Uomo di Dio

Menjadi Ragi yang Baik!


Rekan-rekan Pria Katolik yang terkasih. Kita semua mengenal ragi. Bagi kaum pria dan wanita yang suka membuat roti atau kue selalu menggunakan ragi. Ragi adalah segumpal adonan yang sudah agak lama dalam keadaan khamir dengan maksud untuk meragikan gumpalan yang besar yang sudah tersedia. Ragi dapat juga dipahami sebagai bahan yang dipakai dalam adonan roti atau kue untuk mengkhamirkan atau mengembangkan adonan itu.


Di dalam Alkitab kita mendapat informasi bahwa bagi kaum Yahudi, ragi itu tidak dapat disimpan di dalam rumah selama masa hari raya Paskah dan dilarang menjadikannya sebagai persembahan yang diletakkan di atas mezbah kepada Yahwe. Mungkin karena semakin lama ragi itu di simpan maka kualitasnya juga menurun atau sudah tidak sehat lagi sehingga tidak layak dipersembahkan kepada Tuhan.


Ragi itu sifatnya mengembang maka di dalam Alkitab sering dipakai untuk melukiskan cepatnya mewaratakan Injil (Mat 13:13; Luk 13:21). Tetapi ragi yang di simpan terlalu lama dapat melambangkan pengajaran orang Farisi (Mat 16: 6.12), orang yang mengaku kristiani tetapi tidak mengenal Tuhan dan beribadah (1Kor 5: 6-7), para guru palsu (Gal 5: 8.9) dan niat jahat atau kejahatan (1Kor 5: 8).


Dengan memahami makna ragi ini, bagaimana kita berefleksi tentang sebuah spritualitas pria katolik? Hendaknya setiap pria katolik memiliki kemampuan untuk menyerupai ragi yang baik. Artinya di dalam hidup bersama, di rumah dan di tempat di mana kita bekerja, ragi yang baik itu kita tunjukkan lewat kesaksian hidup yang nyata kepada orang lain. Ragi di sini adalah semua kebajikan kristiani yang sifatnya membangun kebaikan bersama. Kebajikan yang umum kita kenal seperti kearifan (prudence), pengendalian diri (temperance), keadilan, keberanian (fortitude), iman, harapan, kasih. Misalnya keadilan dalam bekerja merupakan ragi yang baik. Ketika kita bersikap adil dalam bekerja kita juga pasti akan melayani dengan sungguh-sungguh. Ibarat ragi yang membuat adonan menjadi besar, kelompok atau masyarakat juga ikut berubah menjadi baik karena kita berlaku adil. Ketika mengunjungi sebuah komunitas, saya membaca sebuah tulisan yang bagus: “Alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mzm 133:1). Saya membayangkan kalau setiap pria katolik menjadi ragi yang baik maka keluarga dan tempat kerja menjadi sebuah komunitas persaudaraan.


Tetapi kita tidak hanya berada di zona nyaman dengan ragi yang baik saja. Tantangan besar bagi pria katolik adalah menjadi ragi busuk. Ada pria katolik yang bisa menjadi orang Farisi modern, mengaku diri katolik tetapi tidak pernah ke Gereja lagi, menjadi guru dan nabi palsu dalam arti tidak jujur dalam bekerja dan melayani, selalu memiliki niat jahat di dalam dirinya. Misalnya, ada banyak pria katolik yang menjadi suami yang tidak setia dan jujur. Selagi masih muda begitu baik, tetapi perilakunya berubah menjadi ragi busuk setelah beberapa tahun berkeluarga atau bekerja.


Pada hari ini kita semua disadarkan untuk ber-metanoia supaya menjadi ragi yang baik untuk mengembangkan adonan yang kecil menjadi besar. Kalau sekiranya ada ragi busuk di dalam diri maka singkirkanlah. Teruslah menggunakan ragi yang baik untuk kebaikan banyak orang. Dengan segala pekarjaan yang dilakukan entah besar atau kecilnya pekerjaan itu tetaplah berfokus kepada kebaikan bersama.


Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip Napoleon Hill yang pernah berkata: “Jika anda tidak dapat melakukan hal-hal besar yang hebat, lakukanlah hal-hal kecil dengan cara yang hebat”. Rekan-rekan pria katolik, anda dan saya juga dapat menjadi ragi yang baik yang dapat melakukan hal-hal yang hebat di dalam hidup ini! Ayooo…


Salam dan berkat Tuhan


PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply