Homili 20 November 2017

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXXIII
1Mak. 1:10-15,41-43,54-57,62-64
Mzm. 119:53,61,134,150,155,158
Luk. 18:35-43

Sebab iman membuka mataku

Saya pernah diundang untuk merayakan misa bersama sekelompok orang buta di sebuah panti. Perayaan misa berlangsung dengan meriah. Mereka saling membagi tugas sesuai bakat dan kemampuannya masing-masing. Ada yang bertugas untuk mengurus music, koor, bacaan-bacaan liturgi dan sambutan-sambutan. Perasaan saya saat itu adalah merasa heran, bangga dan bersyukur atas pengalaman berekaristi bersama mereka. Saya merasa heran sebab secara manusiawi mereka memang tidak mampu melihat seperti biasa, namun Tuhan sudah melengkapi mereka dengan keempat indera yang lain, yang melebihi kita yang melihat dengan mata yang normal. Dengan mengandalkan indera peraba, mereka dapat membaca teks lagu dan bacaan liturgi. Pemain musiknya pun mengandalkan indera peraba dan pendengaran. Saya merasa bangga sebab Tuhan itu baik bagi semua orang. Ia menciptakan semua orang sesuai dengan wajah dan rupa-Nya sendiri, sebab itu Ia menyempurnakan ciptaan-Nya. Saya bersyukur karena Tuhan menciptakan aku sempurna adanya untuk memperhatikan mereka dengan merayakan Ekaristi bersama.

Saya pernah menyaksikan orang-orang tertentu yang menertawakan dan melecehkan secara fisik dan verbal orang-orang buta di jalanan. Saya hanya berpikir, sekiranya mereka juga adalah orang buta, memakai kacamata hitam dan memegang tongkat, bagaimana perasaan mereka. Apakah mereka dapat menerima dirinya? Apakah mereka masih bisa saling melecehkan satu sama lain? Mungkin kita sendiri juga pernah berperilaku demikian, dengan meremehkan orang-orang cacat, merasa bahwa fisik kita normal dan mereka tidak normal. Dan masih banyak anggapan-anggapan lainnya, padahal fisik kita sendiri ada kekurangan tertentu. Mungkin kita tidak menyadarinya karena kita lebih memperhatikan cacat fisik sesama dari pada cacat fisik kita sendiri.

Pada hari ini kita membaca kisah Injil yang inspiratif. Tuhan Yesus dan para murid-Nya sedang dalam perjalanan menuju ke kota Yerusalem. Mereka melewati kota Yerikho. Kota Yerikho sendiri merupakan sebuah kota tertua di dunia. Kota ini menjadi sebuah pusat perniagaan bagi orang-orang Yahudi yang hendak berziarah ke Yerusalem atau berangkat ke Eropa melalui laut tengah. Dari Yerikho mereka masih harus menempuh sekitar 25km, mendaki ke atas bukit.

Dikisahkan bahwa di Yerikho ada seorang buta, tanpa nama, sedang duduk dan mengemis. Ya, orang buta saat itu tidak dihargai maka mereka disamakan dengan para pengemis. Ia tidak melihat tetapi masih dapat mendengar banyak orang yang lewat di depannya. Tentu saja, ia mendengar dan berhasrat untuk melihat tetapi ia tidak bisa melihat saat itu. Apa yang dilakukan orang buta tanpa nama ini? Ia ingin tahu alasan mengapa ada banyak orang yang lewat di depannya. Ia pun bertanya kepada orang-orang di situ dan mereka mengatakan bahwa Yesus dari Nazaret sedang lewat. Ternyata orang buta ini sudah mendengar dan mengenal Yesus meskipun matanya buta. Bahkan pengenalannya cukup mendalam. Inilah anugerah cuma-cuma dari Tuhan yang disebut iman. Ia mengenal Yesus sebagai Anak Daud. Ini adalah pengenalan dasar sebagai seorang Yahudi. Ia pun berteriak dengan suara nyaring sambil menyapa Yesus, meskipun orang-orang melarang dan menghalanginya. Iman yang kuat akan merobohkan berbagai halangan untuk berjumpa dengan Tuhan.

Tuhan Yesus mendengar sapaan orang buta tak berdaya ini. Sapaan Yesus sebagai Anak Daud adalah sebuah doa singkat orang beriman. Maka Tuhan Yesus berhenti, merobohkan penghalang, memanggilnya dan menanyakan keinginannya. Orang buta yang mendengar sapaan Tuhan Yesus mengalami transformasi yang luar biasa. Ia bukan hanya mengenal Yesus sebagai Anak Daud, tetapi mengenal Yesus lebih mendalam lagi sebagai Tuhan. Ia memohon: “Tuhan semoga aku melihat!” Tuhan Yesus memandangnya dengan penuh kasih dan berkata: “Melihatlah, imanmu telah menyelamatkan dikau”. Orang buta tanpa nama ini sembuh dari kebutaannya, dan dengan sukacita ia mengikuti Yesus ke Yerusalem. Kita dapat membayangkan bahwa dia adalah salah seorang yang ikut menyaksikan penderitaan Yesus di Yerusalem. Banyak orang ikut memuji Allah karena mukjizat ini.

Kisah injil ini saya katakan sangat inspiratif sebab berbicara tentang hidup kita setiap hari. Pertama, orang buta adalah kita yang sudah menerima sakramen pembaptisan tetapi lalai dalam mengenal Yesus secara pribadi. Pengenalan kita masih sangat manusiawi yakni Yesus sebagai Anak Daud, mirip si buta ini. Namun Tuhan Yesuslah yang selalu melakukan pendekatan pertama. Ia melewati lorong-lorong kehidupan kita dan menyapa dengan penuh kasih. Ia juga yang mengubah hidup kita menjadi lebih baik lagi dan menjadi kudus. Dialah yang mengajarkan kita untuk menyapa-Nya sebagai Tuhan. Kedua, kita belajar untuk menyerupai Tuhan Yesus. Ia mencari dan menyelamatkan orang-orang berdosa. Ia sahabat orang-orang buta dan buah persahabatan mereka adalah membuka mata mereka untuk melihat-Nya. Tuhan Yesus juga merobohkan penghalang-penghalang bagi orang yang merindukan keselamatan. Ketiga, kita perlu ikut bersyukur karena kasih dan kebaikan Tuhan bagi sesama kita. Seluruh rakyat bersyukur karena satu orang buta dan miskin yang mereka kenal bisa melihat kembali. Apakah kita juga bersyukur karena orang lain berhasil dalam hidupnya? Hanya orang buta iman saja yang tidak mau bersyukur karena sesamanya berhasil.

Hidup Kristiani akan semakin bermakna ketika kita berusaha untuk selalu mencari Tuhan dan bersama dengan-Nya. Kita mencari Tuhan melalui doa-doa kita kepada-Nya. Kita mengucapkan rasa syukur kepada-Nya karena kasih dan kebaikan. Banyak kali kita buta iman bukan buta mata, sangat sulit untuk membuka mata iman supaya mengenal Tuhan dan kasih-Nya. Kita berpikir bahwa kita sendirilah yang dapat mengubah dunia. Padahal kita tidak lebih dari seorang buta dan miskin di hadapan-Nya. Tuhan kasihanilah kami yang buta iman ini.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply