Homili 30 Mei 2016

Hari Senin, Pekan Biasa IX
2Ptr 1:1-7
Mzm 91:1-2.14-15ab.15c-16
Mrk 12:1-12

Kita Berpartisipasi Kerahiman Allah

imageAda seorang umat yang datang kepadaku. Ia mengatakan rasa bangga dan bahagia sebagai pengikut Yesus Kristus. Ia mengakui bahwa meskipun menerima sakramen pembaptisan sejak masih bayi namun imannya benar-benar bertumbuh setelah mengalami pergumulan berkali-kali. Ia pernah mengalami krisis iman sehingga membuatnya malas ke Gereja dan terlibat dalam kegiatan hidup menggereja. Ia pernah mencoba membunuh diri karena tidak mau menerima situasi hidupnya yang nyata. Dan masih banyak hal lain yang membuatnya merasa tidak layak di hadirat Tuhan. Bagaimana ia mengalami perubahan? Ia mengaku mengalami perubahan ketika mengikuti Retret Hidup Baru dalam Roh. Ia merasa bahwa retret saat itu merupakan kesempatan yang sangat berharga, karena menjadi awal perubahan hidupnya. Ia merasa ditegur Tuhan karena berjalan begitu jauh. Berkali-kali ia mengingat kalimat ini: “Ingat, engkau juga anak Tuhan”. Dia sempat bertanya dalam dirinya apakah dia benar-benar anak Tuhan? Tetapi suara hatinya tetap berkata bahwa ia memang anak Tuhan. Sejak saat itu ia bermetanoia!

Pada hari ini kita semua mendapat kekuatan baru dari Tuhan melalui Sabda-Nya. St. Petrus dalam bacaan pertama membuka wawasan kita tentang panggilan dan pilihan Allah bagi manusia. Ia mula-mula menyatakan dirinya di hadapan Allah sebagai hamba dan rasul Yesus Kristus, yang memperoleh iman sebagai anugerah cuma-cuma, dan keadilan dari pihak Allah melalui Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat. Bagi Petrus, melalui Yesus Kristus, kita semua dapat memperoleh kasih karunia yang berlimpah. Tuhanlah yang berkuasa untuk menganugerahkan kekudusan kepada kita masing-masing. Ia juga menganugerahkan janji-janji yang berharga dan yang sangat besar kepada setiap orang. Melalui janji-janji itu kita semua boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia.

Apa yang harus kita lakukan untuk memiliki kodrat sebagai anak-anak Allah? Petrus mengatakan bahwa kita harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan hal-hal seperti ini: iman kepada kebajikan, kebajikan kepada pengetahuan, pengetahuan kepada penguasaan diri, penguasaan diri kepada ketekunan, ketekunan kepada kesalehan, kesalehan kepada kasih akan saudara-saudara, kasih akan saudara-saudara kepada kasih akan semua orang. Petrus menggunakan kata “menambahkan” yang berarti setiap kebajikan yang disebutkan disini terikat satu sama lain dan semuanya bertumbuh bersama. Ada ketergantungan satu sama lain. Misalnya kebajikan-kebajikan berkembang di dalam diri kita kalau ada iman.

Petrus juga mengorientasikan kita untuk bersatu dengan sosok Yesus sebagai janji Tuhan yang berharga dan sangat besar. Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat yang dijanjikan Tuhan Allah kepada kita sebagai orang-orang pilihan-Nya. Markus dalam bacaan Injil hari ini menghadirkan Yesus yang memberi sebuah perumpamaan yang menggambarkan tentang sejarah keselamatan. Perumpamaan ini sekaligus menuai kontroversi dengan orang-orang Yahudi. Kita mengingat sebelumnya mereka sudah datang kepada Yesus dan mempertanyakan kuasa-Nya (Mrk 11:27-33).

Yesus memberikan sebuah perumpamaan. Ada seorang kaya memiliki sebidang tanah yang bisa ditanami pohon anggur. Ia menyiapkan tanah untuk ditanami, menanam pagar sekeliling, menggali lobang tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga. Setelah semuanya beres baru dia menyewakan kepada para penggarap. Kisah ini kiranya mirip dengan apa yang sudah dinubuatkan oleh nabi Yesaya. Orang-orang Palestina memiliki tanah yang harus diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Untuk itu sang pemilik tanah berinisiatif untuk menyiapkan segalanya sebelum membuat perjanjian bagi hasil dengan para penggarap.

Kira-kira setelah lima tahun (Im 19:23-25), sang pemilik kebun mengirim utusannya untuk meminta bagian dari hasil panenan sesuai dengan persetujuan bersama. Para hamba diutusnya berulang kali kepada para penggarap namun mereka semua diperlakukan secara kasar, dilecehkan bahkan ada yang dibunuh. Pemilik kebun berpikir bahwa satu-satunya yang tertinggal adalah anak kesayangannya. Mungkin para penggarap itu akan segan terhadapnya. Namun nasib sial juga dialaminya. Ia bahkan dibunuh dan dilempar ke luar kebun anggur. Para penggarap berpikir bahwa dengan cara demikian maka kebun itu menjadi milik mereka bukan anaknya yang menjadi ahliwaris. Peristiwa ini mengingatkan kita pada pengorbanan Abraham (Kej 22:2-16).

Mentalitas orang Palestina tempo doeloe adalah mereka berpikir bahwa kalau anak dari pemilik kebun datang berarti ayahnya sudah meninggal. Maka mereka juga membunuh anak tunggal dan anak kesayangan yang seharusnya menjadi ahli waris. Mereka lupa bahwa ayahnya masih hidup dan dia akan datang untuk mengadili mereka. Ia akan membinasakan mereka dan mengambil kebun anggur itu dan menyewakannya kepada orang lain. Mereka akan membagi hasil tepat pada waktunya.

Perumpamaan ini berbicara tentang kehidupan orang-orang Yahudi dan kehidupan kita saat ini. Orang-orang Yahudi merupakan bangsa yang pertama mendapatkan wahyu Allah namun mereka tidak menerimanya. Mereka menyia-nyiakan rahmat Tuhan yang dipercayakan kepada mereka. Mereka bahkan menolak Yesus dan membunuh-Nya. Tuhan akan mengambil semua rahmat dari kehidupan kita kalau kita hanya mengaku diri sebagai orang yang dibaptis, menjadi anak Allah tetapi tidak hidup seperti Kristus sendiri. Mari kita membuka diri untuk merasakan kerahiman Allah dan menjadi anak-anak yang berpartisipasi dalam Kerahiman Ilahi-Nya.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply