Homili 27 Februari 2014

Hari Kamis, Minggu Biasa VII

Yak 5:1-6;

Mzm 49:14-15ab,15cd-16,17-18,19-20;

Mrk 9:41-50

 

Kekayaan itu untuk kebaikan

Fr. JohnSeorang ibu mengeluh sekaligus menyesal. Ia mengakui telah salah mendidik anaknya. Ia pernah berpikir bahwa dengan kesibukan sebagai wanita karier, ia menyenangkan anaknya dengan aneka gadget dan fasilitas lain di kamar anaknya. Dengan demikian anaknya menjadi tenang di rumah, ibu dan bapanya bisa nyaman di tempat kerja. Sayang sekali karena relasi antar pribadi mereka mandek. Anaknya sudah menciptakan dunianya sendiri di kamar. Dia tidak butuh kehadiran orang lain. Dia tidak butuh orang tua tetapi uang dari orang tua dan berbagai barang yang ia sukai. Ibunya baru sadar bahwa virus konsumerisme dan hedonism sedang menggerogoti anaknya.

Ini pengalaman seorang ibu yang sehari-hari menjadi wanita karier. Ia merasa kesulitan untuk mengeluarkan anaknya dari perilaku konsumeris dan hedonis. Menyita semua gadget bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Apalagi semua sudah mendarah daging dalam diri anaknya. Hal yang baik adalah sebagai orang tua perlu duduk bersama, berbicara dari hati-ke hati dengan anaknya, mengatakan tentang bahaya keterikatan pada barang-barang duniawi. Upaya memberi kesadaran itu sangat penting bagi anak-anak terutama sejak usia dini. Banyak keluarga juga memiliki kesulitan yang sama dalam mendidik anak-anak terutama usaha untuk menangkal bahaya konsumerisme dan hedonisme.

St. Yakobus dalam suratnya menegur para pedagang yang hanya berpikir untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya bahkan kadang bermain curang. Pada hari ini St. Yakobus menegur orang-orang kaya. Ia berkata: “Menangislah dan merataplah akan sengsara yang akan menimpa kalian” (Yak 5:1). Mengapa orang kaya diingatkan supaya menangis? Para orang kaya banyak yang lupa bahwa semua kekayaannya berasal dari Tuhan. Di samping itu, semua yang ada di atas dunia ini sifatnya fana dalam arti pada suatu saat akan lenyap juga. Tanda-tandanya adalah kekayaan mereka membusuk, pakaian dimakan ngengat, emas dan perak berkarat. Mereka juga berlaku curang dengan menahan upah para pekerjanya. Mereka hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya di bumi. Mereka membunuh orang jujur. Itulah dosa-dosa orang kaya yang lupa akan Tuhan dan sesama.

Orang-orang yang memiliki segalanya memang seharusnya patut bersyukur kepada Tuhan karena semuanya itu merupakan berkat dari Tuhan sendiri. Tuhan sudah memberinya dengan gratis maka hendaknya mereka juga bersikap sosial bukan tamak. Tugas kita sebagai manusia adalah menyalurkan berkat Tuhan untuk semua orang terutama yang sangat membutuhkan. Milikilah hati yang penuh cinta kepada Tuhan dan sesama, bukan hati yang penuh dengan kebenciaan dan iri hati. Milikilah sikap bathin miskin di hadirat Tuhan bukan ketamakan sehingga melakukan kejahatan seperti korupsi. Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, sebab merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Mat 5:3). Apakah anda dan saya miskin di hadirat Allah?

Budaya konsumerisme dan hedonisme sudah menjalar kemana-mana. Banyak orang menjadi tidak bebas dalam mengasihi dan melayani Tuhan dan sesama. Sebelumnya orang itu mungkin sangat aktif dalam pelayanan tetapi karena kenikmatan dunia ia menjadi pasif bahkan sampai tidak mau melayani lagi. St. Yakobus mengajak kita untuk bersikap adil. Kita teringat pada kata-kata Yesus: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Tuhan apa yang wajib kamu berikan kepada Tuhan” (Mat 22:21). Oleh karena itu perlu sikap manusiawi dalam memberi upah bukan menahan upah atau memotong upah karyawan tanpa memberi tahu. Semua kekayaan yang ada di atas dunia itu untuk kebaikan bukan untuk kejahatan.

Di dalam bacaan Injil kita diingatkan bahwa di dunia ini terdapat kebaikan dan kejahatan. Tuhan Yesus mengajar kita untuk berbuat baik tanpa pamrih. Misalnya memberi minum kepada orang yang haus adalah perbuatan baik yang tentu akan berbuah kebaikan juga. Tetapi rasanya lebih banyak perbuatan jahat yang menguasai dunia. Ada kejahatan di dalam diri yang dapat menjerumuskan orang lain yang masih polos untuk jatuh ke dalam dosa. Ini adalah sebuah skandal dan dosa besar sehingga orang itu patut mendapat hukuman setimpal. Bagi Yesus, lebih baik bagi orang yang melakukan skandal sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya dan dibuang ke dalam laut.

Yesus juga menasihati kita supaya mawas diri dalam menggunakan bagian-bagian tubuh kita. Kita memiliki kaki, tangan dan mata. Tiga bagian tubuh ini penting: kaki untuk berjalan kemana saja, tangan untuk bekerja dan meneguhkan sesama, mata untuk melihat. Tetapi seringkali kaki, tangan dan mata menjadi skandal untuk kekudusan tubuh. Mungkin kaki untuk menendang manusia, kaki untuk pergi ke tempat pelacuran, perjudian. Tangan dipakai untuk memukul, mencuri dan melecehkan diri dan sesama. Mata untuk melihat hal-hal porno. Kalau saja kaki dan tangan mengantar ke dalam dosa maka sebaiknya dipenggal. Mata dicungkil saja kalau melihat hal-hal dosa. Orang harus berani melepaskan diri dari belenggu yang mengikat. Hati-hati gunakan kaki, tangan dan matamu karena Tuhan melihatmu.

Apa yang mesti kita lakukan berhadapan dengan harta kakayan dan nafsu duniawi? Satu hal yang penting di sini adalah bertobat. Yesus mengungkapkannya dalam kalimat: “digarami dengan api”. Digarami dengan api itu berarti bertobat. Orang harus memiliki hati yang murni, penuh kedamaian dengan Tuhan dan sesama. Sama seperti garam yang rela kehilangan wujud untuk memberikan rasa nikmat dari dalam, demikian juga orang yang hidup layak di hadirat Tuhan akan menjadi garam yang nikmat bagi sesama lain. Orang yang memiliki garam adalah orang yang bersikap lepas bebas dari segala harta duniawi, yang memiliki hati suci dan murni, mampu membawa damai dan kasih kepada sesama.

Doa: Tuhan, bantulah kami semoga kami tidak terikat pada harta duniawi tetapi hidup layak di hadiratMu. Bantulah kami untuk menjadi pembawa kasih kepada sesama. Amen

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply