Homili 23 November 2017

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXXIII
1Mak. 2:15-29
Mzm. 50:1-2,5-6,14-15
Luk. 19:41-44

Beriman dengan setia

Ada seorang tokoh umat yang dikenal sebagai pribadi yang lurus dalam hidup beriman di stasinya. Ia selalu menginspirasikan umat di stasinya untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di Gereja, bukan dengan perkataan melainkan dengan perbuatan nyata. Setiap kali ada kegiatan apa pun di Gereja, ia pasti hadir sebagai satu keluarga yang lengkap: anak, ibu dan bapak keluarga. Keteladanan seperti ini memang nyata sehingga semua umat pun merasa segan dan malu kalau tidak ikut terlibat dalam berbagai kegiatan di Gereja. Pada suatu kesempatan mereka melakukan suatu kegiatan di Gereja. Banyak umat yang protes dan tidak mau mengikuti kegiatan itu karena merasa tidak didukung oleh pastor parokinya. Mendengar semua protes dari kalangan umat ini maka tokoh umat itu berkata dengan suara lantang: “Kalau saja semua umat di stasi ini tidak melakukan kegiatan di Gereja ini, namu saya dan keluarga tetap akan melakukan kegiatan ini untuk kemajuan stasi kita”. Perkataannya ini merupakan ungkapan komitmennya kepada Gereja. Saya sendiri selalu merasa terinspirasi oleh keluarga ini.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah dalam bacaan pertama. Pada masa pemerintahan Raja Antiokhus Epifanes, orang-orang Yahudi mendapat paksaan untuk meninggalkan ketetapan dan peraturan-peraturan hukum Taurat dan mengikuti peraturan raja yang kafir, dalam hal ini mereka diajak untuk menyembah berhala. Sebagai hadianya, mereka akan mendapat penghormatan dan juga barang-barang seperti perak dan emas juga aneka hadia lainnya termasuk menjadi sahabat raja. Banyak orang tergiur oleh harta duniawi dan janji-janji lainnya. Matatias adalah seorang pemimpin terhormat, hadir bersama seluruh keluarganya.

Matatias mendengar dan menanggapi undangan untuk menyembah berhala ini dengan berkata: “Kalaupun segala bangsa di lingkungan wilayah raja mematuhi seri baginda dan masing-masing murtad dari ibadah nenek moyangnya serta menyesuaikan diri dengan perintah-perintah seri baginda, namun aku serta anak-anak dan kaum kerabatku terus hendak hidup menurut perjanjian nenek moyang kami. Semoga Tuhan mencegah bahwa kami meninggalkan hukum Taurat serta peraturan-peraturan Tuhan. Titah raja itu tidak dapat kami taati dan kami tidak dapat menyimpang dari ibadah kami baik ke kanan maupun ke kiri!” (1Mak 2:19-22). Perkataan Matatias ini merungkapan ungkapan hati orang yang lurus di hadapan Tuhan. Ia tidak mudah tergiur untuk murtad gara-gara harta, hormat dan kuasa. Pribadi seperti Matatias ini adalah pribadi yang limited edition.

Mengapa saya katakan pribadi yang limited edition? Sebab Matatias berani melawan arus. Dia seluruh keluarga dan kerabatnya tidak mempermainkan imannya di hadapan Tuhan. Ia tidak mau mencari sensasi dengan murtad gara-gara harta, kuasa dan hormat yang sangat duniawi. Hidup Matatias adalah hidup orang jujur di hadirat Tuhan. Matatias adalah gambaran “Orang yang jujur jalannya, akan menyaksikan keselamatan yang dari Allah”. Dia bersama seluruh kerabatnya menyaksikan keselamatan dari Allah. Matatias dan keluarganya tidak bertegar hati tetapi setia mendengar suara Tuhan.

Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus menangisi kota Yerusalem. Yerusalem adalah kota damai tetapi ia tidak membuka hatinya untuk mendapatkan damai yang datang dari Tuhan melalui sang pangeran perdamaian yaitu Yesus Kristus. Ia duduk dan menangis sambil berkata: “Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matamu. Sebab akan datang harinya, bahwa musuhmu akan mengelilingi engkau dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan, dan mereka akan membinasakan engkau beserta dengan pendudukmu dan pada tembokmu mereka tidak akan membiarkan satu batupun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau.” (Luk 19: 42-44).

Tuhan Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Ia sungguh-sungguh Allah sebab mengetahui hati banyak orang di Yerusalem yang tegar, tidak terbuka, tidak mendengar suara Tuhan. Mereka tidak memiliki damai dalam hidup mereka. Semua yang baik dan berkenan pada Allah tersembunyi di mata mereka. Sebab itu kehancuran adalah jaminannya. Kota Yerusalem akhirnya hancur di kemudian hari yakni pada tahun 70M.

Apa yang hendak Tuhan katakana kepada kita? Kita harus mawas diri untuk selalu berpegang teguh kepada Tuhan. Kita harus siap untuk menjawabi pertanyaan ini: “Emang kamu beriman?” Tuhan menganugerahkan iman secara gratis supaya kita mengimani-Nya sampai selama-lamanya. Artinya harta kuasa dan hormat bukanlah jaminan keselamatan tetapi Tuhan sendiri. Kita perlu mawas diri sehingga memperjuangkan damai sejahtera dalam hidup kita. Kehancuran hidup bisa saja terjadi karena kita lebih terlena dalam hal-hal duniawi dari pada dalam hal-hak surgawi. Berimanlah dengan setia!

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply