Homili 15 Maret 2016

Hari Selasa, Pekan Prapaskah V
Bil. 21:4-9
Mzm. 102: 2-3.16-18.19-20
Yoh. 8:21-30

Kamu akan tahu bahwa Akulah Dia!

imageSaya selalu mengingat sebuah cerita dari Anthony de Mello dalam bukunya “Burung Berkicau”. Ceritanya kira-kira seperti ini: “Konon ada seekor ikan muda yang berenang kian kemari di laut. Pada suatu kesempatan ikan muda ini berpapasan dengan seekor ikan yang lebih dewasa. Ikan muda itu bertanya kepada ikan yang lebih dewasa: “Bro, aku pingin minta bantuanmu. Pada saat ini sedang berenang mencari laut.” Ikan yang lebih dewasa menjawabnya: “Apa? Anda sedang mencari Laut? O my God. Laut adalah lingkungan hidup kita sekarang ini.” Ikan muda itu berkata: “Haaa, lingkungan kita ini namanya air laut? Wah, saya kira selama ini hanya air saja.” Ikan muda itu baru sadar bahwa lingkungan hidupnya adalah laut bukan hanya air saja sebagaimana ia sempat pikirkan selama ini.

Banyak di antara kita juga tidak jauh berbeda dengan ikan kecil dalam kisah ini. Misalnya, ketika kita sudah mendiami sebuah lingkungan, dan tinggal bersama orang-orang tertentu maka mudah sekali kita lupa dengan situasi lingkungan dan pribadi-pribadi di sekitar kita. Barangkali kita berpikir hanya berada di rumah saja dan rumah hanyalah sebuah rumah saja Orang-orang yang tinggal bersama dengan kita juga biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari kehidupan mereka bagi kita. Kita bahkan masih bisa menilai pribadi orang apakah bermanfaat bagi diri kita atau tidak. Akibatnya kita boleh tinggal bersama dalam satu atap tetapi tidak saling mengenal satu sama lain. Kita tidak mampu memberi apresiasi tertentu terhadap kehadiran mereka. Mereka adalah orang lain dalam kehidupan kita. Perilaku hidup semacam ini bisa berlaku bagi siapa saja yang ada bersama kita.

Ada banyak orang Yahudi digambarkan di dalam Injil sebagai pribadi yang selalu berseberangan dengan Tuhan Yesus Kristus. Ia menghadirkan Kerajaan Allah dengan mengajar dan membuat tanda-tanda di depan mata mereka. Namun sayang sekali karena mereka itu ibarat orang yang bertelinga tetapi tidak mendengar, memiliki mata tetapi tidak melihat. Sebab itu semua yang Tuhan Yesus lakukan selalu tidak layak di depan mata mereka. Mereka juga cenderung mencari-cari kesalahan-Nya. Sikap hidup orang Yahudi ini tidak jauh berbeda dengan pengalaman ikan kecil dalam kisah di atas. Mereka hanya melihat Yesus dengan mata manusiawi saja, tidak lebih dari itu. Tidak ada apresiasi yang muncul dari mulut mereka bahwa Yesus bisa melakukan segala sesuatu.

Penginjil Yohanes bersaksi bahwa setelah mengatakan diri-Nya sebagai Terang Dunia, Tuhan Yesus melanjutkan wejangan-Nya bahwa Ia bukan berasal dari dunia. Mula-mula Ia berkata: “Aku akan pergi dan kamu akan mencari Aku; tetapi kamu akan mati dalam dosamu, ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang.” (Yoh 8:21). Perkataan Yesus ini menimbulkan bias dalam pemikiran kaum Yahudi. Ada di antara mereka yang berpikir bahwa Yesus hendak membunuh diri-Nya. Padahal Ia sedang berbicara tentang saat keselamatan. Ia hendak mengurbankan diri-Nya satu kali untuk selama-lamanya demi keselamatan manusia. Ia mengatakan bahwa Ia akan pergi merupakan saat penyaliban. Untuk itu mereka perlu bertobat supaya bisa layak datang ke tempat di mana Yesus berada. Kalau mereka tidak bertobat maka mereka akan mati karenda dosa-dosa mereka.

Tuhan Yesus mengatakan saat Penyaliban-Nya sebagai saat Dia diangkat dan semua orang memandang-Nya. Saat di mana Ia kembali kepada Bapa di Surga karena Ia berasal dari atas sedangkan kita sebagai manusia berasal dari bawah. Tuhan Yesus hanya menuntut dari kita yakni percaya kepada-Nya bahwa Dia sungguh-sungguh Anak Allah. Apakah kita semua sungguh-sungguh percaya bahwa Dia adalah Anak Allah yang datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa kita? Apabila kita tidak percaya maka kita akan mati! Kita tidak percaya berarti kita masih hidup dalam dosa dan kematian adalah jaminannya.

Lebih lanjut Yesus berkata: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia barulah kamu tahu bahwa Akulah Dia” (Yoh 8:28). Yesus sudah tahu bahwa Ia akan disalibkan, saat Ia ditinggikan dan semua orang akan memandang Dia yang tersalib dan mengakui-Nya seperti dilakukan oleh kepala pasukan Romawi: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah” (Mrk 15:39). Saat penyaliban menjadi saat di mana semua orang mengakui ke-Allahan Yesus Kristus karena dengan memandang Salib-Nya, ada keselamatan.

Perkataan Tuhan Yesus ini kiranya mirip dengan pengalaman Musa dalam dunia Perjanjian Lama bersama kaum Israel. Pada waktu itu orang-orang Israel juga berdosa melawan Tuhan dan Musa hamba-Nya dengan mengeluh soal makanan dan minuman yang Tuhan sudah berikan kepada mereka. Dosa melawan Tuhan menimbulkan kematian. Hal serupa dikatakan Yesus dalam Injil: “Jika kamu tidak bertobat maka kamu akan mati dengan dosamu” (Yoh 8:21). Apa yang terjadi? Tuhan menyuruh ular-ular tedung untuk memagut mereka sehingga banyak orang yang meninggal dunia. Mereka tidak memiliki pilihan lain selain datang kepada Musa untuk meminta maaf dan memohon supaya Musa memohon keselamatan bagi mereka dari Tuhan. Musa berdoa bagi bangsa itu. Tuhan lalu menyuruh Musa untuk membuat ular tembaga dan menempatkannya di atas tiang, apabila ada orang yang dipagut, cukuplah mereka memadang ular tembaga itu maka mereka akan hidup. Hal ini mirip ketika kita jatuh ke dalam dosa dan berbalik kepada Tuhan dengan memandang Dia yang tersalib maka keselamatan menjadi milik kita.

Pada hari ini kita berjumpa dengan dua tokoh yang muncul dalam waktu yang berbeda tetapi cara hidup manusianya sama. Musa hidup dalam dunia Perjanjian Lama dengan situasi masyarakat yang keras kepala dan suka melawan Tuhan. Kematian adalah akibat dosa yang harus mereka alami. Yesus sebagai Musa baru juga berhadapan dengan orang Yahudi yang keras kepala. Mereka akan mati kalau tidak bertobat. Baik orang Israel dalam Perjanjian Lama maupun kaum Yahudi dalam dunia Perjanjian Baru, diminta untuk mengangkat kepala dan memandang keselamatan yang datang dari Allah kita. Apakah kita masih bisa membuka mata dan memandang keselamatan yang datang dari Allah kita dalam diri Yesus tersalib? Dengan memandang-Nya di Salib, kita mengenal Yesus sebagai satu-satunya Penebus kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply