Homili 27 Oktober 2016

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXX
Ef 6:10-20
Mzm 144:1.2.9-10
Luk 13:31-35

Tuhanlah adalah kekuatanku

imageSaya pernah mengunjungi seorang pasien di rumah sakit. Ia  mendapat label sementara sebagai pelangganan tetap rumah sakit, karena sering opname di sana. Saya mengurapinya dengan sakramen perminyakan dan memberikan viaticum kepadanya. Ketika membuka buku doa yang sering dipakainya, saya menemukan sebuah kertas kecil dengan tulisan berbunyi: “Tuhan adalah kekuatanku”. Ia menggunakannya sebagai pembatas buku. Perkataan Tuhan ini tentu sangat meneguhkan si pasien itu. Ia mengalami banyak sakit dan penyakitnya namun tetap bertahan dalam iman dan mengalami kesembuhan secara ajaib. Sehingga label pelangganan tetap rumah sakit pun hilang dalam dirinya.

Setelah ibadat singkat itu, saya kembali ke komunitas sambil mengingat kembali kutipan singkat yang tertulis dalam secarik kertas tadi. Pikiran saya tertuju pada Raja Daud yang berdoa di dalam Kitab Mazmur: “Tuhan adalah kekuatanku dan perisaiku, kepada-Nya hatiku percaya. Aku tertolong sebab beria-ria hatiku, dan dengan nyanyianku, aku bersyukur kepada-Nya” (Mzm 28:7). Ayat Mazmur ini sangat inspiratif bagiku. Ketika merayakan pesta perak hidup membiaraku, saya memilihnya sebagai moto perayaan Ekaristiku. Saya sendiri merasa bahwa kasih Tuhan itu sungguh luar biasa bagi orang-orang yang berharap kepada-Nya. St. Paulus pernah mengatakan bahwa jika Allah berada di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Kita tidak perlu takut terhadap suatu apapun karena kita adalah lebih dari pemenang dan bahwa tidak ada suatu apapun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus (Rm 8: 31.36-39).

Hari ini kita mendengar kelanjutan wejangan St. Paulus kepada jemaat di Efesus. Kali ini ia menghimbau jemaat untuk berani melawan kuasa kegelapan atau kuasa iblis di dunia dengan mengandalkan kuasa Tuhan sendiri. Mula-mula Paulus mengingatkan jemaat untuk tetap kuat dalam Tuhan yakni dalam kekuatan kuasa-Nya (Ef 6:10). Untuk itu Paulus memperluas wawasan mereka tentang kuasa Tuhan. Ia berkata: “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah supaya dapat bertahan terhadap tipu muslihat iblis” (Ef 6:11). Allah adalah senjata, kekuatan, perisai bagi kita untuk melawan kuasa kegelapan atau kuasa iblis di dunia ini. Jemaat berjaga-jaga dengan berbagai kebajikan yang mereka miliki. Misalnya berdiri tegap berikat pinggangkan kebenaran, berbajuziarahkan keadilan, kaki berkasut kerelaan untuk mewartakan Injil damai sejahtera. Mereka perlu memiliki perisai iman untuk bertahan terhadap serangan iblis. Mereka memiliki ketopong keselamatan dan pedang Roh yaitu Sabda Tuhan. Semua kebajikan ini bertujuan untuk melindungi jemaat dari serangan iblis.

Paulus menambahkan satu resep lain yakni doa dan permohonan. Doa dan permohonan dapat mengubah segala sesuatu dalam hidup manusia. Ia meminta supaya jemaat berdoa senantiasa dalam Roh dan selalu berjaga-jaga. Ia yakin bahwa hanya Tuhan adalah pelindungnya. Tuhan adalah gunung batu! Dialah tempat untuk berlindung, kubu pertahanan, kota benteng dan penyelamat serta perisai bagi semua orang yang berharap kepada-Nya (Mzm 144: 2).

Dalam bacaan Injil, kita mendengar bagaimana orang-orang Farisi meminta Yesus untuk meninggalkan tempat di mana Ia mengajar karena Herodes berencana untuk membunuh-Nya. Yesus tidak merasa takut kepada Herodes. Yesus bahkan menyebutNya sebagai serigala buas. Yesus memiliki alasan penting yakni sudah sedang mengusir setan, dan menyembuhkan banyak orang, dan akan selesai semuanya pada hari ketiga. Yesus menyadari bahwa kematian-Nya semakin dekat. Ia akan mengalaminya di Yerusalem. Sayang sekali karena Yerusalem tidak membuka dirinya untuk memperoleh penebusan yang berlimpah. Mereka bahkan membunuh nabi-nabi dan merajam orang-orang yang merupakan utusan Allah.

Injil juga menunjukkan sisi kemanusiaan Yesus. Ia menangisi kota Yerusalem karena mereka keras hati dan tegar tengkuk. Ia berkata: “Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anak di bawah sayapnya.” Dampaknya adalah rumah hunian akan ditinggalkan dan menjadi sunyi. Para murid-Nya tidak akan melihat Yesus lagi, mereka hanya akan berkata: “Terberkatilah yang datang dalam nama Tuhan” (Luk 13:35).

Pertanyaan bagi kita adalah apakah kita sebagai orang yang dibaptis mampu berjaga-jaga dan berdoa manakala kita mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dalam hidup? Atau kita justru menjual iman kita untuk sebuah tujuan yang tidak jelas. Apakah kita berjuang untuk mempertahankan iman kita sampai tuntas atau hanya tinggal dalam kebanggaan sebagai orang yang sudah dibaptis saja? Mari kita tetap mengandalkan Tuhan di dalam hidup kita masing-masing. Hanya pada kuat kuasa-Nya kita memperoleh keselamatan.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply