Homili Hari Minggu Adven III/C – 2015

Hari Minggu Adven III/C
Zef. 3:14-18a
MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6
Flp. 4:4-7
Luk. 3:10-18

Tuhan saja bersorak gembira karena engkau!

imagePerjalanan rohani dalam masa adventus memasuki pekan ketiga. Lilin berwarna merah muda dalam lingkaran adven dinyalakan untuk menunjukkan bahwa kita semua sedang memasuki pekan istimewa yakni pekan Gaudete atau sukacita. Apa yang terjadi dalam pekan sukacita ini? Oleh karena natal semakin dekat, maka kita semua akan dibantu untuk lebih membuka diri lagi supaya layak menyambut kelahiran Yesus Kristus. Sabda Tuhan adalah penuntun nomor satu supaya kita semua masuk dalam irama yang sama, menyambut kelahiran Yesus Kristus. Pada pekan ini, kita juga memulai novena untuk merayakan novena Natal. Novena natal kita lakukan dengan mendoakan novena natal, mengakui dosa-dosa dengan jujur dan tulus, mengikuti misa dan menerima komuni kudus dan melakukan suatu perbuatan amal kasih. Tentu saja semua kegiatan rohani ini kita lakukan dengan penuh sukacita supaya kita juga bisa merasakan sukacita dari Tuhan. Sukacita menjadi sempurna karena pertobatan sebagaimana diwartakan oleh Yohanes Pembaptis.

Pertanyaan yang menuntun kita sepanjang pekan ini adalah: “Apakah ada sukacita di dalam hatimu?” Banyak orang bisa mengatakan “ya” ada sukacita di dalam hatinya, tetapi ada juga yang bisa mengatakan “tidak ada sukacita di dalam hatinya”. Saya mengingat seorang penulis bernama Paulo Coelho, dalam bukunya “The Magical Moment” menulis, “Jangan katakan “ya” kalau kita ingin berkata “tidak”. Jangan katakan “barangkali” kalau kita ingin mengatakan “tidak akan pernah”. Kita perlu jujur dengan diri kita sendiri di hadapan Tuhan dan sesama bahwa ada atau tidak ada sukacita. Hati yang suci dan murni mencerminkan sukacita yang sempurna di dalam Tuhan. Masa adventus menjadi masa untuk mewujudkan hati yang suci dan murni karena pertobatan yang terus menerus di dalam hidup setiap pribadi.

Kalau kita membaca dan mendengar berita-berita di dalam masyarakat sosial, kita bisa mengatakan bahwa sukacita itu mahal. Banyak orang saling membenci satu sama lain. Misalnya kalau ada berita tertentu tentang pejabat publik di negara ini maka kita bisa menemukan tiga tipe manusia yakni manusia pembenci, manusia provokator dan pengadu domba dan manusia pendamai. Tipe manusia pembenci dan provokator masih kurang memiliki sukacita di dalam hatinya. Ia akan berusaha mengadu domba setiap orang supaya kebencian bisa merajalela. Manusia pendamai hanya merupakan segelintir orang yang masih memiliki hati nurani sehingga ia bisa mengusahakan perdamaian sepanjang hidupnya. Hal yang hendak dicapainya adalah sukacita ilahi dalam hidup pribadi dan hidup sesamanya.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengantar kita untuk mengerti bahwa Tuhan adalah sumber sukacita dan sukacita itu pula yang harus kita bagikan kepada sesama. Zefanya adalah nabi yang hidup sezaman dengan nabi Yeremia. Nubuatnya tentang keselamatan dari Tuhan bagi umat Israel merupakan sebuah madah sukacita karena Tuhan senantiasa menyertai umat-Nya. Dia adalah Raja yang berkuasa atas segalanya. Maka bagi Zefanya, alasan adanya sukacita di dalam hati umat Israel adalah karena Tuhan telah menyingkirkan hukuman yang telah dijatuhkan atasnya. Musuh-musuh bangsa Israel sudah dikalahkan-Nya. Tuhan selalu hadir di tengah umat-Nya sehingga mereka tidak perlu takut terhadap musuh dan lawan. Malapelataka juga akan ditiadakan. Ini adalah sebuah warta sukacita yang sangat meneguhkan hati umat Israel yang saat itu masih menderita di Babel.

Tuhan berkata kepada Yerusalem, “Janganlah takut, hai Sion! Janganlah tanganmu menjadi lemah lesu. Tuhan Allahmu ada di antaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai, seperti pada hari pertemuan raya.” (Zef 3:16-18). Tuhan memberikan anugerah sukacita, menguatkan umat kesayangan-Nya. Berkaiatan dengan sukacita ilahi ini, nabi Yesaya berkata, “Sungguh Allah itu keselamatanku; aku percaya dan tidak gementar sebab Tuhan Allah itu kekuatan dan Mazmurku. Ia telah menjadi keselamatanku. Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari airmata keselamatan.” (Yes 12:2-3).

St. Paulus memberikan suntikan keberanian dan sukacita kepada jemaat baru di Filipi. Menurut Paulus, beriman kepada Kristus berarti memiliki dan merasakan sukacita ilahi. Ia berkata dengan tegas, “Saudara-saudara, bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan!” (Flp 4;4). Setiap orang memiliki pengalaman penderitaan dan kemalangan, namun iman yang teguh kepada Kristus menjadi dasar untuk bersukacita dan bersyukur. Untuk itu orang harus selalu berbuat baik, tekun berdoa dan bersyukur. Dengan demikian damai sejahtera dari Allah akan memelihara hati dan pikiran kita di dalam Kristus. Orang yang hatinya penuh syukur kepada Tuhan akan memiliki sukacita ilahi. Orang yang tidak pernah bersyukur dalam hidupnya, ia juga tidak memiliki sukacita ilahi. Suka cita itu berasal dari Tuhan.
Lalu apa yang harus kita perbuat supaya bisa memiliki sukacita ilahi?

Penginjil Lukas menghadirkan figur Yohanes Pembaptis. Ia datang untuk mewartakan pertobatan kepada semua orang supaya bisa layak menerima kedatangan Mesias. Orang-orang yang mendengar pewartaannya itu terbagi atas kelompok-kelompok tertentu, dan dengan mengucapkan pertanyaan yang sama, mereka lebih berkomitmen pada pertobatan. Mereka adalah masyarakat sosial (civil society) yang lebih dominan, para pemungut cukai yang menjadi sorotan publik dalam konteks keadilan dan para prajurit atau penguasa dengan kinerjanya sebagai pengayom masyarakat.

Kelompok pertama, orang banyak (umum). Mereka bertanya: “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” (Luk 3:10). Yohanes mengingatkan mereka supaya berani berbagi, berempati dengan sesama manusia. Ketika orang bisa berbagi maka sukacita menjadi milik semua orang. Ia berkata: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.” (Luk 3:11).

Kelompok kedua, para pemungut cukai. Mereka bertanya: “Guru, apakah yang harus kami perbuat?” (Luk 3:12). Yohanes disapa sebagai guru yang mengajarkan jalan yang benar untuk berjumpa dengan Tuhan. Yohanes mengingatkan mereka supaya berlaku adil dan jujur kepada Tuhan dan sesama. Ia berkata: “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.” (Luk 3:13). Orang yang bersukacita itu berlaku adil terhadap sesamanya.

Ketiga, Para prajurit. Mereka bertanya. “Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?” Yohanes menjawab, “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” (Luk 3:14). Orang yang bersukacita bisa berdisiplin, jujur dan setia di dalam hidupnya.

Warta sukacita Yohanes membuat banyak orang membuka dirinya untuk bertobat. Mereka siap untuk dibaptis dengan air. Pada saat yang sama Yohanes Pembaptis mengatakan bahwa Mesias yakni Yesus Kristus akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api. Dialah yang lebih berkuasa untuk menguduskan manusia.

Sabda Tuhan pada pekan ketiga ini sangat menguatkan kita semua. Mari kita bertobat. Mari kita membangun persaudaraan sejati dengan saling berbagi, berlaku adil dan jujur, menghormati hak-hak asasi sesama. Dengan demikian sukacita ilahi bukan hanya sebuah slogan tetapi sungguh-sungguh dirasakan oleh semua orang. Tuhan saja bersukacita dengan manusia mengapa kita sulit bersukacita dengan sesama manusia? Mengapa kebencian lebih banyak menguasai manusia?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply