Homili 30 Oktober 2015

Hari Jumat, Pekan Biasa XXX
Rm. 9:1-5
Mzm. 147:12-13,14-15,19-20
Luk. 14:1-6

Kebiasaan mengamat-amati sesama

imageAda seorang Romo yang melayani di sebuah paroki. Ia membagi pengalaman pastoralnya di paroki dalam pertemuan dekenat. Ia merasa bangga karena bisa melayani parokinya. Di paroki itu ia belajar menjadi matang dalam menghadapi umat gembalaannya. Umat yang dilayaninya memiliki keunikan tertentu. Ada umat yang selalu siap untuk melayani Gereja tanpa pamrih dan memiliki rasa menggereja yang tinggi. Ada umat yang kelihatan pasif, hanya berdiri dari jauh dan menjadi pengamat yang setia. Mereka ini memiliki kebiasaan mengamat-amati kalau-kalau ada kesalahan dari pastor dan para agen pastoralnya. Ketika ada kekeliruan atau kesalahan tertentu maka orang-orang seperti inilah yang akan berteriak-teriak frontal melawan pastor dan para agen pastoral di paroki itu. Mereka juga jarang mengapresiasi pelayanan pastoral di paroki. Para Romo yang lain berbisik satu sama lain: “Pengalaman Romo ini sama dengan pengalamanku di Paroki saat ini” Romo lain berkomentar: “Lebih parah lagi, umatku suka menceritakan kelemahanku kepada umat atau Romo di paroki lain.” Romo yang lain berkata: “Bahkan ada umat di parokiku lebih percaya pada romo lain dari pada aku.” Suasana sharing menjadi saat penuh keakraban dan peneguhan.

Penginjil Lukas melanjutkan kisah Yesus. Kali ini ia menceritakan bahwa Tuhan Yesus diundang makan bersama oleh seorang Farisi. Perilaku orang-orang yang hadir di rumah pemimpin Farisi itu unik. Mereka mengamat-amati Yesus dengan saksama. Ada tatapan mata penuh kecurigaan, kalau-kalau Yesus melakukan sesuatu pada hari Sabat. Apa yang terjadi selanjutnya? Yesus didatangi seorang yang sakit busung air seraya berdiri di hadapan-Nya untuk memohon kesembuhan. Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengoreksi cara pikir kaum Farisi yang legalistis, dibandingkan dengan usaha untuk mewujudkan kasih dan keadilan dalam hidup bermasyarakat. Ia bertanya kepada para ahli Taurat dan kaum Farisi: “Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?” (Luk 14:3).

Reaksi para ahli Taurat dan kaum Farisi yang suka mengamat-amati itu hanya diam seribu bahasa. Namun di dalam hati mereka kita tidak mengetahui kebusukannya.Mereka hanya berpegang teguh pada hukum dan peraturan tentang keunikan hari Sabat, padahal kasih dan keadilan juga belas kasih haruslah kita miliki ketika berhadapan dengan orang-orang yang sangat membutuhkan. Maka Yesus dengan kuasa-Nya menyembuhkan orang sakit itu dengan cara memegang tangannya dan menyuruhnya pergi dari situ.

Yesus juga menggunakan kesempatan itu untuk berkatekese dengan mereka. Sebuah katekese yang bisa membangun iman dan kepercayaan mereka kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Yesus bertanya kepada mereka: “Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?” (Luk 14:5). Mereka hanya menatap Yesus tanpa berbicara apa-apa. Mereka sebenarnya mengakui kuasa Yesus. Dia sendiri sebagai Anak Allah berkata: “Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” (Mat 12:8; Luk 6:5).

Banyak kali kita juga menjadi pengamat-pengamat yang selalu berpikir benar padahal kita sendiri mungkin tidak melakukan apa-apa. Para pengamat suatu pertandingan, termasuk komentatornya terkadang lebih pintar dari para pelatih dan pemainnya. Mereka selalu berpikir lebih dari situasi realnya. Demikian kita sendiri ketika memperhatikan orang-orang tertentu. Tanpa sadar kita mengadilinya di dalam hati kita, dan semuanya itu jauh dari kenyataan. Jangan menilai sebuah buku hanya dari sampul depannya saja. Jangan menilai orang dengan pengamatanmu dari “cashing-nya” saja karena belum tentu sesuai dengan keadaannya.

St. Paulus memiliki pengalaman yang indah dalam penderitaannya. Ia mengakui dengan tulus ketika berkata: “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus, bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati.” (Rm 9:1-2). Dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus, Paulus mengungkapkan isi hatinya: “Apakah mereka pelayan Kristus?- Aku berkata seperti orang gila – aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu.” (2Kor 11: 23-26).

Paulus membagi pengalaman penderitaannya yang luar biasa karena kasih kepada Kristus dan Gereja yang sedang dilayaninya. Ia mengaku menderita, bahkan, “Aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani. Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji. Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!” (Rm 9:3-5).

Apa yang Tuhan mau katakan kepada kita pada hari ini? Hilangkan sikap suka mengamat-amati sesamamu, dan berusahalah untuk berkurban, rela menderita demi kebahagiaan sesamamu. Tuhan Yesus dan St.Paulus adalah inspirator kita pada hari ini.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply