Homili 19 September 2016

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXV
Ams 3:27-34
Mzm 15:2-3ab. 3cd-4ab.5
Luk 8:16-18

Apakah anda sudah berbuat baik?

imageSaya mengingat kembali suasana Misa Syukur di sebuah lingkungan. Ketika itu Romo yang memimpin perayaan Misa Syukur bertanya kepada umat yang hadir pertanyaan ini: “Apakah anda sudah berbuat baik sepanjang hari ini?” Jawaban pertama datang dari anak-anak yang polos. Ada di antara mereka yang mengatakan sudah, ada yang mengatakan belum dengan memberi contoh-contoh nyata. Orang-orang dewasa masih saling memandang, tersenyum dan mulai menghitung semua perbuatan baik yang sudah mereka lakukan sepanjang hari. Setelah anak-anak bersaksi baru giliran mereka untuk memberi kesaksian tentang perbuatan baik mereka.

Setelah mendengar kesaksian umat yang hadir tentang perbuatan baik yang mereka sudah lakukan, Romo berkata: “Perbuatan baik yang kita semua lakukan masih terbatas dan mudah dihitung dibandingkan dengan perbuatan baik yang Tuhan lakukan bagi kita.” Semua umat terdiam sejenak, lalu Romo itu melanjutkan dengan mengutip perkataan Yesus: “Sebab itu hendaknya cahayamu bersinar di depan orang, agar mereka melihat perbuatanmu yang baik, dan memuji Bapamu yang di surga.” (Mat 5:16). Suasana Misa Syukur malam itu benar-benar menjadi sebuah Misa Syukur karena semua orang mendapat pencerahan untuk terus berbuat baik, karena perbuatan baik yang dilakukan kepada sesama masih sangat terbatas dibandingkan dengan perbuatan baik yang Tuhan sendiri lakukan kepada kita.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengajak kita untuk tetap berbuat baik kepada semua orang. Dari Kitab Amsal kita mendapat titik-titik kebijaksanaan yang membantu kita untuk berperilaku sebagai anak yang baik dan benar di dalam keluarga dan di hadapan Tuhan Allah sendiri. Ada lima titik kebijaksanaan yakni:

Pertama, Amsal berkata: “Janganlah menahan kebaikan terhadap orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya” (Ams 3:27). Banyak kali kita terjebak dalam situasi suka dan tidak suka kepada sesama. Sebab itu kita sendiri mengalami kesulitan untuk berbuat baik. Ada saja  ketakutan di pihak kita misalnya merasa rugi, merasa kehilangan, padahal kita seharusnya melakukan perbuatan baik itu kepada sesama kita karena kita mampu. Orang seperti ini pelit.

Kedua, Kita memiliki kebiasaan menunda-nunda untuk berbuat baik. Penulis Kitab Amsal melihat suatu kebiasaan yang sering dilakukan, misalnya kita memiliki sesuatu yang perlu kita bagikan kepada sesama yang berkekurangan, namun selalu ada usaha untuk menunda dengan berkata: “Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi” (Ams 3:28). Seandainya kita berada di pihaknya, bagaimana rasanya? Maka sebaiknya segeralah berbuat baik, segeralah menolong sesama yang membutuhkan uluran tanganmu.

Ketiga, Kadang-kadang perbuatan baik itu dinodai oleh rencana untuk berbuat jahat kepada sesama khususnya yang serumah atau sekomunitas. Misalnya merencanakan kecurangan tertentu kepada mereka. Apa untungnya anda hendak berbuat jahat kepada saudaramu?

Keempat, Kebiasaan bertengkar dengan orang lain dan mencari-cari persoalan untuk bermusuhan. Hal ini sering dialami dalam hidup bersama. Ada hal yang sebenarnya bukan menjadi sumber masalah tetapi tiba-tiba menjadi masalah dalam hidup bersama.

Kelima, ada perasaan iri hati kepada orang yang melakukan kelaliman sehingga menimbulkan niat  jahat untuk melakukan hal yang sama. Biasanya kita membandingkan diri kita dengan mereka, selanjutnya ada niat untuk berbuat kelaliman. Sebaiknya jangan pernah mencobanya.

Semua titik kebijaksanaan ini akan mengantar kita kepada Tuhan. Amsal mengatakan bahwa kutuk Tuhan ada di dalam rumah orang jahat sedang rumah orang benar diberkati Tuhan. Tuhan senantiasa mengindahkan orang yang rendah hati dan menurunkan orang yang suka mencemooh dan berlaku sombong dan pelit.

Perbuatan baik itu selalu bercahaya. Ia laksana pelita yang menyala dalam kegelapan. Dalam rumah-rumah kuno Palestina, mereka mengandalkan pelita untuk menerangi rumah mereka. Pelita yang menyala tidak dapat disembunyikan dengan menggunakan tempayan atau diletakkan di bawah tempat tidur. Pelita itu harus diletakkan di tempat yang sudah disiapkan, letaknya agak tinggi supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya. Dengan bantuan cahaya maka tidak ada lagi yang tersembunyi dan tidak ada lagi rahasia.

Pelita yang bercahaya dipakai Yesus untuk mengatakan kepada para murid-Nya supaya tekun berbuat baik kepada semua orang. Dengan berbuat baik maka semua orang akan memuliakan Bapa di surga sebagai sumber segala kebaikan. Ia sendiri berkata: “Hendaklah cahayamu bersinar di depan orang, agar mereka melihat perbuatanmu yang baik, dan memuji Bapamu yang di surga” (Mat 5:16). Allah Bapa adalah sumber segala kebaikan maka hendaknya perbuatan baik kita mengarah kepada-Nya bukan mengarah kepada kita. Banyak kali perbuatan baik hanya mengarah kepada kita sehingga kita menjadi populer. Seharusnya Tuhanlah yang populer!

Pelita yang bercahaya merupakan Sabda Tuhan sendiri. Pamazmur dengan sukacita berkata kepada Tuhan: “Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm 119:105). Kita perlu memiliki cara mendengar Sabda yang terbaik sehingga mampu melakukan Sabda itu secara nyata di dalam hidup kita. Dengan demikian kita benar-benar menjadi pelita bagi sesama, menerangi hidup mereka dengan perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan dengan tulus. Jangan berhenti berbuat baik. Jangan menunda berbuat baik. Tuhan saja tidak pernah melakukannya kepadamu.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply