Homili 31 Maret 2017

Hari Jumat, Pekan Prapaskah ke-IV
Keb 2:1a.12-22
Mzm 34:17-18.19-20.21.23
Yoh 7:1-2.10.25-30

Berusaha menjadi orang terbaik

Ada seorang pemuda yang meminta waktu untuk berbicara dengan saya. Ia mengaku pernah berusaha untuk menjadi orang terbaik. Apa yang dilakukannya saat itu? Ia berusaha untuk membenahi dirinya, membangun komitmen untuk dekat dengan Tuhan dalam doa, tekun berdevosi kepada orang kudus, aktif mengikuti misa kudus dan mengakui dosa-dosanya. Dari situ ia mengalami sebuah proses perubahan hidup yang luar biasa. Namun ia sempat mengalami banyak kesulitan dalam membangun relasi dengan sesamanya. Mereka menilainya sebagai orang bermasalah sebab ia rajin ke gereja untuk mengikuti misa dan mengaku dosa. Ada yang menganggapnya sebagai orang stress. Ia menderita kekerasan verbal dari sesamanya. Ia pernah berpikir untuk kembali menjadi orang jahat, namun suara hatinya mengatakan kepadanya untuk tetap berbuat baik kepada mereka yang berbuat jahat kepadanya. Ia menyadari bahwa ternyata untuk menjadi orang terbaik itu tidak mudah. Ada banyak kesulitannya, namun kalau kita setia menjalaninya maka ada kekuatan untuk mengubah hidup kita dan orang lain. Tuhanlah kekuatan yang tersembunyi dalam diri kita.

Pengalaman pemuda ini luar biasa. Saya senang mendengar sharing sederhana ini. Hal terpenting di sini adalah ia sebagai seorang pemuda, pernah berusaha untuk menjadi orang terbaik. Ini memang sebuah idealisme pemuda yang patut kita banggakan. Kiranya banyak pemuda yang belajar untuk menjadi orang terbaik di dalam masyarakat kita. Meskipun menjadi orang terbaik itu banyak dukanya. Penderitaan selalu bersahabat dengan mereka. Kekerasan fisik dan verbal menempel dalam diri mereka. Pengalaman keras seperti ini justru mematangkan hidupnya dan dapat mengubah hidup orang lain menjadi lebih baik lagi.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini membuka wawasan kita untuk belajar menjadi orang baik dan tabah dalam segala bentuk penderitaan. Dalam bacaan pertama kita mendengar bagaimana terjadi persekongkolan di antara orang fasik untuk melenyapkan orang baik. Mereka berkata: “Marilah kita menghadang orang yang baik, sebab bagi kita ia menjadi gangguan serta menentang pekerjaan kita.” Perkataan ini sangat jelas menunjukkan bagaimana orang-orang fasik bersekongkol untuk melenyapkan orang-orang baik. Orang-orang baik menebarkan ancaman bagi kefasikan mereka. Kehadiran orang-orang baik merupakan gangguan bagi orang fasik. Mereka merasa tidak bebas, berada di bawah tekanan kalau mereka berdampingan dengan orang-orang baik.

Mengapa orang-orang baik menjadi sasaran dan ancaman bagi orang-orang fasik? Orang-orang fasik itu merasa bahwa mereka sering mengalami tuduhan melanggar hukum, mereka sering dipersalahkan karena dosa-dosa terhadap pendidikan mereka. Di pihak orang benar, ia sering mengaggap diri sebagai anak Tuhan. Hidupnya sebagai orang baik dan benar sangat berlainan dengan kehidupan orang fasik. Tingkah laku dan cara pandangnya sangat berbeda dengan orang-orang fasik. Sebab itu, orang fasik merasa bahwa hidup orang baik selalu bertentangan dengan mereka. Kebaikan selalu bertentangan dengan kejahatan. Kehadiran Tuhan dalam diri kita justru akan mengalahkan segala bentuk kejahatan.

Selanjutnya orang-orang fasik semakin geram sehingga secara terang-terangan mereka menghina orang baik dan mengancamnya. Mereka berpikir bahwa jika orang benar ini Anak Allah maka Allah sendiri akan menolongnya. Mereka coba untuk menganiaya dan menyiksanya untuk mengetahui kelembutan dan kesabarannya. Hukuman mati dijatuhkan baginya meskipun ia tidak bersalah. Orang-orang fasik selalu berangan-anagan untuk membuat kefasikan karena hidup mereka telah dibutakan oleh kefasikan mereka.

Kefasikan ada di mana-mana. Mungkin anda dan saya juga termasuk orang fasik yang tertawa di atas penderitaan orang benar yang adalah sesama kita. Mari kita berubah!

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply