Homili 9 Juli 2016

Hari Sabtu, Pekan Biasa XIV
Yes 6:1-8
Mzm 93:1ab.1c-2.5
Mat 10:24-33

Kini tugasku jadi utusan-Mu!

imageSaya pernah mengikuti misa konselebrasi kaul kekal dari seorang suster. Ia memilih tema perayaannya: “Kini tugasku jadi utusan-Mu”. Dalam kesaksian hidup dan panggilannya, ia mengaku bahwa tema perayaan ini cocok dengan pengalaman panggilannya. Ia memulai panggilannya dengan mengenal seorang suster misionaris yang mengajar agama di sekolahnya. Suster misionaris itu sangat ramah dan akrab dengan semua anak. Hampir semua anak di sekolah itu merasa bahwa kehadiran suster seperti seorang malaikat yang membawa kegembiraan bagi mereka. Kehadirannya mendorong banyak anak di sekolah itu untuk menjawabi pangilan Tuhan sebagai suster. Kini suster yang berkaul kekal itu merasa bahwa kehadiran suster misionaris itu menjadi berkat dan ia bersedia menjadi utusan Tuhan bagi sesama yang lain. Tuhan memang memanggil dan memilih seseorang dengan caranya sendiri. Ia melakukan inisiatif pertama untuk memanggil dan memilih pribadi-pribadi sebagai mitra kerja atau sebagai utusan-Nya. Kita semua dipanggil untuk menjadi utusan!

Pada hari ini kita mendengar kisah panggilan dan perutusan nabi Yesaya dan para murid Yesus. Nabi Yesaya memulai panggilannya dengan sebuah pengalaman akan kekudusan Allah. Pengalaman ini membuatnya merasa tidak layak untuk dipanggil dan diutus sebagai nabi Tuhan. Namun Tuhan memiliki kuasa sehingga dengan Roh Kudus-Nya dapat menyempurnakan panggilannya. Dikisahkan bahwa pada saat raja Uzia wafat, Yesaya mendapat sebuah penglihatan yang luar biasa. Ia melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang dan ujung jubahnya memenuhi bait suci. Ia melihat makhluk surgawi yakni Serafim dengan sayap-sayapnya, berseru kepada Tuhan: “Kudus-kuduslah Tuhan semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” Ketika ia sedang menyaksikan makhluk surgawi menyembah Allah yang Mahatinggi, alas ambang pintu bergoyang dan rumah itu penuh dengan asap.

Penglihatan Yesaya ini membawanya kepada sebuah kesadaran akan hidupnya yang tidak sempurna di hadirat Tuhan. Ia berkata: “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini orang yang berbibir najis, dan aku tinggal di tengah bangsa yang berbibir najis, namun mataku telah melihat Sang Raja, Tuhan semesta alam.” (Yes 6:5). Yesaya menyadari semua kelemahannya dan Tuhan menunjukkan kerahiman-Nya kepadanya. Apa yang Tuhan lakukan? Ia menggerakan hati seorang Serafim untuk mengambil bara api dan menyentuhnya pada mulut Yesaya. Serafim berkata kepada Yesaya: “Lihatlah, bara ini telah menyentuh bibirmu maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni” (Yes 6:7). Pengalaman akan kerahiman Tuhan ini ditandai dengan panggilan dan perutusan di pihak Tuhan dan jawaban pasti dari pihak Yesaya. Tuhan bertanya: “Siapakah yang akan kuutus atas nama-Ku? Dan Yesaya dengan pasti menjawab: “Inilah aku, utusalah aku!” (Yes 6:8).

Hal yang menarik dari panggilan nabi Yesaya adalah keterbukaannya pada kerahiman Allah. Ia memang menyadari dirinya sebagai seorang yang berbibir najis, namun karena ia berusaha untuk menyatu dengan Tuhan sehingga ia pun melakukan pertobatan radikal. Pertobatan itu ada semata-mata karena kerahiman Allah. Dialah yang memiliki inisiatif untuk memberikan Roh-Nya yang kudus kepada Yesaya. Roh Kudus yang menyucikan hidup Yesaya dan menguatkan atau memampukannya dalam perutusan. Penglihatan Yesaya ini membantu kita untuk memilki harapan supaya bersatu dengan Tuhan. Yesaya melihat Tuhan dengan pakaian kemegahan-Nya di mana ujung jubahnya sampai memenuhi bait suci. Kita pun berbibir najis dan tidal layak menjadi utusan namun Tuhan memiliki kuasa untuk menguduskan dan mengutus. Kerahiman dan kasih-Nya harus kita rasakan.

Pengalaman rohani nabi Yesaya juga menjadi pengalaman rohani raja Daud. Ia melihat Tuhan sebagai Raja yang berpakaian kemegahan. Kekuatanlah adalah ikat pinggang-Nya. Tuhan sendiri sebagai raja memiliki peraturan yang teguh dan bait-Nya berhiaskan kekudusan. Kita memiliki harapan untuk merasakan kasih dan kerahiman Tuhan dengan pergi dan berdiam di rumah Tuhan selamanya. Ini berarti semangat doa dan keaktifan kita dalam ekaristi atau dalam ibadat sabda di gereja harus semakin baik. Kita semua berbibir najis, penuh dengan kelemahan tetapi di rumah Tuhan kita akan menjadi kuat. Kita merasakan kemegahan-Nya.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengingatkan para murid-Nya untuk menjadi utusan yang memiliki iman yang kuat. Iman yang kuat akan jauh dari segala ketakutan manusiawi karena Tuhan menjadi satu-satunya andalan hidup. Ia memulainya dengan pengajaran yang sederhana bahwa seorang murid tidak melebihi gurunya, seorang hamba tidak melebihi tuannya. Cukuplah bagi seorang murid untuk sama dengan gurunya dan hamba sama dengan tuannya. Perkataan Yesus ini memiliki pengaruh yang kuat bagi para murid-Nya. Tuhan Yesus mengasihi para murid-Nya sampai tuntas maka para murid sama dengan-Nya yakni mengasihi Yesus dan saling mengasihi. Yesus wafat di kayu salib maka para murid juga memanggul salib dan mengikuti jejak-Nya. Yesus menyapa para murid sebagai sahabat bukan sebagai hamba!

Tuhan Yesus menghimbau para murid untuk menjadi misionaris kerahiman Allah yang berani, bebas dari segala ketakutan manusiawi. Ia sendiri selalu melarang para murid ketika membuat mukjizat atau mengajar sesuatu namun di masa depan, semua pengajaran-Nya itu akan diwartakan secara terang-terangan. Sebab itu para murid diingatkan untuk tidak takut terhadap siapapun, selain takut akan Allah. Mengapa? karena Tuhan tetap memelihara dan menjaga mereka sebagau anak-anak-Nya.

Kita patut bersyukur kepada Tuhan karena Ia selalu menguatkan kita untuk berani hidup sebagai utusan-Nya. Kini tugas kita adalah sebagai utusan untuk ikut serta mewartakan kerajaan Allah, sebuah kerajaan yang penuh dengan kasih dan kerahiman. Dengan demikian dunia akan diselamatkan oleh kerahiman Allah.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply