Homili 30 Juni 2017

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XII
Kej 17: 1.9-10.15-22
Mzm 128:1-2.3.4-5
Mat 8:1-4

Hidup tanpa cela di hadapan Tuhan

Banyak di antara kita mengenal Santo Dominikus Savio. Ia memulai petualangan dalam jalan kekudusan bersama sang gurunya Santo Yohanes Bosco di oratorium. Pada suatu kesempatan Dominikus Savio meminta waktunya Don Bosco untuk berbicara sebentar. Dominikus Savio melihat dirinya secara menyeluruh, lalu mengangkat kepalanya dan berkata kepada Don Bosco bahwa dirinya itu laksana sehelai kain. Untuk itu dengan rendah hati ia menyerahkan diri kepada Don Bosco dan memintanya untuk menjadi penjahitnya. Ia membiarkan Don Bosco untuk mendesain dan menjahit sebuah gaun yang indah bagi Tuhan. Sejak saat itu ia membuka dirinya, melakukan semua tugas kewajibannya yang sederhana menjadi luar biasa. Di kemudian hari kedua orang ini benar-benar menjadi kudus. Don Bosco sebagai penjahit gaun yang indah untuk Tuhan menjadi kudus, demikian pula Dominikus Savio. St. Yohanes Bosco membantu Dominikus untuk memiliki hati yang murni, tanpa cela di hadirat Tuhan. Don Bosco sendiri tidak mengajar tentang kemurnian tetapi menunjukkan hidupnya yang suci dan murni, tanpa cela bagi Dominikus dan kaum muda yang lainnya.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan hidup Abram di hadirat Tuhan Allah. Ia adalah sahabat Allah (Yak 2:23) dan kekasih hati Allah sendiri (Yes 41:8). Relasi persahabatan mereka tetap berlanjut seiring dengan usia Abram. Pada saat Abram berusia sembilan puluh sembilan tahun, Tuhan menampakkan diri kepadanya. Tuhan berkata kepada Abraham: “Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah dihadapan-Ku dengan tidak bercela! Dari pihakmu engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun temurun. Inilah perjanjian-Ku, yang harus kaupegang, perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antaramu harus disunat” (Kej 17:1.9-10).

Tuhan menunjukkan diri-Nya sebagai satu-satunya Tuhan Allah Yang Mahakuasa. Sebab itu Abraham menjawabinya dengan menunjukkan iman-Nya kepada Tuhan Allah. Ketaatan iman yang membawanya kepada kekudusan atau hidup tanpa cacat dan cela di hadapan Tuhan. Tuhan melihat iman Abraham sehingga sekali lagi mengikat perjanjian dengan-Nya. Isi perjanjian di antara Tuhan dan Abraham adalah tentang sunat. Sunat adalah sebuah tanda rohani artinya sunat ini menandakan gerakan yang penuh kasih karunia dari Allah menuju kepada manusia dan manusia menjawabnya dengan menyerahkan diri kepada Allah. Abraham mengalami proses ini sehingga Tuhan mengatakan kepadanya untuk hidup tanpa cela (tamim) di hadapan Allah.

Tuhan juga mengingatkan Abraham bahwa istrinya Sarai akan berubah nama menjadi Sara. Mengapa? Sebab Tuhan akan memberkatinya dan menganugerahkan seorang anak laki-laki, dan akan memberkatinya sebagai sebuah bangsa yang besar. Abraham merasa bahwa kata-kata Tuhan ini hanya lelucon saja karen usianya sudah senja yakni sekitar seratus tahun, sedangkan Sara usianya sembilan puluh tahun. Tuhan mengatakan bahwa Sara akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ishak. Tuhan sendiri akan mengikat perjanjian dengannya dan ia akan menjadi bangsa yang besar. Perjanjian Allah dengan Ishak adalah perjanjian kekal. Bagaimana dengan Ismail anak Hagar? Tuhan juga memberkati dan memberikannya keturunan yang berlimpah. Berkat-berkat buat Ismael adalah memiliki anak cucu yang sangat banyak, memperanakkan duabelas raja, menjadi bangsa yang besar. Bedanya adalah perjanjian hanya diikat oleh Tuhan dengan Ishak yang dilahirkan oleh Sara.

Pada hari ini kita boleh memadang Allah Yang Mahakuasa, yang kita imani sebagai Allah yang benar dan hidup. Ia mengikat perjanjian dan menganugerakan kasih setia-Nya kepada Abraham, Ishak dan keturunannya. Tuhan menghendaki agar kita juga terikat pada perjanjian dengan-Nya untuk hidup kudus tanpa cacat di hadirat-Nya. Pemazmur benar ketika mengatakan: “Orang yang takwa hidupnya akan diberkati Tuhan”. (Mzm 128:4). Abraham takwa kepada Tuhan maka ia mendapat berkat berlimpah dari Tuhan.

Dalam bacaan Injil kita mendengar kisah Yesus turun dari bukit setelah mengajar Sabda Bahagia kepada para murid-Nya. Fokus Sabda Bahagia adalah supaya para murid menjadi sempurnya seperti Bapa di surga sempurna adanya. Ini adalah sebuah cita-cita dan harapan dari setiap orang. Orang pertama yang dijumpai Yesus saat itu adalah seorang kusta. Ia datang kepada Yesus, menyembah-Nya dan berkata: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan daku”. (Mat 8:2) Tentu saja Tuhan Yesus memandang orang kusta ini dan melihat keluhuran imannya. Yesus pun mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu sambil berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir!” (Mat 8:3). Orang kusta itu pun sembuh.

Orang-orang Yahudi senantiasa memandang orang kusta sebagai orang yang najis. Mereka tidak memiliki hal untuk bersatu dengan orang-orang sehat. Apabila bergabung dengan mereka maka mereka dapat terkontaminasi menjadi najis. Sebab itu mereka harus berpakaian compang-camping, rambut tidak terurus dan kalau berjalan di jalan raya harus berteriak sebagai orang kusta sehingga orang bersih dapat menyembunyikan dirinya. Yesus menghancurkan tradisi yang tidak manusiawi ini. Ia berani mengulurkan tangan, menjamah dan menyembuhkan si kusta. Si kusta yang najis mengalami kesembuhan seketika. Ia menjadi tidak bercela, bersih di hadirat Tuhan Yesus.

Mari kita memiliki kerendahan hati dan keberanian untuk datang kepada Yesus dan meminta supaya Ia dapat menyembuhkan kita. Semoga kita masih memiliki iman yang kuat dan membuka diri kita supaya Ia juga dapat menyembuhkan kita dari segala penyakit dan kelemahan kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply