Refleksi: Menikah atau Selibat?

Menikah atau Selibat?

(1 Kor 7: 25-31)

P. John SDBSt. Yohanes Krisostomus adalah salah satu orang kudus yang menjunjung tinggi nilai luhur perkawinan dan hidup selibat. Baginya dua bentuk hidup ini berjalan berdampingan satu sama lain. Ia berkata: “Barangsiapa yang mengecam perkawinan, ia juga membuang kemuliaan yang ada pada kehidupan selibat; sedangkan barangsiapa yang memuliakan perkawinan, maka ia juga membuat kehidupan selibat menjadi menarik dan bersinar. Sesuatu yang kelihatannya baik hanya ketika dibandingkan dengan sesuatu yang buruk, tidaklah sungguh-sungguh berharga;  tetapi ketika hal itu lebih besar daripada hal-hal yang dihargai oleh semua orang, maka memang hal itu baik di tingkat yang sangat tinggi.” (St. Yohanes Krisostomus, De virginitate, 10, 1).

Hidup menikah dan selibat adalah dua bentuk hidup yang khas di dalam Gereja dan saling melengkapi satu sama lain. Kita bisa langsung membedakan tentang orang yang hidup berkeluarga dan orang yang hidup di dalam biara. Hidup berkeluarga juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemurnian hidup dari pasangan suami dan istri. Mereka harus memiliki kekuatan bahwa menikah adalah suatu hal yang murni dan suci. Demikian juga orang yang hidup bertarak atau selibat. Mereka tidak menikah bukan karena alasan mansiawi belaka, tetapi alasan yang rohani yakni tidak menikah demi Kerajaan Allah. Artinya orang itu yakin bahwa Tuhan menjadikannya sebagai yang istimewa untuk mengasihi dan melayani Tuhan seorang diri saja.

St. Paulus, dalam tulisannya kepada jemaat di Korintus, khususnya 1Kor 7:1-40 coba menjawab sebuah pertanyaanParent yang aktual sekaligus persoalan yang sedang berkembang pada masa itu di Korintus. Persoalan pertama adalah tentang perkawinan dan kemurnian hidup. Paulus tidak mengajar semuanya tentang perkawinan, tetapi hanya menjelaskan tentang hubungan antara perkawinan dan kemurnian. Paulus menyadari dan percaya bahwa suami dan istri adalah milik Kristus karena sudah dikuduskan pada saat pembaptisan. Dari situ mereka diharapkan untuk tidak menjadi budak sex. Cinta kasih bukanlah sex. Cinta kasihlah yang mempersatukan relasi suami dan istri bukanlah sex.

Dalam perikop kita ini (1Kor 7: 25-31) Paulus lebih khusus berbicara tentang perkawinan dan selibat. Bagi Paulus, perkawinan itu bisa menjadi sumber perpecahan batin bagi mereka yang melayani Kristus. Banyak pengikut Kristus yang mempunyai komitmen tahu bahwa mereka tidak bisa menyerahkan diri sepenuhnya pada pelayanan komunitas sebagaimana mereka kehendaki karena suami atau istri tidak mengerti atau harus memperhatikan keluarga. Itulah sebabnya Paulus mengatakan bahwa setiap orang harus sadar diri untuk tetap tinggal dalam statusnya atau keadaan semula. Artinya jika seorang itu telah kawin maka ia jangan bercerai, sedangkan yang belum kawin janganlah mereka kawin. Namun perlu diingat bahwa orang yang kawin tidaklah berbuat dosa.

Paulus juga membela cara hidup selibat demi Kerajaan Allah sebagaimana diungkapkan Yesus dalam Mat 19:12. Pada waktu itu Korintus dipenuhi dengan imoralitas. Ada kejahatan dimana hidup banyak pelacur di sekililing para dewa-dewai kafir. Situasi tidak murni ini baru dirasakan di kemudian hari oleh jemaat. Dalam situasi seperti ini Paulus memberi dukungan supaya setiap orang percaya menghayati hidup murni. Hidup murni atau selibat itu menjadi istimewa bagi orang yang memperoleh rahmat istimewa dari Tuhan. Orang yang dibaptis membuka dirinya bagi kemurnian hidup.

Paulus akhirnya dengan tegas berkata: “Waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri; dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis; dan orang-orang yang bergembira seolah-olah tidak bergembira; dan orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli; pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu.” (1Kor 7: 29-31)

Kehidupan selibat memiliki makna yang mendalam ketika pribadi yang menghayatinya mampu mengasihi semua orang lebih penuh, sempurna dan diwujudkan dalam suatu bentuk pengabdian diri yang total. Kehidupan selibat sendiri memiliki dimensi eskatologis di mana orang yang menghayatinya akan menikmatinya selama-lamanya di sorga.” (lih. Vatikan II, Perfectae Caritatis, 12). Hidup selibat berarti hidup dalam kasih. Hidup dalam perkawinan juga merupakan hidup dalam kasih. Tuhan hadir dan memberi semangat untuk kedua bentuk hidup ini dalam diri setiap orang.

Perkataan Paulus pada hari ini mendukung mereka yang hidup menikah dan hidup selibat. Semuanya adalah rencana Allah di dalam diri manusia. Tuhan adalah kasih dan berkarya di dalam diri manusia. Hal yang mungkin perlu kita refleksikan lebih dalam adalah apakah kita merasakan dan mengalami kasih Allah? Apakah kasih Allah itu membantu kita untuk membaktikan diri secara total untuk pasangan saja atau untuk Kerajaan Allah? Mari kita pasrahkan diri kita untuk kemuliaan Tuhan di seluruh dunia. Hidup menikah atau hidup selibat adalah rencana dan anugerah Tuhan bagi manusia secara pribadi. Anda dan saya hanya mengikuti apa yang Tuhan mau di dalam hidup kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply