Homili 27 September 2016

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXVI
Ayb 3: 1-3.11-17.20-23
Mzm 88: 2-3.4-5.6.7-8
Luk 9:51-56

Yesus mengarahkan pandangan ke Yerusalem

imageBeberapa hari yang lalu saya melihat sebuah spanduk yang dipegang oleh sekelompok anak muda. Spanduk itu bertuliskan kata-kata yang menarik: “Kami membutuhkan pemimpin yang visioner”. Rupa-rupanya mereka sedang bersiap untuk melakukan demonstrasi menyambut pendaftaran nama-nama calon kepala daerahnya di Komisi Pemilihan Umum Daerah tersebut. Hal yang menarik perhatianku adalah anak-anak muda berharap untuk mendapatkan seorang pemimpin yang visioner. Pemimpin yang memiliki visi ke depan untuk kebaikan dan kemajuan daerahnya. Pemimpin yang berani bermimpi, bercita-cita dan berusaha untuk mewujudkannya dalam semangat pengabdian kepada masyarakat. Pemimpin yang visioner pandai membaca tanda-tanda zaman.

Pada hari ini Penginjil Lukas mengisahkan perjalanan Yesus ke Yerusalem untuk mewujudkan keselamatan. Ia meninggalkan Galilea dan akan kembali setelah kebagkitan-Nya yang mulia (Mat 28:10). Lukas menulis: “Ketika hampir genap waktunya di angkat ke surga, Yesus mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem.” (Luk 9:51). Yesus sudah mengetahui apa yang akan terjadi bagi diri-Nya. Dia juga sudah berbicara dengan Musa dan Elia tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem (Luk 9:31). Sebab itu Ia mengutus beberapa utusan mendahului-Nya di sebuah desa Samaria untuk mempersiapkan kedatangan-Nya. Tetapi orang-orang Samaria tidak mau menerima kedatangan Yesus karena Ia sedang menuju ke Yerusalem.

Pertanyaan kita, mengapa orang-orang Samaria tidak mau menerima kehadiran Yesus yang sedang menuju ke Yerusalem. Sistem sosial politik pada zaman Yesus terbagi atas tiga daerah penting yakni Galilea, Samaria dan Yudea di mana ada kota Yerusalem. Relasi antara Yudea dan Samaria tidak baik. Orang-orang Yudea menganggap orang-orang Samaria sebagai orang asing, bukan orang Yahudi. Sebab itu orang-orang Galilea yang hendak berziarah ke Yerusalem perlu melewati jalan-jalan alternatif, sekurang-kurangnya tidak melewati daerah Samaria. Semua ini karena fanatisme yang berlebihan dalam agama mereka.

Yesus memiliki misi yakni menyelamatkan semua orang. Keselamatan universal. Untuk itu Ia mengarahkan mata-Nya ke Yerusalem dan berniat untuk melewati Samaria supaya keselamatan juga dapat dirasakan oleh mereka. Tetapi orang-orang Samaria menutup hati karena sikap fanatisme juga ada di pihak mereka. Yakobus dan Yohanes sebagai kakak beradik juga merasa kesal dan meminta kepada Yesus kalau boleh mereka menurunkan api dari langit untuk membinasakan mereka. Yesus memandang mereka dan menegur mereka bahwa mereka tidak tahu apa yang mereka inginkan. Manusia lebih mudah terpancing secara emosional daan lupa akan belas kasih yang ada pada Tuhan sendiri. Yesus berkata: “Anak manusia datang bukan untuk membinasakan orang, melainkan untuk menyelamatkannya” (Luk 9:55). Hal lain yang menarik adalah meskipun di salah satu desa mereka dilarang masuk namun masih ada kesempatan lain, sebab itu mereka pergi ke desa yang lain.

Tuhan Yesus benar-benar berusaha untuk menggenapi semua perkataan-Nya: “Anak Manusia datang untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi semua orang.” Ia tidak memilih orang-orang khusus untuk menyelamatkannya tetapi semua orang. Ini adalah kasih Tuhan yang tiada batasnya bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Hanya saja manusia sering tidak menyadarinya. Manusia lebih cepat marah, emosi seperti Yakobus dan Yohanes, atau menutup diri dan tidak mau menerima orang lain seperti orang-orang dari sebuah desa Samaria. Yesus sebagai Anak Allah, yang menunjukkan wajah kerahiman Bapa menunjukkan wajah belas kasih Allah kepada semua orang. Sikap Yesus inilah yang patut kita ikuti. Kita mengakui diri sebagai pengikut Kristus maka kita perlu memberi diri kepada-Nya dan hidup serupa dengan-Nya, dengan berbelas kasih, memberi diri kepada semua orang.

Dalam bacaan pertama kita belajar banyak dari Ayub. Ia mengalami banyak kemalangan sehingga berani membuka mulut dan mengutuki hari kelahirannya. Ia berkata: “Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku, dan malam yang mengatakan , ‘seorang anak laki-laki telah ada di dalam kandungan’. (Ayb 3:3). Ayub meratapi nasib hidupnya, penderitaan dan kemalangannya di hadirat Tuhan. Ia belum mengerti dengan baik rencana Tuhan di dalam hidupnya. Berbagai pertanyaan Ayub kepada Tuhan, adalah pertanyaan-pertanyaan kita semua yang masih mengembara di dunia ini. Masing-masing kita memiliki penderitaan dan kemalangan tersendiri. Namun satu hal yang indah dari hidup Ayub adalah, ia tetap berada di hadirat Allah dan berusaha untuk memahami rencana Allah dalam hidupnya.

Pada hari ini kita berusaha untuk menerima penderitaan dan kemalangan sebagai bagian dari hidup kita. Kita berusaha untuk mengikuti Kristus lebih dekat lagi dan berusaha untuk merasakan kasih-Nya.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply