Homili Pesta St. Matius – 2016

Pesta St. Matius, Rasul dan Pengarang Injil
Ef 4: 1-7.11-13
Mzm 19:2-3.4-5
Mat 9:9-13

Merenungkan belas kasih Allah

imagePada hari ini kita merayakan pesta St. Matius, Rasul dan Pengarang Injil. Ayahnya bernama Alpheus. Ia memiliki nama sapaan dalam bahasa Aram yakni Levi. Orang kebanyakan mengenalnya sebagai Matius pemungut cukai di kota Kapernaum, wilayah Galilea. Sapaan ini erat terkait dengan profesi yang diembannya saat itu. Pekerjaan sebagai pemungut cukai memang tidak disukai oleh masyarakat saat itu, karena defacto ia sebagai orang Yahudi yang dipekerjakan bagi orang Romawi. Ia menagih pajak dari orang Yahudi untuk menyerahkannya kepada orang Romawi. Sebab itu, pemungut cukai sangat dibenci oleh orang-orang Yahudi. Mereka terang-terangan membully para pemungut cukai dengan menyamakan mereka sebagai orang berdosa. Tuhan Yesus memiliki pandangan dan sikap yang berbeda terhadap orang-orang yang dikucilkan dalam masyarakat. Ia tidak mengucilkan orang tetapi membebaskan mereka dari berbagai kelemahan manusiawi. Dosa-dosa mereka diampuni, hidup mereka diperbaharui-Nya.

Tuhan Yesus memanggil Matius untuk mengikuti-Nya dari dekat. Ketika Matius mendengar panggilan dan ajakan Tuhan Yesus, ia masih bekerja di meja cukai, namun ia segera meninggalkan segala sesuatu terutama pekerjaannya untuk mengikuti Yesus dari dekat. Eusebius, seorang sejarahwan Gereja Purba mengatakan bahwa nama lain dari Matius adalah Lewi. Dia menulis salah satu Injil Sinoptik yang kita kenal dengan nama Injil Matius. Lambangnya adalah manusia bersayap. Isi Injilnya adalah menyatakan Yesus sebagai Mesias dan tentang Kerajaan Surga. Konon setelah menulis Injil, Matius mengadakan perjalanan ke Timur jauh yakni ke Masedonia, Mesir, Etiopia dan Persia. Ia wafat sebagai martir di Persia saat mewartakan Injil di sana.

Hal yang menarik perhatian kita dari kehidupan St. Matius adalah imannya kepada Tuhan Yesus. Ia mendapat panggilan dari Tuhan Yesus dan dengan segera mengikuti-Nya dari dekat. Ia tidak mencari alasan untuk tidak mengikuti Yesus. Ia mengungkapkan pengalaman rohaninya ini sebagai tanda ketaatannya kepada Tuhan. Ia mengisahkan sebuah pertemuan yang indah bersama Yesus dan menerima Yesus di rumahnya untuk makan bersama. Pertemuan dengan Yesus diawali dengan sebuah ajakan: “Ikutlah Aku!” Sebuah ajakan, panggilan yang sakti dari Tuhan Yesus kepada Matius. Ia pun segera berdiri, meninggalkan segala pekerjaan, meninggalkan zona nyaman untuk mengikuti Yesus dari dekat.

Ia tidak hanya sekedar mengikuti Yesus. Ia menunjukkan komitmen untuk berubah secara total supaya layak tinggal bersama Yesus. Ia menerima Yesus di rumahnya dan menjamu Yesus dengan bersantap bersama. Para pemungut cukai yang seprofesi dengannya dan orang-orang lain yang dianggap berdosa ikut makan bersama Yesus. Kaum Farisi melihat perjamuan ini secara sinis karena melihat Yesus begitu akrab dengan kaum pendosa. Mereka bahkan menunjukkan protes mereka kepada Yesus melalui para murid-Nya. Yesus pun bereaksi dengan berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang sakit.” Ia juga berkata: “Yang Kukehendaki adalah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

Kisah Injil ini memang menarik perhatian kita semua. Tuhan Yesus melakukan pendekatan pertama dengan Matius dan memanggilnya dengan penuh kasih. Kita percaya bahwa Yesus datang untuk mengunjungi kita dalam hidup yang nyata. Kita bisa mengatakan bahwa Tuhan Yesus mengunjungi para petani, pedagang, pekerja pabrik, pemerintah, bahkan orang jahat sekali pun. Tugas Yesus adalah menguduskan semua orang yang sudah dipanggil sesuai dengan belas kasih-Nya. Kita boleh bertanya dalam diri kita, apakah kita selalu melakukan pendekatan pertama terhadap sesama yang lain? Atau kita memilih menjadi orang yang pasif dalam hidup bersama. Yesus memberi semangat kepada kita untuk melakukan pendekatan pertama, dan menunjukkan segala kebajikan, belas kasih kepada semua orang.

Apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus memberi nasihat supaya jemaat hidup sepadan dengan panggilan kudus yang sedang dijalani. Paulus saat itu sedang berada di dalam penjara karena mewujudkan panggilannya untuk mengikuti Yesus Kristus dari dekat. Supaya panggilan hidup itu menjadi subur maka jemaat perlu rendah hati, lemah lembut dan sabar. Mari kita melihat diri kita dan bertanya: Apakah kita sendiri rendah hati, lemah lembut dan sabar terhadap Tuhan dan sesama?

Paulus mengharapkan agar kita semua mewujudkan hidup Kristiani yang berkualitas dengan menunjukkan kasih dan saling membantu, memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai sejahtera: satu tubuh, satu Roh, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa bagi semua orang. Allah sebagai Bapa yang di atas semua, menyertai semua dan menjiwai semua.

Bagi kita masing-masing, Tuhan Yesus menganugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian-Nya. Tuhan memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita Injil, gembala umat, pengajar yang bekerja untuk membentuk tubuh Kristus. Jadi, setiap orang dalam hidupnya yang nyata, harus memberikan dirinya seutuhnya untuk Tuhan Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Kita telah menerimanya dengan cuma-cuma maka memberinya juga dengan cuma-cuma, bukan dengan menghitung berapa jasa baik kita.

Pada hari ini kita semua diingatkan Tuhan melalui sabda-Nya untuk peduli, ikut terlibat secara utuh dalam membentuk Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus. Kita mewartakan belas kasih Allah kepada semua orang. Kitalah yang harus melakukan pendekatan pertama bukan menunggu dengan pasif. St. Matius, doakanlah kami.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply