Homili 23 Januari 2018

Hari Selasa, Pekan Biasa III
2Sam. 6:12b-15,17-19
Mzm. 24:7,8,9,10
Mrk. 3:31-35

Emang Kamu Patuh?

Ada seorang anak yang mengaku selalu bangga dengan ayahnya. Baginya, ayah adalah segalanya. Dialah pahlawan, inspirator, orangnya sedikit berbicara dan banyak bekerja. Ia selalu menunjukkan teladan yang terbaik bagi anak-anaknya. Masih banyak kebajikan-kebajikan yang disampaikannya dalam sharing ini. Setelah selesai berbicara, ada seorang sahabat bertanya kepadanya: “Emang kamu patuh kepadanya?” Anak itu hanya terheran-heran dan membuka mulutnya. Ia mengingat kembali masa lalunya bahwa dia adalah anak yang paling nakal di sekolah sehingga banyak kali ayahnya harus berurusan dengan pihak yang berwajib di sekolah. Ia selalu berkelahi dengan adiknya sehingga banyak kali mendapat teguran keras dari sang ayah. Ia dengan jujur mengatakan: “Saya sering tidak patuh kepadanya. Tetapi dari seluruh hidupnya, saya berubah untuk menjadi lebih baik hingga saat ini. Dia tetaplah segalanya bagiku!”

Banyak kali orang mudah sekali membanggakan orang tua, pemimpin atau figur tertentu. Mungkin saja relasi keakraban yang membanggakan itu bukanlah seindah yang disampaikan saat ini. Pengalaman masa lalu juga selalu menjadi guru yang terbaik. Ada kesulitan dalam membangun relasi karena ketidakpatuhan tetapi selalu melewati proses transformasi yang luar biasa. Orang lalu menjadi patuh dan setia satu sama lain. Hubungan sebagai manusia ini menjadi gambaran bagi kita masing-masing tentang hubungan dengan Tuhan. Banyak orang kudus tidak memulai relasi dengan Tuhan sebagai orang kudus. Mereka juga memulai relasi dengan Tuhan dengan sikap tidak patuh karena lebih memilih dosa dan dunianya dari pada dengan Tuhan. Proses transformasi terjadi ketika orang mulai sadar diri bahwa ia membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. Kepatuhan pada kehendak Tuhan adalah penting dan harus.

Kita mendengar sebuah kisah Injil yang menarik perhatian kita. Yesus sudah tampil di hadapan umum untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Ia mengajar dengan kuasa dan wibawa. Semua orang terpesona kepada-Nya. Pada suatu hari Bunda Maria dan saudara-saudara Yesus mengunjungi-Nya. Saya sekali karena banyak orang yang mendengar pengajaran-Nya sehingga mereka tidak bisa mendekati-Nya. Ketika mendengar berita bahwa Ibu dan saudara-saudara-Nya hendak menemui-Nya maka Ia berkata: “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Mrk 3:33-35).

Tuhan Yesus mengubah cara berpikir orang-orang pada masa itu bahwa untuk memiliki relasi dengan-Nya tidaklah harus relasi se-darah. Relasi baru yang dibangun bersama-Nya adalah pada kepatuhan untuk melakukan kehendak Allah Bapa. Kehendak Allah adalah hal yang mutlak dan harus dilakukan oleh orang-orang beriman. Mengapa Yesus meminta kepatuhan pada kehendak Allah supaya bisa memiliki relasi dengan-Nya? Mari kita memandang Bunda Maria. Ia adalah hamba yang taat kepada kehendak Tuhan Allah. Ia taat untuk menjadi ibu bagi Yesus Kristus, Penebus kita. Mari kita memandang Yesus Kristus sendiri. Dia juga patuh pada kehendak Bapa di Surga. Ia tegas mengatakan: “Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu. Bunda Maria dan Yesus Kristus patuh pada kehendak Bapa maka kita pun hendaknya berjalan dalam jalan yang sama. Kita mematuhi kehendak Tuhan supaya layak menjadi anak-anak yang diselamatkan Yesus Kristus.

Persoalan bagi kita sebagai manusia adalah selalu mengingat masa lalu. Masa lalu yang mungkin masih penuh dengan kesombongan dan ketidakpatuhan terhadap kegend Tuhan. Pada hari ini kita berjanji untuk menjadi bagian dari Tuhan Yesus dengan mentaati kehendak Bapa di Surga. Mari kita berusaha untuk mendengar dengan baik dan mematuhi kehendak Tuhan dalam hidup kita setiap hari.

Pada hari ini kita juga belajar dari Raja Daud. Tugas sebagai Raja yang diembannya tidak mengurangi imannya kepada Tuhan. Pekerjaan pertama yang dilakukannya adalah mengangkut Tabut Allah dari rumah Obed-Edom ke kota Daud dengan sukacita. Tuhan menjadi nomor satu bukan kekuasaan. Itulah model kepatuhan Raja Daud yang dapat kita ikuti saat ini. Raja Daud menjadikan Yerusalem sebagai tempat pertemuan antara Allah dan manusia. Manusia sebagai ciptaan siap untuk patuh kepada kehendak Tuhan yang bersemayam di tengah-tengah mereka.

Pada hari ini kita belajar untuk taat kepada kehendak Allah, dengan mentaati orang tua, guru, pimpinan yang memberi komando tertentu kepada kita. Menjadi pribadi yang patuh itu luhur.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply