Homili Hari Minggu Paskah V/C – 2016

Hari Minggu Paskah V/C
Kis 14:21b-27
Mzm 145: 8-9.10-11.12-13ab
Why 21:1-5a
Yoh 13:31-33a.34-35

Mewujudkan Gereja sebagai Komunitas Kasih

imagePada pagi hari ini, sekali lagi saya mendapat sebuah pesan singkat istimewa dari seorang sahabat, bunyinya: “The symbol of love is not the heart, but the cross. For the heart stops beating, but the man on the cross never stop loving” (Simbol kasih bukanlah hati melainkan salib. Sebab hati bisa berhenti berdebar tetapi Dia yang tersalib tidak pernah berhenti mengasihi). Saya mengakui dan berkata dalam hati bahwa kutipan ini benar adanya. Hati manusia memang menjadi simbol totalitas hidup manusia sendiri namun hati sebagai bagian dari tubuh manusia tetaplah memiliki kefanaan. Maksudnya, hati sebagai bagian dari tubuh manusia akan kembali menjadi debu ketika saudara maut menjemput kita. Hati juga bisa menjadi sumber segala kebaikan dan kejahatan. Hati menjadi tempat Tuhan bersemayam dan bersabda, kita mendengar dan melakukannya (suara hati). Hati menjadi tempat dan asal kita mengkespresikan perasaan berupa kasih dan sayang, juga amarah yang menghasilkan benci dan iri. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang” (Mat 15:11). Yesus menambahkan, “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan” (Mat 15:18).

Kita memandang Salib Kristus sebagai wujud kasih Allah yang nyata bagi manusia dalam diri Yesus Putera-Nya. Salib merupakan semua pengalaman penderitaan, pergumulan pribadi dalam diri kita secara pribadi namun berdampak pada perubahan radikal di dalam hidup sesama manusia. Ada seorang misionaris yang dibunuh di sebuah paroki. Lama sesudah peristiwa pembunuhan itu, paroki tersebut berkembang dengan pesat secara kuantitatif dan kualitatif. Orang mengatakan bahwa darah misionaris yang menjadi martir di paroki itu menyuburkan iman kristiani di paroki itu. Saya teringat pada perkataan Tertulianus: “ Il sangue dei martiri e’ il seme dei cristiani” (Darah para martir merupakan benih kristiani).

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini membantu kita untuk mewujudkan gereja sebagau sebuah paguyuban atau komunitas kasih. Gereja sebagai paguyuban yang memahami kasih kepada Allah, kasih Allah kepada manusia dan kasih sebagai sesama manusia karena Allah sebagai sumber kasih lebih dahulu mengasihi kita semua. Namun demikian, kasih yang sempurna itu mendapat kekuatan dalam penderitaan yang dialami sepanjang hidup. Kasih yang sempurna itu harus bertahan dalam segala penderitaan dan kemalangan.

Dalam Bacaan pertama kita mendengar pengalaman misioner St. Paulus dan Barnabas. Mereka berdua sudah ditetapkan oleh Roh Kudus untuk tugas khusus yang diberikan kepada mereka yaitu mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa lain. (Kis 13:2). Kali ini mereka kembali ke Antiokhia untuk menguatkan hati para murid Tuhan dan memberi arahan dan nasihat untuk tetap bertekun di dalam iman. Sebelumnya Paulus dan Barnabas sendiri sudah mengalami penolakan dan penganiayaan di Antiokia di Pisidia karena orang-orang Yahudi tidak menerima Yesus sebagai Tuhan. Mereka hanya percaya kepada Tuhan Allah dalam Perjanjian Lama. Sehingga Paulus dan Barnabas menasihati jemaat bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus mengalami banyak sengsara.

Untuk memperkuat iman jemaat, mereka juga berpuasa dan berdoa seraya memohon Tuhan untuk menguatkan para penatua-penatua bagi jemaat setempat. Paulus dan Barnabas memang mengalami penderitaan tetapi mereka tetap berani mewartakan Injil. Di Antiokia Paulus dan Barnabas mengumpulkan jemaat dan menceritakan segala sesuatu yang Tuhan lakukan dengan perantaraan mereka. Satu hal lain yang penting di sini adalah bahwa meskipun mereka adalah misionaris yang menderita namun Tuhan telah membuka pintu iman bagi bangsa-bangsa lain. Di sini kita belajar bagaimana Paulus dan Barnabas menyiapkan bangsa-bangsa untuk mengasihi Allah, meskipun kemartiran meruoakan harga mati.

Penulis Kitab Wahyu yakni Yohanes melihat langit dan bumi yang baru. Langit dan bumi yang lama perlahan-lahan berlalu. Dia juga melihat Yerusalem baru turun dari surga. Ia mendengar suara yang menandakan bahwa Tuhan adalah Immanuel. Manusia akan menjadi umat Allah dan Allah sendiri menjadi Allah bagi manusia. Tentu saja gambaran kebaruan ini menunjukkan bagaimana manusia lama dan dunianya harus ditinggalkan karena penebusan berlimpah dalam Yesus Kristus. Hanya di dalam Yesus ada keselamatan abadi. Yesus adalah tanda Allah sungguh-sungguh mengasihi manusia. Oleh karena itu, Allah akan melakukan kasih-Nya kepada manusia dengan menjauhkan mereka dari berbagai penderitaan dan kemalangan.

Apa yang akan dilakukan leh Tuhan untuk maksud ini? Menurut kitab Wahyu, Allah akan menghapus air mata dari mata mereka dan maut tidak akan ada lagi, tidak akan ada lagi perkabungan, ratap tangis dan dukacita sebab segala sesuatu yang lama akan berlalu. Tuhan sendiri akan menjadikan segala sesuatu baru. Di sini kita berjumpa dengan sosok Tuhan sebagai kasih. Ia mengasihi manusia apa adanya dan menghendaki keselamatan kekal bagi manusia. Yesus Kristus adalah satu-satunya penebus kita. Hanya di dalam Dia ada Penebusan berlimpah.

Cinta kasih dari manusia kepada Tuhan mendapat kekuatan dalam penderitaan. Cinta kasih itu mengandaikan pengurbanan diri yang besar. Tuhan Allah juga mengasihi manusia dengan pengurbanan yang besar pula. Ia mengurbankan Yesus Putra-Nya yang tunggal untuk keselamatan manusia. Pengurbanan Tuhan Yesus ini semata-mata karena kasih. Tuhan Yesus dalam amanat perpisahan-Nya memberikan perintah baru kepada para murid-Nya untuk saling mengasihi. Perintah baru ini bukan hanya sekedar perintah tetapi bahwa Ia sendiri menunjukkan kasih sejati dengan kematian-Nya di atas kayu salib.

Dalam percakapan-Nya dengan Nikodemus, Yesus berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16). Di tempat lain Yesus berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Maka perintah baru bisa kita pahami kalau kita sudah mengalami kasih yang Tuhan lakukan di dalam hidup kita. kasih dari Tuhan menguatkan kita untuk saling mengasihi sebagai saudara. Yesus sendiri berkata: “Semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh 13:35).

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip perkataan Bunda Theresia dari Kalkuta: “Ketika kita melihat pada kayu salib, kita memahami keagungan kasih-Nya. Ketika kita melihat palungan-Nya, kita memahami kelembutan kasih-Nya bagimu dan bagiku, bagi keluargamu dan setiap keluarga.” Kita semua mampu membangun Gereja sebagai sebuah paguyuban kasih.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply