Homili 29 Oktober 2015

Hari Kamis, Pekan Biasa XXX
Rm. 8:31b-39
Mzm. 109:21-22,26-27,30-31
Luk. 13:31-35

Kita lebih dari Pemenang!

imageTertullianus adalah seorang Bapa Gereja yang hidup sekitar tahun 155M – 240M di kota Kartago, sebuah Provinsi Kerajaan Romawi di Afrika. Ia menulis karangan-karangan yang sifatnya apologetis terhadap iman Kristiani. Dalam hubungan dengan kehidupan para martir, secara apologetis Tertullianus berkata: “Il sangue dei martiri è seme di nuovi cristiani” (Darah para martir adalah benih yang baik bagi umat kristiani yang baru). Kehidupan pribadi para martir mengikuti perkataan Tuhan ini: “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” (Yoh 12:24). Tuhan Yesus adalah biji gandum yang benar dan martir agung yang pertama. Para pengikut-Nya harus mengikuti-Nya dari dekat. Artinya para pengikut Yesus Kristus harus serupa dengan biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, sehingga menghasilkan banyak buah yang baru. Gereja Kristus adalah gereja para martir.

Supaya Gereja bisa bertumbuh dan menghasilkan banyak buah maka Gereja perlu menderita dari dahulu hingga sekarang. Para martir menderita sampai mati dengan tragis karena mencintai Tuhan Yesus. Saya mengingat St. Polikarpus seorang uskup dan martir dari Smirne. Ia diminta untuk mengutuk Yesus pada masa pemerintahan Kaisar Markus Aurelius tetapi ia menolaknya. Ia dengan tegas berkata: “Selama delapanpuluh enam tahun aku melayani Yesus Kristus dan tidak pernah Ia meninggalkan aku.” Ia pun dibakar hidup-hidup namun api tidak memakan tubuhnya yang sudah tua itu. Kulitnya malah berubah menjadi keemas-emasan. Ia dikeluarkan dari dalam api unggun, dan salah seorang algojo menikam lambungnya. Ia wafat sebagai martir pada tahun 155M. Tepat sekali perkataan Tertullianus di atas bahwa darah para martir menyuburkan benih-benih iman Kristiani.

Paulus menyadari pergumulan Gereja di Roma. Banyak orang akan merasakan penderitaan dan kemalangan sebagai martir. Ia berusaha meyakinkan jemaat di Roma untuk berjiwa besar dalam menghadapi penganiayaan-penganiayaan. Ia berkata: “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Rm 8:31). Allah adalah Imanuel, Ia senantiasa menyertai umat-Nya. Menurut Paulus, “Allah sendiri bahkan tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Rm. 8:32). Perkataan Paulus ini sejalan dengan perkataan Yesus: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16).

Dengan pengalaman-pengalaman ini maka Paulus menguatkan iman umat di Roma supaya tetap teguh beriman kepada Kristus. Ia mengajak jemaat untuk merenungkan proses pertumbuhan iman mereka dengan pertanyaan ini: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Rm 8:36). Pengalaman-pengalaman yang keras ini memang dialami oleh setiap orang sebagai ujian untuk kesetiaan iman kita. Namun Tuhan sendiri tetap mengasihi kita apa adanya. St. Paulus mengatakan, “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.” (Rm. 8:37). Dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus, kita semua lebih dari pemenang. Banyak kali kita lupa bahwa kita lebih dari pemenang karena kita masih berhenti dalam pergumulan, penderitaan dan kemalangan kita saja.

Paulus pada akhirnya menegaskan: “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm. 8:38-39). Tuhan Yesus Kristus jauh lebih agung, lebih kuat karena Ia sudah memikul dosa-dosa kita. Salib-Nya adalah tanda kasih-Nya yang agung bagi kita semua. Maka tepat sekali perkataan Paulus: “tidak ada suatu apa pun yang bisa memisahkan kita dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus”.

St. Paulus percaya pada Allah Bapa yang mengorbankan Yesus Putra-Nya untuk keselamatan manusia. Yesus mengetahui rencana Bapa di Surga, dan rencana-Nya ini akan sempurna di Yerusalem. Dalam perjalanan ke Yerusalem bersama para murid-Nya, Yesus pernah ditakut-takuti oleh orang-orang Farisi. Mereka meminta Dia untuk meninggalkan tempat persinggahan-Nya karena ada ancaman dari Herodes Antipas untuk membunuh-Nya. Yesus mendengar dan bereaksi dengan mengatakan Herodes sebagai serigala. Serigala adalah gambaran pribadi Herodes yang dikuasai oleh kejahatan. Yesus tidak merasa takut dan berjanji untuk terus bekerja: mengusir setan, menyembuhkan orang-orang sakit dan semuanya akan selesai pada hari yang ketiga. Bagi Yesus, Yerusalem akan menjadi tempat di mana Ia mempersembahkan diri-Nya untuk keselamatan umat manusia.Yesus berkata: “Sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem.” (Luk 13:33).

Setelah mengungkapkan bahwa Ia akan wafat di Yerusalem, Ia mengungkapkan rasa sedih-Nya terhadap Yerusalem. Para penghuninya tercerai berai, penuh dengan keegoisan. Yesus berkata: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau. Sesungguhnya rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kamu tidak akan melihat Aku lagi hingga pada saat kamu berkata: Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!” (Luk 13:34-35).

Sabda Tuhan pada hari ini menguatkan kita semua. Kita semua memiliki persoalan-persoalan hidup, ada yang ringan dan ada yang berat. Namun demikian kita tidak perlu berhenti pada persoalan-persoalan itu, seperti orang yang tidak beriman. Kita harus berjuang sebagai orang beriman, karena percaya bahwa Allah tetap mengasihi kita. Kita lebih dari pemenang karena kasih Allah yang berlimpah. Ia bahkan tidak mengasihani Anak-Nya yang tunggal, tetapi mengurbankan-Nya di Yerusalem untuk keselamatan kita semua.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply