Homili 10 Juni 2016

Hari Jumat, Pekan Biasa X
1Raj 19:9a.11-16
Mzm 27:7-8a.8b-9abc.13-14
Mat 5: 27-32

Keluarga sebagai Seminari Kerahiman Allah

imageSaya pernah merayakan misa syukur 40 tahun pernikahan sepasang suami dan istri di dalam sebuah keluarga. Perayaan Misa syukur berlangsung meriah, penuh keakraban dan persaudaraan. Hal ini dapat terlihat pada wajah setiap anggota keluarga, undangan dan para tamu yang hadir pada saat itu. Pada kesempatan setelah menyapa para hadirin, pasutri yang sudah menjadi oma dan opa ini diminta oleh MC untuk memberi kesaksian tentang perjalanan dan hidup bersama sebagai suami dan istri hingga mereka boleh merayakan panca windu pernikahan mereka. Pasutri ini mengaku bahwa sejak awal memulai hidup bersama, mereka sudah sepakat untuk membentuk sebuah keluarga yang mengandalkan Tuhan dalam segala hal. Mereka membiasakan diri untuk berdoa bersama dan pergi beribadah bersama di Gereja. Suasana keterbukaan untuk saling mengampuni juga merupakan sebuah perjuangan bersama. Kebiasaan ini berkembang menjadi sebuah kultur keluarga, karena semua anak dan cucu juga ikut mengalami pengalaman rohani di dalam keluarga ini. Semua anak dan cucu sepakat dengan kesaksian ini.

Saya membayangkan sebuah keluarga yang memiliki banyak kesibukan setiap hari tetapi selalu memulai semua kegiatan hariannya dengan berdoa bersama. Sebuah keluarga yang selalu pergi bersama-sama ke Gereja untuk beribadah. Keluarga seperti ini mirip sebuah seminari kecil. Dari keluarga ini akan muncul panggilan-panggilan istimewa untuk melayani Tuhan. Suasana saling mengampuni menunjukkan bahwa keluarga katolik itu seperti sebuah seminari kerahiman Allah. Seminari adalah tempat di mana seorang mendapat pembinaan khusus untuk menjadi calon pastor. Di dalam keluarga katolik yang berdoa, yang memiliki kebiasaan saling mengampuni, di sini kerahiman Allah juga berkembang. Cinta kasih Allah menguatkan keluarga untuk menjadi satu selama-lamanya.

Paus Fransiskus, ketika merayakan Yubileum bersama keluarga-keluarga di Vatikan mengatakan bahwa tahun Yubileum Kerahiman Allah bagi setiap keluarga menjadi kesempatan untuk mendapatkan buah-buah kerahiman Allah. Keluarga-keluarga tidak boleh melupakan seorang Allah yang mengampuni semua orang dan Allah yang selalu mengampuni. Keluarga-keluarga menjalankan tahun Yubileum dengan baik untuk menerima indulgensi dan kerahiman Allah. Uskup Agung Vincenzo Paglia, selaku penasihat paus untuk urusan keluarga-keluarga katolik mengatakan bahwa tahun Yubileum merupakan kesempatan untuk menemukan kembali panggilan dan perutusan setiap keluarga, dalam hal ini mentransformasi dunia individualistik dan dunia keluarga. Di samping itu keluarga mempertahankan ciptaan yang dianugerahkan Tuhan yaitu kehidupan anak-anak. Anak-anak yang mengalami keluarga sebagai sebuah seminari kerahiman Allah akan menghargai sesama dan menghargai kehidupan.

Kita semua mendengar kelanjutan perkataan Yesus di Bukit sabda Bahagia. Kali ini Ia menyampaikan dua antithesis tentang persekutuan keluarga dalam ikatan perkawinan serta berbagai ancamannya dan perzinahan. Antithesis pertama ada dalam perkataan Yesus: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28).

Perintah Allah kepada umat Israel supaya jangan berzinah memang sudah diketahui tetapi banyak kali masih dilanggar oleh umat Israel. Tuhan berkata: “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.” (Kel 20:17). Di tempat lain Tuhan berkata: “Jangan mengingini isteri sesamamu, dan jangan menghasratkan rumahnya, atau ladangnya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.” (Ul 5:21).

Kebaruan yang diajarkan Tuhan Yesus tentang larangan perzinahan sebagaimana sudah dikatakan dalam dunia Perjanjian Lama (Kel 20:14; Ul 5:18), adalah berkaitan sikap batin dari setiap orang. Tuhan Yesus memperjuangkan hak-hak kaum wanita yang banyak kali dilecehkan oleh sesama kaum wanita maupun kaum pria. Banyak kali kaum wanita mengalami diskriminasi tertentu, misalnya bagaimana cara memandang mereka dengan mata dan cara menyapa mereka dengan tangan. Yesus mengatakan bahwa setiap orang yang melihat seorang wanita dan menginginkannya, ia berbuat zinah. Untuk itu Yesus mengharapkan supaya setiap pengikut memiliki hati yang murni, mata yang jernih untuk dapat menghargai martabat kaum wanita. Dengan mengontrol mata dan tangan maka kita bisa ikut menghargai martabat setiap wanita. Kerahiman Allah juga menjadi milik mereka.

Tuhan Yesus juga mengajar antithesis ketiga (Mat 5: 31-32) berkaitan dengan larangan untuk bercerai. Antithesis ini masih berkaitan dengan antithesis sebelumnya tentang dosa perzinahan. Yesus berkata: “Telah difirmankan: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” (Mat 5:31-32). Kita mengingat kaum Farisi, nantinya akan bertanya kepada Yesus tentang perceraian. Yesus dengan tegas berkata: “Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (Mat 19:9). Dalam Kitab Ulangan, perceraian lebih berkaitan dengan sikap seorang suami kepada istrinya, terutama kalau istrinya berlaku tidak senonoh kepadanya (Kel 24:1).

Tuhan memiliki rencana yang luhur untuk mempersatukan pria dan wanita sebagai suami dan istri. Tujuan hidup bersama sebagai suami dan istri adalah supaya menjadi pribadi-pribadi yang bahagia bukan menderita. Inilah rencana Tuhan bagi para suami dan istri: “Sebab pada awal mula dunia Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia” (Mrk 10:6-9).

Mari kita merenungkan perkataan St. Paus Yohanes Paulus II: “Berakar dari pemberian diri yang total dan personal antara pasangan suami istri, dan menjadi syarat bagi kebaikan anak-anak, perkawinan yang tak terceraikan menemukan kebenaran pokok dalam rencana yang Tuhan nyatakan dalam wahyu-Nya: Ia menghendaki dan menyatakan perkawinan yang tak terceraikan sebagai buah, tanda dan persyaratan dari kasih setia yang absolut yang Allah miliki bagi manusia dan yang Tuhan Yesus miliki bagi Gereja” (Familiaris Consortio, 22).

Kita semua berdoa, semoga keluarga-keluarga katolik menjadi seminari kerahiman Allah. Keluarga katolik menjadi tempat anak-anak merasakan kasih dan kebaikan orang tua yang tidak lain adalah pancaran kasih Allah sendiri. Keluarga katolik menjadi tempat para suami dan istri mewujudkan kasihnya secara utuh, sehingga apa yang dipersatukan Allah jangan diceraikan manusia.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply