Homili 4 Agustus 2016

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XVIII
Yer 31: 31-34
Mzm 51: 12-15.18-19
Mat 16:13-23

Merenungkan Janji Kerahiman Allah

imageSetiap anggota Tarekat hidup bakti, baik pria maupun wanita, memiliki kesempatan untuk membaharui dirinya setiap tahun, dengan berpartisipasi dalam retret tahunan di dalam tarekatnya masing-masing. Selama seminggu para pria dan wanita yang berjubah ini “masuk asrama” untuk mendapat pembinaan dan penyegaran rohani tertentu. Selama retret tahunan berlangsung ada kesempatan untuk mengaku dosa dan pada akhir retret ada kesempatan juga untuk membaharui kaul-kaul kebiaraan secara umum. Tujuannya adalah supaya semua anggota yang berkaul sementara dan kekal mengenang kembali saat-saat mereka setia dan juga tidak setia kepada Tuhan. Banyak kaum barjubah yang bermetanoia dan semakin setia dalam panggilannya setelah mengikuti retret tahunan. Buktinya adalah setelah retret tahunan mereka semakin bersemangat dalam melayani, semakin setia dalam menghayati kaul ketaatan, kemiskinan dan kemurnian. Jadi ada niat baru untuk mengalami kasih dan kerahiman Allah secara sempurna.

Mari kita memandang Tuhan kita Allah yang Mahamurah. Tuhan Allah senantiasa menunjukkan kasih dan kerahiman-Nya kepada manusia. Ia memiliki inisiatif pertama untuk menyelamatkan manusia. Nabi Yeremia menceritakan kesaksiannya tentang kerahiman Allah dengan jelas. Tuhan memulai inisiatif kerahiman-Nya dengan berkata: “Sungguh, akan datang waktunya Aku akan mengikat perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda” (Yer 31:31). Di sini Tuhan memiliki rencana dan kehendak untuk menyelamatkan Israel. Orang-orang Israel dan Yehuda memang memiliki hati yang keras, banyak kali menjauh dari Tuhan namun Tuhan setia dan mendekati mereka umat-Nya. Ia bahkah mau membaharui perjanjian dengan mereka karena perjanjian yang lama sudah diingkari oleh nenek moyang mereka. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan sendiri berlaku sebagai Bapa yang baik. Ia memegang tangan mereka, membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Kasih dan kebaikan Tuhan itu tidak disadari oleh nenek moyang mereka sehingga mereka mengingkarinya.

Kita semua yang membaca dan mendengar  janji Tuhan untuk membaharui janji-Nya kepada manusia patut merasa malu. Kita harus merasa malu karena meskipun kita tidak setia kepada Tuhan namun Ia tetap setia kepada kita ciptaan-Nya yang lemah dan hina. Tuhan tetaplah menjadi sumber keselamatan. Dialah yang memiliki inisiatif pertama untuk menyelamatkan kita semua. Kalau Tuhan begitu mencintai kita, mengapa kita selalu membalasnya dengan dosa? Mengapa kita selalu jatuh dalam dosa yang sama? Mengapa kita berjanji untuk percaya kepada-Nya tetapi di kesempatan yang lain kita mengingkari janji kita?

Tuhan tetap setia kepada manusia yang berdosa. Kerahiman-Nya menyelimuti manusia. Sebab itu Ia membaharui janji-Nya kepada manusia: “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka, dan menuliskannya di dalam hati mereka. Maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka menjadi umat-Ku” (Yer 31: 33). Tuhan  berjanji untuk tetap menunjukkan kasih dan kerahiman-Nya kepada manusia. Ia berkata: “Sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan takkan lagi mengingat dosa mereka” (Yer 31:34).

Bunyi Perjanjian yang Tuhan sendiri perbaharui memang benar-benar menunjukkan wajah Allah sebagai Kasih. Wajah Allah kita adalah Kerahiman! Ia menaruh hukum kasih di dalam batin kita supaya kita mampu mengasihi seperti Dia adalah kasih. Ia menuliskan hukum kasih-Nya di dalam hati kita supaya sepanjang hidup ini kita tinggal di dalam kasih dan dan kasih di dalam kita. Relasi kasih yang mendalam ini memampukan kita untuk mengimani-Nya sebagai Allah kita dan kita adalah umat kesayangan-Nya. Apakah kita sudah membuka hati kita dan membiarkan Tuhan berkarya di dalam-Nya? Apakah hati kita sudah penuh dengan kasih dan kerahiman yang kita alami bersama Allah?

Kita patut merenungkan Janji Kerahiman Allah di dalam hidup kita. Sebagai pengikut Kristus, kita memiliki janji -janji baptis. Di dalam janji-janji baptis itu kita mengaku percaya kepada Allah Tritunggal mahakudus, Gereja Katolik, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Kita juga menolak setan dan bentuk-bentuk godaan setan. Janji-janji baptis itu hanya mau menyatukan kita dengan Tuhan bukan dengan setan.

Bagi para suami dan istri, kalian memiliki janji-janji perkawinan. Di hadapan Tuhan kalian berjanji untuk setia kepada pasangan dalam untung dan malan, di waktu sehat dan sakit dan tetap saling mengasihi selama-lamanya. Apakah janji setia ini tetap dipegang atau sudah berkali-kali mengingkarinya? Kami para imam, biarawan dan biarawati memilik janji imamat, dan kaul-kaul kebiaraan untuk hidup taat, miskin dan murni. Ini adalah jalan untuk mengikuti Yesus dari dekat. Apakah kita semua sudah setia kepada janji-janji suci ini? Tuhan saja membaharui janjinya maka mari kita membaharui janji setia kita kepada Tuhan supaya dapat merasakan kerahiman-Nya.

Mari kita memandang sosok Petrus di dalam Injil hari ini. Ketika Yesus bertanya tentang jati diri-Nya di hadapan mereka maka Petruslah yang membuka mulut dan mengakui iman-Nya kepada Yesus. Ia berkata: “Engkaulah Mesias, anak Allah yang hidup” (Mat 16:16). Jawaban Petrus mewakili teman-temannya merupakan ungkapan janji setianya kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus lalu memberi kepercayaan kepada-Nya sebagai wadas bagi gereja dan kepemimpinan Gereja kepadanya. Tetapi sangat disayangkan karena Petrus tidak mau menerima penderitaan Yesus. Baginya, Yesus harus menjadi Mesias yang jaya bukan Mesias yang menderita.

Pengalaman Petrus adalah pengalaman kita semua. Kita dapat saja mengambil jalan pintas untuk menjauhkan diri dari segala jenis penderitaan. Kita memilih jalan sesat karena tidak mau menderita bagi dan bersama Tuhan Yesus. Mari kita berubah! Mari kita membuka diri untuk merasakan kasih dan kerahiman Allah.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply