Homili 16 Januari 2018

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-II
1Sam. 16:1-13
Mzm. 89:20,21-22,27-28
Mrk. 2:23-28

Engkau begitu berharga di mata Tuhan

Ada seorang pemuda pernah membagi pengalaman masa lalunya dalam sebuah acara pendalaman iman. Ia mengaku pernah memiliki kebiasaan untuk bepikir negatif terhadap Tuhan dan sesama. Ia kesulitan untuk memngahargai hidup sesama di sekitarnya. Pada suatu kesempatan ia mengunjungi sebuah toko buku untuk membeli buku-buku tertentu. Ia melihat sebuah buku yang berjudul: “Engkau begitu berharga di mata Tuhan”. Ia membuka sepintas halaman demi halaman dari buku itu, dan ia percaya bahwa Tuhan sedang bekerja di dalam hidupnya. Ia membeli buku itu, membacanya dan mengalami sebuah transfiormasi yang luar biasa. Kata-kata “Engkau bergitu berharga di mata Tuhan” telah mengubah seluruh hidupnya. Ia sadar diri untuk menghargai sesama di sekitarnya.

Pengalaman akan Allah selalu ditandai oleh usaha pribadi untuk bertobat hari demi hari di hadirat Tuhan. Proses pertobatan menjadi sebuah kesempatan untuk sadar diri bahwa kita memang begitu berharga di mata Tuhan. Raja Daud pernah berdoa begini: “Peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu” (Mzm 17:8). Kita percaya bahwa Tuhan memperhatikan kita laksana biji mata-Nya sendiri dan memelihara kita dalam naungan-Nya. Apabila kita percaya pada perkataan Tuhan ini maka dengan sendirinya kita akan menghargai diri kita sendiri dan menghargai sesama manusia seperti biji mata kita sendiri.

Pada hari ini kita mendengar kisah panggilan hidup raja Daud. Ketika itu Tuhan mengutus Samuel untuk pergi ke Rumah Isai orang Bethlehem dan memilih salah seorang puteranya untuk menggantikan Saul sebagai raja Israel. Di antara anak-anak Isai seperti Eliab, Aminadab, Syama dan keempat anak lainnya, semuanya lewat di depan Samuel tetapi Tuhan tidak memilih mereka. Samuel memang sempat tergoda dengan penampilan anak-anak Isai yang bertubuh kekar dan berpikir bahwa di antara mereka bisa menjadi raja Israel. Namun Tuhan berkata: “Jangan terpancang pada paras atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah. Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Allah melihat hati” (1Sam 16:7). Ketujuh anak Isai memang lewat di depan Samuel tetapi Tuhan tidak memilih mereka. Samuel bertanya kepada Isai apakah masih ada anaknya yang lain. Isai mengatakan ada anaknya yang paling kecil namanya Daud. Ia sedang mengembalakan domba-domba. Ia meminta Isai untuk memanggilnya. Daud memiliki kekhasan: kulitnya kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok. Tuhan meminta Samuel untuk mengurapi Daud sebagai pilihan-Nya. Sejak saat itu Roh Kudus menyertai Daud.

Kisah panggilan Daud ini menunjukkan kepada kita betapa berharganya Daud di hadirat Tuhan. Ia adalah anak yang paling kecil, memiliki tubuh mungil dan bekerja sebagai gembala. Mungkin saja ia bukanlah anak andalan dalam keluarga Isai namun Tuhan memilih dia untuk menjadi raja Israel menggantikan Saul. Pilihan Tuhan jatuh pada orang yang dianggap lemah oleh manusia tetapi nantinya menjadi orang kuat di hadirat Tuhan sendiri dan umat pilihan-Nya. Tuhan sendiri berkata: “Telah Kutaruh mahkota di atas kepala seorang pahlawan, telah Kutinggikan seorang pilihan dari antara bangsa itu. Aku mendapatkan Daud hamba-Ku. Aku telah mengurapinya dengan minyak-Ku yang kudus, maka tangan-Ku tetap menyertai dia, bahkan tangan-Ku meneguhkan dia” (Mzm 89: 20-22).

Dengan merenungkan kisah panggilan dan pengudusan Daud sebagai raja pilihan Tuan ini, kita merenungkan kisah panggilan dan pilihan kekudusan kita di hadirat Tuhan yang mahakudus. Kita juga tidak berbeda dengan Daud. Mungkin saja kita dianggap tidak layak oleh sesama yang lain. Tetapi bahwa ukuran kelayakan itu seutuhnya milik Tuhan bukan milik kita sebagai manusia yang rapuh. Sebab itu kita bersyukur sebab kita begitu berharga di mata Tuhan. Kita bahkan menjadi biji mata Tuhan sendiri.

Dalam bacaan Injil kita berjumpa dengan sosok Yesus yang benar-benar menghargai nilai kehidupan para murid-Nya. Ketika mereka menyusuri ladang gandum pada hari Sabat, para murid kelaparan sehingga mereka memetik bulir-bulir gandum dan memakannya. Kaum Farisi mempersalahkan mereka sebab mereka tidak menghormati hari Sabat. Yesus dengan tegas mengambil contoh pengalaman Daud (1Sam 21:4-7) dan mengatakan: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. Jadi Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” (Mrk 2: 27-28).

Mari kita memandang Yesus dalam Injil. Ia berani melawan arus. Ia tidak takut terhadap siapapun. Ia menghargai para murid-Nya, menerima mereka apa adanya. Ketika mereka lapar, Ia memberi kesempatan kepada mereka untuk makan. Ia bukan seorang yang bersifat legalistis tetapi lebih mengutamakan belas kasih kepada manusia yang sangat membutuhkan. Yesus juga membuka wawasan kita bahwa manusia memang sungguh berharga di mata Tuhan. Dengan perkataan-Nya bahwa Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Hari Sabat, Tuhan Yesus telah menolong kita untuk berusaha menghargai nilai-nilai kehidupan manusia.

Pada hari ini Tuhan memanggil kita untuk dua hal berikut ini. Pertama, kita belajar untuk melihat jati diri, bagian terdalam dalam hidup manusia. Semakin kita mengenal jati diri sesama, semakin kita juga menghargai nilai kehidupannya. Kita boleh berkata: “Engkau saudara dan saudariku, begitu berharga di mata Tuhan”. Kedua, kita belajar untuk memiliki pikiran positif kepada sesama. Banyak kali mungkin kita masih berpikiran negatif, sekaran kita belajar untuk berpikir positif. Tuhan Yesus tidak berpikiran negatif kepada kaum Farisi, tetapi mengambil contoh energi positif dari Kitab Suci sendiri untuk menyadarkan mereka.

Apakah kita dapat menghargai nilai hidup sesama dan berpikiran positif terhadap sesama?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply