Renungan 6 November 2013

Hari Rabu, Pekan Biasa XXXI
Rm 13:8-10
Mzm: 112:1-2.4-5.9
Luk 14:25-33
Berani melepaskan!

Pada suatu acara open house di sebuah seminari diadakan banyak kegiatan yang berhubungan dengan promosi panggilan. Ada kesempatan di mana para romo memberi kesaksian tentang panggilan hidup mereka. Ada seorang romo, misionaris yang sudah empat puluh tahun imamat, mengisahkan pengalamannya yang sangat menarik perhatian kaum muda saat itu. Romo Misionaris dari Eropa itu mengisahkan bahwa ia adalah anak tunggal, keluarganya terbilang kaya. Orang tuanya adalah orang katolik yang taat maka sejak kecil ia selalu dibawa ke gereja dan memperkenalkannya dengan para romo di Gereja. Para romo juga sangat bersahabat dengannya. Ketika memasuki sekolah lanjutan, ia mengatakan kepada orang tuanya untuk menjadi seorang imam. Tentu saja orang pertama yang menolak adalah ayahnya. Ayahnya berpikir tentang perusahan keluarga yang dirintisnya, nantinya siapa yang akan meneruskannya. Ibunya mendukung saja suaminya. Tetapi anak mereka tetap mau menjadi romo. Ia berdoa untuk panggilannya dan berharap bahwa pada suatu saat yang tepat kedua orang tuanya akan mengijinkan dan mendukung. Dan saat itu pun tiba. Ia diijinkan untuk masuk seminari dan menjadi misionaris di daerah yang paling miskin di Indonesia.

Ini hanyalah pengalaman dari salah seorang misionaris yang sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ia memilih  untuk mengikuti Yesus secara radikal sebagai imam. Ia meninggalkan segala-galanya: orang tua, perusahan yang dirintis ayahnya serta semua harta yang menyenangkan hati, tanah kelahirannya sampai meninggal sebagai misionaris di tanah misi. Tuhan selalu memiliki rencana yang indah bagi setiap orang yang dikehendakiNya. Mungkin dalam pikiran manusiawi, kita merasa heran dengan rencana dan kehendak Tuhan tetapi bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.
Pada hari ini kita berjumpa dengan Yesus yang menantang kita semua untuk berani melepaskan. Apakah kita berani melepaskan diri kita dari semua yang kita miliki untuk lebih bebas dalam mengikuti dan melayani Tuhan dan sesama?  Tuhan Yesus tidak hanya mengajar tentang berani melepaskan tetapi Ia sendiri menunjukkan kemampuanNya untuk melepaskan. St. Paulus memberi kesaksian ini: “Yesus Kristus, walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib” (Flp 2:6-8).
Apa dan siapa saja yang harus kita lepaskan supaya lebih bebas mengikuti dan mengasihi Yesus? Pertama, Kita harus berani melepaskan orang-orang yang menjadi bagian dari hidup kita yakni orang tua, saudara-saudara dan nyawa sendiri. Ini memang bukan hal yang gampang. Berani melepaskan orang yang dikasihi itu sulit tetapi Yesus sendiri melakukan hal itu. Kedua, Kita memikul salib dan mengikuti Yesus. Salib adalah pengalaman hidup kita, pergumulan, perjuangan, pengurbanan  yang ada di dalam diri kita supaya orang lain menjadi bahagia. Ketiga, harta kekayaan yang menyenangkan hati kita bisa juga menjadi penghalang untuk berjumpa dengan Yesus. Yesus berkata, “Dimana hartamu berada, di sana hatimu juga berada” (Mat 6:21). Jadi di sini, Tuhan Yesus menghendaki sikap lepas bebas di dalam diri kita, supaya kita semua lebih setia, layak mengikuti dan melayaniNya.

St. Paulus dalam bacaan pertama mengajak jemaat di Roma untuk mewujudkan kasih dalam kebersamaan. Ia mulai dengan ajakan ini: “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.” (Rm 13:8). Prinsip kasih sebagaimana diajarkan Yesus di dalam Perjanjian Baru adalah mengasihi Tuhan dengan seluruh totalitas hidup dan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri. Prinsip dan hukum kasih ini dapat terlaksa dengan baik ketika seorang memilik sikap lepas bebas. Kalau orang tidak melekat pada barang duniawi maka dia juga akan lebih leluasa mengasihi.

Hukum kasih kepada sesama meringkas semua perintah Tuhan seperti jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini apa yang menjadi milik sesamamu. Barangsiapa mengasihi sesama, ia juga akan menghormati sesamanya. Barangsiapa tidak mengasihi sesama, ia juga tidak menghormati sesamanya. Bagi Paulus, kasih itu selalu mengarah kepada kebaikan bersama. Artinya kasih itu tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia. Mengapa kasih itu selalu mengarah kepada kebaikan? Karena Allah sendiri adalah kasih.

Mari kita membangun skala prioritas di dalam kehidupan kita dengan menomorsatukan pelayanan kita bagi Tuhan dan sesama dan melupakan atau menyangkal diri kita. Semakin kita berani melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi, kita juga semakin bebas mengasihi Tuhan dan sesama. Kita semakin mantap dalam jalan kekudusan. Apakah anda dan saya berani melepaskan? Kemampuan untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi memampukan kita untuk dapat mengasihi Tuhan dan sesama.
Doa: Tuhan Yesus Kristus, kami bersyukur kepadaMu karena pada hari ini Engkau menyadarkan kami untuk berani melepaskan diri dari berbagai ikatan duniawi. Semoga kami memiliki sikap lepas bebas untuk mengasihi Engkau lebih dari segalanya. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply