Homili Hari Minggu Biasa XXX/C – 2013

Hari Minggu Biasa XXX/C
Sir 35:12-14.16-18
Mzm 34:2-3.17-18.19.23
2Tim 4:6-8.16-18

Luk 18:9-14

Di hadiratMu ya Tuhan, Aku Berdoa

 

Selama beberapa hari Minggu terakhir ini Tuhan Yesus mengarahkan kita melalui SabdaNya di dalam Injil  untuk bersatu dalam Doa. Ia mengajar doa Bapa Kami dan mengingatkan para muridNya untuk berdoa tanpa henti, berdoa tanpa merasa malu dengan Tuhan karena Tuhan akan memperhatikan semua yang dibutuhkan oleh manusia. Berdoa adalah mengarahkan hati dan pikiran kita kepada Tuhan. Kita tidak hanya sekedar berkomunikasi dengan mulut tetapi totalitas kehidupan kita terarah hanya kepada Tuhan. Tentu saja konsekuensi keterarahan kepada Tuhan adalah kita juga semakin bersatu dengan sesama. Mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan membawa dampak di dalam kehidupan pribadi untuk selalu berdialog kepada Tuhan, bersama Tuhan dan selamanya adalah kasih.

 

Banyak orang mengatakan bahwa berdoa berarti berbicara atau berdialog kepada Tuhan. Kesan berdoa kepada Tuhan adalah Tuhan begitu jauh sehingga kita masih berdoa kepadaNya. Bukankah Tuhan kita adalah Emanuel? Bukankah Tuhan selalu menyertai seluruh hidup kita. Dia ada di tengah-tengah kita dan selalu beserta kita. Dengan kesadaran bahwa Tuhan beserta kita maka doa kita hendaknya memiliki makna berdoa berarti berbicara atau berdialog bersama Tuhan. Masing-masing kita memiliki keakraban tertentu dengan Tuhan. Ia dekat bukan jauh dari kita. Dia telah berinkarnasi dan tinggal bersama kita. Ketika orang menyadari bahwa berdoa berarti berbicara bersama Tuhan maka diharapkan bahwa pada suatu saat kita mencapai pemahaman yang lebih tinggi yakni berdoa berarti mengasihi. Allah adalah kasih maka berdoa berarti merasakan kasih Allah dan dengan demikian kita juga bersatu denganNya, mengasihiNya dan mengasihi sesama sampai tuntas. Doa mengubah orang untuk rela mengosongkan diri supaya dapat bersatu dengan Tuhan dan sesama manusia.

 

Tentu saja ini merupakan tantangan yang besar bagi kita semua. Apakah di dalam pengalaman doa pribadi dan doa komunitas, kita masih berdoa kepada Tuhan atau berdoa bersama Tuhan atau sudah bersatu dengan Tuhan dalam kasih? Mungkin saja kita masih tetap berada pada tahap berdoa kepada Tuhan karena kita belum akrab dan bersahabat denganNya. Relasi pribadi kita dengan Tuhan masih sangat dangkal karena kita tidak memiliki banyak waktu untuk berbicara denganNya, mendengar SabdaNya dan menjadi pelaku-pelaku SabdaNya. Mungkin ada di antara kita yang sudah mulai mengalami pergeseran dari berdoa kepada Tuhan menjadi berdoa bersama Tuhan. Ada kerinduan yang mendalam untuk bersatu dengan Tuhan. Ada yang memiliki komiten untuk selalu bersama dengan Tuhan, siang dan malam mendengar, merenungkan dan melakukan SabdaNya. Mungkin ada juga yang sudah merasakan doa sebagai kasih. Ada pesatuan yang utuh dengan Tuhan. Ada kebahagiaan dan sukacita selamanya dengan Tuhan.

 

 

Pada hari ini kita mendengar Yesus memberi perumpamaan tentang dua orang yang pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Kedua orang ini sama-sama orang Yahudi dan sama-sama percaya kepada Allah yang sama. Mereka hanya berbeda dalam profesi. Mereka hanya berbeda dalam hidup sosialnya, dalam hal ini ada seorang  merupakan kaum Farisi dan orang yang lainnya adalah seorang pemungut cukai. Orang-orang Farisi terkenal sebagai pemegang dan penegak hukum Taurat. Bagi mereka, orang Yahudi yang baik adalah dia yang  melakukan perintah-perintah Tuhan dengan murni. Misalnya dalam hal berpuasa, den memberi persepuluhan dari penghasilannya. Orang kedua adalah pemungut cukai. Para pemungut cukai adalah orang-orang Yahudi yang bekerja untuk Kerajaan Romawi. Ketika memungut cukai, kadang-kadang mereka tidak jujur sehingga mereka disamakan dengan kaum pendosa.

 

Apa yang terjadi ketika mereka berdua berdoa? Ternyata kesombongan rohani orang Farisi muncul. Ia dengan angkuhnya mengangkat kepalanya di hadapan Tuhan, mengucapkan puji dan syukur karena dirinya bukan perampok, orang lalim, pezinah dan pemungut cukai. Dia terang-terangan menyombongkan dirinya di hadirat Tuhan dan berpikir bahwa Dialah yang paling sempurna. Orang ini boleh merasa diri dekat dengan Tuhan tetapi sebenarnya jauh dari Tuhan. Orang ini adalah simbol orang yang mengalami kedangkalan rohani. Lain halnya dengan pemungut cukai. Ketika berdoa, dia mengetahui siapakah dirinya maka ia menundukkan kepala, menepuk dada dan memukul dirinya sambil memohon belas kasih Tuhan: “Allah kasihanilah aku orang berdosa ini”. Orang ini kembali ke rumah dengan sukacita karena Tuhan menyertainya.

 

Dua tipe manusia yang diumpamakan Yesus di dalam Injil adalah gambaran diri kita masing-masing di hadirat Tuhan. Ketika kita pergi ke Gereja untuk berdoa, banyak kali kita adalah orang Farisi modern yang membuat perhitungan dengan Tuhan. Kita menghitung segala kebaikan yang kita lakukan dan merasa diri puas dan dekat dengan Tuhan sambil membandingkan dan menganggap orang lain sebagai pribadi yang tidak layak untuk Tuhan. Sebenarnya kita jauh dari Tuhan! Mungkin lebih baik ketika kita mengenal diri kita, merendahkan diri kita supaya dapat merasakan kerahiman Tuhan. Dengan legowo kita pun dapat berkata kepada Tuhan: “Allah kasihanilah aku orang berdosa ini”. Tuhan membenarkan orang yang rendah hati di hadiratNya dan mencampakkan orang yang congkak hatinya. Orang yang tinggi akan direndahkan dan yang rendah akan ditinggikan.

 

Tuhan berkenan kepada orang kecil yang tulus kepadaNya. Kitab Putra Sirak dalam bacaan pertama mengatakan bahwa Tuhan adalah hakim yang adil. Ia tidak memihak dalam perkara orang miskin tetapi mengindahkan doa orang yang terjepit. Jeritan para yatim piatu dan janda didengarkanNya. Tuhan berkenan kepada siapa saja yang dengan sebulat hati berbakti kepadaNya dan doanya naik sampai ke awan. Doa orang miskin menembusi awan dan Tuhan memandang serta menerimanya. Sekali lagi sikap rendah hati dan pasrah kepada Tuhan merupakan hal yang luhur di hadiratNya. Sikap rendah hati menunjukkan bahwa orang itu membutuhkan Tuhan di dalam hidupNya. Hanya orang sombong yang merasa diri dekat dengan Tuhan tetapi sebenarnya sangat jauh dari Tuhan.

 

Apa yang harus kita lakukan? St. Paulus di dalam bacaan kedua menunjukkan teladan kerendahan hatinya. Ia banyak mengalami penderitaan dan penolakan karena cintanya kepada Kristus. Oleh karena itu ia mengatakan syukurnya karena telah mengakhiri pertandingan dengan baik, mencapai garis finis dan memelihara iman. Oleh karena itu ia dengan berani mempersembahkan dirinya secara utuh kepada Tuhan. Pemberian diri secara total kepada Tuhan adalah buah doa yang sangat berarti. Apakah kita bisa menyerupai St. Paulus? Berdoalah senantiasa dan serahkanlah dirimu kepada Tuhan. Dialah yang menyempurnakanmu.

 

Doa: Tuhan kami bersyukur dan berterima kasih kepadaMu karena Engkau sudah menyadarkan kami untuk bersatu denganMu dalam doa. Bantulah kami untuk selalu rendah hati sehingga layak mengucap puji dan syukur kami kepadaMu. Amen

PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply