul. Sabda Tuhan yang sudah diwartakan hendaknya didengar oleh banyak orang. Dampak dari pewartaan Sabda adalah jemaat semakin bertumbuh menjadi dewasa dalam iman. Kedewasaan iman itu memang sangat pribadi, tetapi dapat ditunjukkan dalam kebersamaan. Orang yang dewasa dalam iman akan peka terhadap semua pekerjaan yang dipercayakan kepadaNya. Musa di dalam Peranjian Lama merupakan contoh pribadi yang sangat kuat relasinya dengan Tuhan. Ia dapat tahan di hadapan wajah Allah yang mulia, dapat menjadi juru damai Allah dan manusia, dalam hal ini bangsa Israel.

Sabda Tuhan hari ini sangat kaya maknanya bagi kita. Allah mewahyukan diriNya sebagai sahabat manusia. Abraham dan Musa, Yesus sebagai Musa baru adalah contoh bagaimana Tuhan begitu bersahabat dengan manusia. Apakah relasi yang bersahabat ini merupakan salah satu kebutuhan hidup kita di hadirat Tuhan dan sesama? Apakah kita juga merasa diri sebagai gandum yang akan membahagiakan sesama dalam karya-karya pelayaan mereka? Mari kita merenungkan belas kasih Tuhan dan tetap mau mendengar Sabda Tuhan di dalam hidup kita.
Doa: Tuhan, terima kasih atas belas kasihMu yang berlimpah bagi kami. Amen.
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply