Homili 20 Januari 2016

Hari Rabu, Pekan Biasa II
1Sam. 17:32-33,37,40-51
Mzm. 144:1,2,9-10
Mrk. 3:1-6

Kebiasaan mengamat-amati sesama

imageSeorang umat membagi pengalamannya dalam kesempatan rekoleksi bersama. Ia mengaku pernah memiliki kebiasaan buruk yakni suka mengamat-amati kehidupan sesama. Setiap kali berinteraksi dengan sesama, ia mengamati kehidupan sesama, membandingkan dirinya dengan sesama atau membandingkan pribadi dengan pribadi lain. Mulanya ia merasa kebiasaannya ini sebagai hal yang biasa saja, tetapi lama kelamaan ia juga merasa bersalah, terutama ketika ia yakin bahwa apa yang dia lihat itu tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Pengamatan yang serba negatif merupakan bagian dari pengungkapan diri dan kekurangan yang ia miliki bukan yang sesama miliki. Kini ia menyadari bahwa untuk mewujudkan cinta kasih yang benar, ia harus berani membuang kebiasaan buruknya yakni mengamati-amati kehidupan sesama, mencuriga dan menghakimi mereka.

Pengalaman umat ini juga sangat lazim dalam kehidupan bersama. Di dalam keluarga, komunitas atau lembaga tertentu, pasti ada saja orang yang berperilaku seperti kaum Farisi dalam Injil yakni mengamat-amati kehidupan sesama dengan prasangka dan kecurigaan tertentu. Pikirkanlah dalam kehidupan pribadimu, berapa kali dalam sehari anda mengamat-amati kehidupan sesama, berprasangka buruk dan mencurigai kehidupan pribadi mereka? Perilaku seperti ini menjadi sebuah kebiasaan karena orang mudah sekali lupa dirinya bahwa sebenarnya dia juga manusia yang rapuh.

Kita mendengar sebuah kisah Injil yang menguatkan dan mengubah hidup kita. Penginjil Markus mengisahkan sebuah pertentangan antara Yesus dan kaum Farisi pada hari Sabat. Ketika itu, Yesus masuk dalam sebuah rumah ibadat dan berjumpa dengan seorang yang mati sebelah tangannya. Nah, hal-hal yang membuat kaum Farisi berperilaku mengamat-amati dan mempersalahkan Yesus adalah hari Sabat sebagai hari kudus, ada larangan untuk tidak melakukan suatu pekerjaan manual. Mereka yakin bahwa Yesus sudah tahu peraturan ini dan tidak perlu mengingatkan-Nya lagi.

Harapan kaum Farisi untuk hidup sesuai keinginan mereka pupus. Yesus lebih menunjukkan ke-Allahan-Nya di hadapan manusia karena Dia datang untuk menyelamatkan semua orang. Karena itu Ia memanggil orang yang mati sebelah tangannya, berdiri di tengah-tengah mereka dan sambil memadang kepada orang sakit Ia menyembuhkannya. Dikisahkah juga bahwa karena kedegilan hati mereka, maka Yesus juga marah sambil memandang wajah mereka. Orang-orang Farisi lalu bersekongkol dengan kaum Herodian untuk membunuh Yesus.

Injil hari ini berbicara tentang hidup kita yang nyata. Kita bisa berlaku seperti Yesus yang berlaku adil dan penuh kasih sehingga menyembuhkan orang sakit. Ia lebih mengutamakan kasih dan keadilan bukan hanya sekedar bergantung pada hukum dan peraturan. Kita bisa juga berlaku seperti orang Farisi yang tidak menghendaki orang lain berbuat baik. Kita hanya berhenti pada kebiasaan mengamat-amati kehidupan sesama, marah, iri hati, dendam, cemburu, berprasangka buruk, curiga dan aneka kelemahan hidup yang ada di dalam diri kita.

Apa yang harus kita lakukan?

Bacaan pertama dari Kitab Pertama Samuel memberikan petunjuk praktis kepada kita semua. Figur Daud ditampilkan supaya kita juga bisa melihat sisi kehadiran Tuhan di dalam dirinya. Daud sudah diurapi oleh Samuel namun ia tetap rendah hati dan membangun relasi dengan Saul. Daud melaporkan kekuatirannya berhadapan dengan Goliat kepada Saul dan bersedia untuk melawannya. Goliat memadang rendah Daud karena dianggapnya masih muda, belum berpengalaman dan bisa cepat tewas. Sikap Goliat ini juga mirip dengan sikap kaum Farisi. Suka mengamat-amati dan menganggap rendah orang lain. Ia melakukannya terhadap Daud.

Reaksi Daud adalah ia berusaha menunjukkan kuasa Allah di dalam dirinya. Ia berkata: “Tuhan yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu.” (1Sam 17:37). Saul yakin dan mendukungnya: “Pergilah! Tuhan menyertai engkau.” (1Sam 17:37). Perkataan Saul ini tentu sangat menguatkan Daud. Ia berani berjuang dan membunuh Goliat. Tuhan adalah andalan Daud! Pada hari ini kita mempercayakan diri kita kepada Tuhan, biarkan Ia melakukan karya-karya besar di dalam hidup kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply