Homili 20 Agustus 2016

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XX
Yeh 43:1-7a
Mzm 85:9ab-10.11-12.13-14
Mat 23: 1-12

Berani memberi teladan baik!

imageAda seorang remaja pernah mengatakan kepada saya rasa kecewanya terhadap kedua orang tuanya. Ia mengaku kembali dari sekolah pada soreh hari penuh beban, kelelahan fisik dan mental. Ia pernah meminta kepada orang tuanya untuk menonton sebuah acara di televisi pada suatu sore hari, tetapi kedua orang tuanya tidak memberi ijin. Alasannya adalah ia harus beristirahat dan selanjutnya mengerjakan tugas mandiri dari sekolah. Anak itu berusaha untuk menuruti perintah orang tuanya. Namun hal yang membuatnya kesal adalah pada saat yang sama orang tuanya menonton acara kesayangan mereka di chanel yang lain di televisi itu, sambil tertawa berdua menikmati acara kesayangan mereka. Anak itu ingin belajar namun merasa terganggu karena keributan yang dilakukan orang tuanya di depan televisi. Ia menilai orang tuanya tidak konsisten dalam memberi teladan baik kepadanya. Mereka boleh menonton tetapi tidak harus membuat gaduh. Seorang remaja lain mengaku kesal dengan orang tuanya. Mereka melarangnya untuk tidak menggunakan HP saat makan bersama di meja makan, tetapi banyak kali ayah dan ibunya masih sibuk menggunakan HP mereka tanpa memperhatikan makanan dan berbicara satu sama lain. Ketika ia sendiri coba untuk memegang HP di ruang makan, langsung saja ditegur oleh mereka. Ia merasa heran, mengapa orang tuanya hanya menerapkan disiplin padanya sebagai anak, sementara mereka sendiri tidak memberi teladan yang baik?

Kedua pengalaman sederhana ini menggambarkan berbagai pergumulan setiap keluarga masa kini. Di satu pihak para orang tua berusaha untuk menunjukkan diri mereka sebagai pendidik nomor satu kepada anak-anak, di lain pihak orang tua sendiri lalai bahkan tidak menunjukkan teladan baik kepada anak-anaknya dalam area disiplin tertentu. Anak-anak masa kini lebih suka melihat teladan dan sedikit mau mendengar kata-kata dari orang tua dan para pendidik. Sebab ada orang yang berkata begitu baik tetapi tidak menghayatinya. Seharusnya antara kata dan tindakan itu sinkron.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini membuka wawasan kita untuk mawas diri dalam berkata dan bertindak. Artinya Tuhan menghendaki agar segala sesuatu yang kita ucapkan harus sinkron dengan perbuatan kita yang nyata. Orang lain harus melihat perbuatan kita yang baik bukan hanya perkataan saja. Orang tidak harus menjadi NATO alias No Action Talk Only.

Sesunguhnya apa yang Tuhan Yesus alami dan hendak membuka wawasan kita saat ini? Dikisahkan bahwa pada suatu kesempatan Tuhan Yesus mengingatkan pada murid-Nya yang sering melihat keberadaan kaum Farisi dan frontal melawan-Nya. Sebab itu Yesus meminta mereka untuk mawas diri terhadap situasi saat itu. Yesus berkata: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kalian turuti perbuatan mereka, karena mereka mengajarkan tetapi tidak melakukannya” (Mat 23: 2-3).

Tuhan Yesus lalu membeberkan kelemahan-kelamahan para ahli Taurat dan kaum Farisi. Mereka itu hanya bisa mengikat beban dan memberikan kepada orang lain tanpa perlu menyentuhnya. Mereka bersikap munafik karena melakukan segala sesuatu supaya mendapat pujian. Mereka mengenakan gaun religius, duduk di tempat terhormat dan terdepan, menerima hormat dan senang kalau disapa Rabi. Mereka berpikir sudah melebihi Musa. Inilah beberapa kelemahan manusiawi yang dominan dalam diri mereka.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang murid Yesus Kristus? Tuhan Yesus mengharapkan supaya seorang murid tidak boleh menyebut dirinya sebagai Rabi karena hanya Yesus saja sebagai Rabi sejati dan para murid-Nya adalah saudara. Seorang murid tidak boleh memanggil siapa pun Bapa karena hanya ada satu Bapa yaitu Dia yang ada di Surga. Seorang murid tidak boleh menyebut seorang pun sebagai pemimpin karena hanya Kristus saja sebagai pemimpin bagi mereka.

Semua perkataan Yesus dalam perikop Injil hari ini sifatnya mengoreksi diri kita masing-masing. Kita harus belajar malu di hadapan Tuhan Yesus karena banyak kali kita menutup diri terhadap kerahiman Tuhan. Kita tidak lebih dari orang Farisi dan para ahli Taurat masa kini. Kita berbicara banyak tetapi tidak sinkron dengan teladan yang kita berikan. Kita tidak malu-malu untuk bersikap munafik di hadapan Tuhan dan sesama. Kita sadar dan tidak sadar menjadi gila kuasa, gila hormat dan gila harta. Semua kelemahan ini sedang menguasai hidup kita, dan mulai beranak cucu. Anak-anak remaja dan orang-orang muda sudah tidak banyak belajar yang baik-baik dari orang tua dan para pendidiknya.

Kita sangat membutuhkan Tuhan untuk menunjukkan kerahiman-Nya kepada kita. Kita membutuhkan Tuhan untuk membaharui hidup kita dengan segala kemuliaan-Nya. Kita masih percaya sebagaimana dialami sendiri oleh Yehezkiel bahwa meskipun banyak dosa dan salah kita tetapi Tuhan tidak membiarkan kita sendirian. Ia tetap menunjukkan wajah kerahiman-Nya, kemuliaan-Nya menguasai dan menguduskan kita semua. Ia berjanji: “Aku akan tinggal di tengah-tengah orang Israel untuk selama-lamanya” (Yeh 43:7a). Ia juga tinggal bersama kita dan memampukan kita untuk memberi keteladanan yang benar kepada sesama.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply