Homili 6 Mei 2016

Hari Jumat, Pekan Paskah VI
Kis. 18:9-18
Mzm. 47:2-3,4-5,6-7
Yoh. 16:20-23a

Hilangkan mentalitas bekicot dalam beriman

imageSaudari dan saudara terkasih. Hari ini merupakan hari Jumat Pertama dalam bulan Mei 2016. Banyak di antara saudari dan saudara sedang berlibur bersama keluarga ke luar kota, ada yang sedang berwisata rohani atau berziarah untuk merasakan kerahiman Tuhan Allah dan menghormati Bunda Maria, ada yang memilih tinggal sambil beristirahat di rumah karena stress dengan kemacetan yang sulit untuk diprediksi. Mungkin kantor-kantor yang sering mengadakan Misa Jumat Pertama juga turut berlibur sehingga perayaan Misa Jumat Pertama kali ini pasti meriah dan berlangsung di Gereja Paroki atau kapel tertentu. Hari Jumat ini menjadi hari pertama kita memulai novena untuk menantikan kedatangan Roh Kudus pada hari raya Pentakosta. Saya membayangkan betapa banyak orang yang datang mengikuti misa dan mengakui dosa-dosanya di hadapan gembalanya.

Keluarga besar Salesian Don Bosco (SDB) juga hari ini bergembira karena merayakan peringatan St. Dominkus Savio. St. Dominikus Savio adalah salah seorang murid St. Yohanes Bosco yang meninggal dunia pada usia 15 tahun. Apa yang indah dari kehidupan orang kudus ini? Ketika hendak menerima Komuni Pertama, ia membuat empat janji penting yang akan mempengaruhi seluruh hidupnya yakni: Pertama, Saya akan menerima sakramen Tobat dan sakramen Ekaristi sesering mungkin. Kedua, Saya akan berusaha untuk menjadikan hari Minggu dan hari-hari libur sepenuhnya bagi Tuhan. Ketiga, sahabat-sahabatku yang terbaik adalah Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Keempat, Saya memilih lebih baik mati daripada berbuat dosa. Keempat janji ini menjadi pedoman baginya untuk mencapai kekudusan di usia remaja. Dia menjadi orang kudus remaja yang pertama di dalam Gereja.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari jumat ini sifatnya menginspirasikan serta menguatkan semangat untuk menjadi pelayan Tuhan yang baik dan benar. St. Paulus dalam perjalanan misioner kali ini mengalami penolakan, mulai dari Atena sampai di Korintus. Ia dimusuhi, dihujat sampai ia mengebaskan debu pakaiannya. Ia bahkan berkata: “Biarkan darahmu tertumpah ke atas kepalamu sendiri, aku bersih, tidak bersalah. Mulai dari sekarang aku akan pergi kepada bangsa-bangsa lain.” (Kis 18:6). Apakah Paulus takut dan menyerah pada situasi yang sulit in? Jawaban pastinya adalah tidak. Paulus justru semakin berani untuk pergi kepada bangsa lain demi mewartakan Injil.

Lukas mengisahkan dalam Kisah Para Rasul, bahwa pada suatu malam, Paulus mendapatkan sebuah penglihatan yang luar biasa. Tuhan Yesus menampakkan diri kepadanya dan berkata: “Jangan takut! Teruslah memberitakan Firman dan jangan diam! Sebab Aku menyertai engkau dan tidak ada seorangpun yang akan menjamah dan menganiaya engkau, sebab banyak umat-Ku di kota ini.” (Kis 18:9-10). Kata-kata Tuhan dalam penglihatan ini mendorongnya semakin berani untuk menjadi rasul. Ia tidak memiliki mentalitas bekicot dalam beriman. Ia pun tinggal di Korintus selama satu tahun dan enam bulan untuk mengajarkan firman Allah kepada banyak orang di Korintus.

Paulus tetap mengalami kesulitan dalam mewartakan Injil. Ketika pemerintah daerah diganti, dalam hal ini Galio menjadi gubernur di Akhaya, orang-orang Yahudi kembali bergejolak melawan Paulus. Paulus di hadapan ke pengadilan dengan tuduhan telah meyakinkan orang untuk beribadah kepada Allah dengan jalan yang bertentangan dengan hukum Taurat. Namun sayang sekali karena sebelum Paulus membuka mulut, dalil kaum Yahudi sudah dipatahkan oleh Galio. Menurutnya, kalau saja kesalahan Paulus adalah melakukan pelanggaran atau kejahatan maka itu adalah tugasnya untuk mengadili dan menghukumnya, tetapi materinya adalah perselisihan tentang perkataan atau nama atau hukum yang berlaku di kalangan Yahudi sehingga Galio menyerahkan perkaranya kembali kepada mereka. Ia sendiri merasa tidak layak mengadili Paulus dan mengusir orang-orang Yahudi. Dari Korintus, Paulus lalu berlayar menuju ke Siria ditemani pasutri Priskila dan Akwila.

Pengalaman hidup Paulus ini sungguh luar biasa. Seorang rasul yang baik harus tetap rendah hati dan merasa diri sebagai utusan dari Tuhan. Ia tidak melakukan pekerjaannya sendiri tetapi melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Maka penderitaan, kemalangan dan kesulitan tidak akan mampu menghalangi dan mengurangi semangat untuk mewartakan Injil.

Tuhan Yesus dalam Injil berkata: “Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira. Kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.” (Yoh 16:20). Tuhan Yesus mengetahui semua persoalan hidup sebagai rasul, dan di sinilah cinta kasih yang benar kepada Tuhan diuji. Paulus dan para rasul lainnya menunjukkan kesetiaan mereka kepada Tuhan Yesus sampai tuntas.

Kepergian Yesus kembali kepada Bapa akan membuat para murid-Nya berdukacita. Mereka akan merasa kehilangan seorang yang mengasihi mereka sampai tuntas. Namun Yesus sendiri berjanji untuk menyertai mereka hingga akhir zaman. Dia bahkan berperan menjadi satu-satunya pengantara Bapa dan manusia. Ia berkata: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku” (Yoh 16:23).

Apa yang harus kita lakukan? Kita harus berani dan jangan pernah menjadi penakut. Mari kita menghilangkan mental bekicot dalam beriman. St. Paulus berkata: “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.” (2Tim 1:7). Jangan takut dan diam untuk mewartakan Injil karena Tuhan selalu menyertai kita. Hilangkanlah mentalitas bekicot dalam beriman. Kita berdoa: “Allah Roh Kudus, datanglah dan baharuilah hidup kami. Amen.”

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply