Homili Keluarga Kudus 2014 (B)

Pesta keluarga Kudus/B
Kej 15:1-6;21:1-3
Mzm 105:1b-2.3-4.5-6.8-9
Ibr 11:8.11-12.17-19
Luk 2:22-40

Belajar dari Keluarga Kudus Nazaret

Fr. JohnPada hari Minggu Octaf Natal ini, seluruh Gereja Katolik merayakan pesta keluarga Kudus dari Nazaret. Pada masa pelayanan Paus Leo XIII yakni sekitar tahun 1895, pesta keluarga kudus dirayakan pada hari Minggu ketiga setelah perayaan Epifani. Pada masa pelayanan St. Yohanes XXIII, perayaan keluarga kudus dirayakan pada hari Minggu dalam oktaf Natal. Nah, menjadi pertanyaan banyak orang adalah mengapa kita merayakan pesta keluarga kudus dari Nazareth pada masa Natal ini? Pikiran kita kiranya terarah pada sebuah keluarga sederhana yakni Yesus, Maria dan Yusuf. Keluarga kudus dari Nazaret ini menjadi tanda bahwa Allah begitu berbelas kasih dengan manusia sehingga Ia rela menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus yang lahir dalam sebuah keluarga manusia. Tepatlah apa yang dikatakan Yesus: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16).

Pokok pikiran lain yang patut kita renungkan dalam perayaan ini adalah bahwa Yesus lahir dalam sebuah keluarga manusia, artinya Ia juga lahir dalam keluarga dan komunitas kita masing-masing. Kisah-kisah masa kecil Yesus mambantu kita untuk menyadari tiga peristiwa penting dalam hidup Yesus di dalam keluarga kudus:

Pertama, pada saat Yesus dilahirkan, muncul malaikat yang menyampaikan berita sukacita kelahiranNya kepada para gembala sederhana di Bethlehem (Luk 2: 10-14). Para gembala pun pergi ke Bethlehem dan menyaksikan segala sesuatu persis seperti yang dikatakan malaikat kepada mereka. Mereka kembali dengan hati penuh sukacita dan memuliakan Allah (Luk 2:20). Perjumpaan dengan Yesus di dalam keluarga membawa sukacita yang besar.

Kedua, para Majus dari Timur datang ke Bethlehem karena melihat bintang (Mat 2:1.7). Mereka dibimbing oleh bintang hingga masuk ke dalam rumah dan berjumpa dengan Anak dan ibuNya. Mereka mempersembahkan mur, kemenyan dan emas. Tuhan membimbing mereka untuk mengikuti jalan lain ke negeri mereka masing-masing (Mat 2:12). Perjumpaan dengan Yesus di dalam keluarga, hendaknya membantu sesama untuk berubah dan mengikuti Jalan yang benar yaitu Yesus sendiri sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup.

Ketiga, Ketika berusia dua belas tahun, Yesus hilang di dalam Bait Allah. Maria dan Yusuf mencariNya sampai tiga hari baru menemukanNya. Ia kembali bersama Maria dan Yusuf ke Nazareth. Yesus bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia (Luk 2:52). Yesus juga lahir di dalam diri kita, di dalam keluarga masing-masing. Ia harus bertambah besar dan hikmatNya di dalam diri dan keluarga kita masing-masing.

Paus Paulus VI, ketika berziarah ke Nazareth, ia coba merenungkan lebih dalam spiritualitas keluarga kudus dari Nazareth. Ia berkata: “Keluarga kudus dari Nazareth adalah sebuah sekolah. Betapa aku ingin kembali ke masa kanak-kanakku dan belajar di sekolah yang sederhana namun mendalam.” Bagi Paus Paulus VI, ada tiga hal penting yang patut kita pelajari dari keluarga kudus Nazareth: Pertama, kita belajar dari keheningan yang ada di dalam keluarga itu. Sikap bathin yang mengagumkan ini kita butuhkan untuk memerangi tekanan dan kebisingan dunia. Kedua, Keluarga Nazareth merupakan contoh yang harus ditiru oleh setiap keluarga, suatu komunitas kasih dan sharing yang indah karena keragaman masalah yang dihadapinya dan karena ganjaran yang ia nikmati. Keluarga Nazareth merupakan satu setting yang sempurna untuk membesarkan anak-anak dan untuk ini tidak ada gantinya. Ketiga, Di Nazareth, di dalam rumah anak tukang kayu itu, kita belajar tentang bekerja dan disiplin yang dituntutnya.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini, mengatakan kepada kita bahwa Tuhan berkehendak untuk menyelamatkan semua orang. Keselamatan itu dirintis melalui perjanjian antara Tuhan Allah dan manusia. Inisiatif pertama datang dari padaNya. Pengalaman Abram dan Sara menunjukkan betapa Tuhan memiliki rencana dan kehendak yang indah bagi manusia. Abraham diingatkan untuk tidak takut karena Allah mengasihinya. Ia akan mendapat keturunan dari Sara istrinya dan akan melanjutkan ahliwarisnya. Tuhan menepati janjiNya kepada Abraham dan Sara dengan lahirnya Ishak. Segala keturunan Abram akan menjadi seperti bintang di langit. Keluarga Abram, Sara dan Ishak merupakan sebuah keluarga kudus dalam Kitab Perjanjian Lama. Tuhan melihat iman Abram dan Sara lalu menaruh belas kasih kepada mereka dengan menganugerakan Ishak di usia senja mereka. Iman mendatangkan keselamatan dan mukjizat itu nyata.

Dalam surat kepada umat Ibrani, Abram, Sara dan Ishak dijadikan model sebuah keluarga di hadapan Tuhan. Abraham dipuji karena iman dan ketaatannya kepada Tuhan Allah. Ia dipanggil dan diminta oleh Tuhan untuk meninggalkan kampung halamannya ke sebuah negeri baru yang ditunjukkan oleh Allah. Karena iman, Tuhan menganugerakan keturunan yang banyak kepada mereka. Imannya semakin kuat sehingga ketika dicobai, ia tetap kuat, tidak goyah di hadapan Allah.

Gambaran keluarga kudus dalam Kitab Perjanjian Lama menjadi sempurna dalam Kitab Perjanjian Baru. Yesus lahir dalam keluarga manusia yakni Yusuf dan Maria. Mereka adalah orang Yahudi tulen yang taat pada adat istiadat agama Yahudi. Oleh karena itu mereka mempersembahkan bayi Yesus di dalam Bait Allah. Perjumpaan dengan Simeon dan Hanna dalam Bait Kudus menunjukkan bagaimana Tuhan menyiapkan orang untuk menantikan kedatangan PutraNya. Yesus dinyatakan sebagai Terang dan kemuliaan, membawa keselamatan kepada umat manusia. Ia juga akan menimbulkan perbantahan. Penderitaan akan dirasakan oleh ibuNya. Yesus lahir di dalam keluarga kudus, di dampingi orang tuanya sehingga Ia bertamba besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada padaNya (Luk 2:40).

Keluarga-keluarga masa kini masih jauh dari kenyataan hidup keluarga kudus dari Nazareth. Kita tidak bisa menutup mata dengan situasi konkret seperti: kebutuhan dasar yang belum tercukupi, kekerasan dalam rumah tangga, komunikas yang terputus, martabat manusia tidak dihargai karena belum ada jaminan hukum yang pas, konflik dan perang sehingga banyak keluarga yang mengungsi. Banyak juga yang tidak menghargai sakramen perkawinan, padahal tujuan sakramen perkawinan adalah supaya keluarga menjadi injil yang hidup. Hal-hal ini turut mengguncangkan keluarga-keluarga katolik masa kini.

Mari kita mendoakan keluarga-keluarga katolik agar beriman seperti Abram dan Sara, kudus seperti Maria dan Yusuf. Keluarga-keluarga memang memiliki pergumulan tersendiri tetapi hanya dengan iman, ketaatan pada sabda Tuhan dan persekutuan dalam doa maka keluarga itu akan bersatu selamanya sesuai dengan kehendak Tuhan. Yesus Kristus juga lahir di dalam keluarga masing-masing. Biarkan Ia bertumbuh, bertambah besar dan hikmatNya di dalam keluarga masing-masing sejalan dengan pertumbuhan iman di dalam keluarga.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply