Homili 21 Januari 2017

Hari Sabtu, Pekan Biasa II
Ibr 9:2-3.11-14
Mzm 47: 2-3.6-7.8-9
Mrk 3:20-21

Semangat rela berkorban itu penting dan harus!

Saya mengingat sebuah pelajaran di masa sekolah tempo doeloe namanya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Mata pelajaran ini muncul dan akhirnya hilang tanpa berita. Tetapi hal yang masih dapat dikenang adalah nilai-nilai luhur yang selalu dikomentari para guru, salah satunya adalah semangat rela berkorban. Guruku di sekolah selalu menghubungkan semangat rela berkorban ini dengan nilai-nilai Kristiani. Baginya, untuk memahami semangat rela berkorban maka setiap hari harus berani memandang Yesus. Dari cara memandang-Nya, kita dapat mengerti makna terdalam dari semangat rela berkorban. Tentu saja ketika kami diarahkan kepada Tuhan Yesus maka meskipun tidak menyukai pelajaran PSPB yang banyak hafalannya namun harus berani mengasihinya karena selalu berkaitan dengan nilai-nilai Kristiani yang universal.

Semangat rela berkorban itu memang penting dan harus sepanjang hidup kita. Tanpa ada semangat rela berkorban ini maka hidup kita juga tidak bermakna. Mari kita kembali ke rumah kita masing-masing. Kita memandang orang tua yang memiliki semangat rela berkorban bagi hidup anak-anak. Dalam situasi apapun orang tua selalu siap berkurban demi anak-anak atau demi keluarga. Di sekolah, kita memadang dan mengagumi para guru, selaku pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka berkorban, meninggalkan keluarga demi anak-anak didiknya. Para pekerja, pembantu rumah tangga juga memiliki semangat rela berkorban. Andaikan mereka hanya mencari uang saja maka keluarga-keluarga atau institusi tertentu mengalami kesulitan, terutama dalam hal pekerjaan-pekerjaan manual. Maka semangat rela berkorban itu penting dan harus dialami oleh kita semua.

Pada hari ini kita mengenang St. Agnes. Orang kudus ini dilahirkan di Roma pada tahun 291. Dia adalah seorang gadis yang cantik dan simpatik. Ia memiliki sebuah pilihan hidup yang berjanji untuk hidup murni demi kasih abadinya bagi Tuhan Yesus Kristus. Sebab itu banyak pemuda yang kecewa dan melaporkan Agnes kepada pengadilan Romawi bahwa ia mengikuti Yesus Kristus. Ia pun dihadapkan kepada pengadilan, ditakuti-takuti namun Agnes tidak gentar. Ia diancam hukuman mati, memempersembahkan sesajian kepada para berhala namun Ia tetap tidak mengikutinya. Pada akhirnya Agnes dibunuh dengan kejam dengan pedang yang tajam pada tahun 304. Jenazahnya kemudian dikuburkan di jalan Nomentana. Agnes dilukis sebagai seorang gadis belia yang cantik sambil memeluk anak domba sebagai lambang kemurnian dan memegang daun palem sebagai lambang keberanian.

St. Agnes menjadi martir saat usianya masih muda belia. Mengapa ia memilih hidup sebagai martir? Ia sangat mengasihi Yesus maka ia pun berjanji untuk hidup murni di hadirat Tuhan. Hidup murni atau hidup sebagai seorang perawan di hadirat Yesus adalah sebuah nilai luhur dalam hidup kita. Hal ini merupakan sebuah pengurbanan diri yang diarahkan bagi Yesus Kristus. Semangat rela berkorban karena kasih yang total kepada Tuhan Yesus Kristus. Semangat rela berkorban ini harus dimiliki oleh kita semua kepada Tuhan dan sesama.

Penulis surat kepada umat Ibrani menampilkan Yesus sebagai Imam Agung kita yang rela berkorban bagi umat manusia. Di dalam kemah suci Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai imam Agung. Ia datang sebagai Imam Agung demi kesejahteraan masa yang akan datang. Ia tidak mempersembahkan kurban bakaran berupa darah anak domba jantan dan darah anak lembu tetapi dengan membawa darah-Nya sendiri. Pengurbanan diri Yesus ini melunasi segala sesuatu yaitu utang dosa manusia. Darah Yesus itu tanpa cacat dan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia. Dengan demikian dapat mengabdi kepada Allah yang hidup.

Di sini kita memandang Yesus yang datang ke dunia untuk menebus dosa-dosa kita. Dialah Imam Agung kita yang mempersembahkan diri-Nya satu kali untuk selama-lamanya. Dialah yang menumpahkan darah-Nya di kayu salib untuk keselamatan kita semua. Darah Yesus yang mulia menyelamatkan kita. Darah Yesus adalah tanda pengurbanan-Nya bagi kita. Maka dari Yesus, kita mengagumi sekaligus belajar semangat rela berkorban. Ia memberi diri-Nya tanpa membuat perhitungan apapun bagi kita.

Pengorbanan diri dirasakan oleh orang-orang sakit yang mengalami penyembuhan, orang-orang yang kerasukan setan dan telah mengalami kebaikan Tuhan. Tuhan Yesus menghadirkan Kerajaan Allah dengan mewartakan Injil melalui pengajaran-pengajaran-Nya dan sangat menakjubkan banyak orang. Tindakan penyembuhan dilakukan-Nya dengan sempurna. Namun sayang sekali karena orang salah kapra. Yesus sangat sibuk melayani manusia sampai lupa makan dan minun juga istirahat. Sebab itu mereja menganggap Yesus sudah tidak waras lagi.

Yesus boleh berkorban tetapi pengorbanan-Nya tidak dianggap apa-apa. Ia bahkan dihina sebagai orang yang tidak waras lagi. Banyak kali kita pun tidak menghargai sesama yang rela berkorban. Kita menertawakan pengurbanan orang lain. Kita bahkan menganggap mereka sebagai pribadi yang tidak waras seperti Yesus. Pada hari ini baiklah kita membenahi diri kita. Jangan pernah menganggap rendah sesama, tetapi berusaha untuk menghargai pengurbanan diri mereka.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply