Homili 8 Februari 2018

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-V
1Raj. 11:4-13
Mzm. 106:3-4,35-36,37,40
Mrk. 7:24-30

Merawat Kesetiaan!

Pada pagi hari ini saya mengirim sebuah kutipan dari Seneca, seorang Filsuf, Negarawan dan Dramawan Romawi Kuno, sekitar abad ke-V kepada semua kerabat dan sahabat, bunyinya: “Kesetiaan adalah kekayaan termulia di dalam kalbu manusia”. Selanjutnya saya berdoa dan berharap bahwa kita semua belajar untuk merawat kesetiaan dalam hidup, bukan hanya sekedar berkata “cobalah untuk setia”. Kita merawat kesetiaan dalam menghayati komitmen hidup, kesetiaan kepada pasangan hidup, kesetiaan dalam melakukan tugas dan tanggung jawab di tempat kerja dan kesetiaan dalam iman kepada Tuhan. Kesetiaan itu mahal tetapi penting dan harus kita miliki dalam hidup setiap hari. Mari kita masuk ke dalam diri kita dan bertanya apakah saya setia dalam hidup saya? Apakah saya masih kuat untuk merawat kesetiaanku?

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini hendak menguatkan dan meneguhkan kita untuk selalu merawat kesetiaan. Dalam bacaan pertama dari Kitab Pertama Raja-raja, kita berjumpa dengan sosok Raja Salomo yang gagal merawat kesetiaannya kepada Tuhan. Kita semua mengingat Doa Salomo kepada Tuhan: “Berikanlah hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat” (1Raj 3:9). Tuhan sendiri menjawabi permohonan Salomo dengan mengatakan: “Oleh karena engkau telah meminta hal yang demikian dan tidak meminta umur panjang atau kekayaan atau nyawa musuhmu, melainkan pengertian untuk memutuskan hukum, maka sesungguhnya Aku melakukan sesuai dengan permintaanmu itu, sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian, sehingga sebelum engkau tidak ada seorangpun seperti engkau, dan sesudah engkau takkan bangkit seorangpun seperti engkau.” (1Raj 3:11-12). Kita melihat relasi Tuhan dan Salomo begitu akrab. Tuhan menunjukkan kesetiaan-Nya kepada Salomo dan Salomo sebagai manusia berjanji untuk merawat kesetiaannya kepada Tuhan.

Namun demikian, Salomo tetaplah seorang manusia yang rapuh di hadapan Tuhan. Ia merawat kesetiaannya kepada Tuhan pada masa mudanya. Semua orang kagum karena hikmat yang dimilikinya. Namun pada masa tuanya, kesetiaan Salomo kepada Tuhan tersobek bahkan hancur. Kesetiaan yang dirawatnya sejak masa muda tidak memiliki makna apa-apa. Mengapa pada masa tua Salomo merobek kesetiaanya di hadapan Tuhan?

Di dalam bacaan pertama dikatakan dengan jelas bahwa pada saat Salomo memasuki usia senja, para istrinya mencondongkan hatinya kepada dewa-dewa asing sehingga hati Salomo tidak terpaut lagi kepada Tuhan Allah. Salomo menjadi sangat berbeda dengan Daud ayahnya. Ia bahkan menyembah berhala mengikuti para dewa yang disembah istri-istrinya. Tuhan melihat bahwa Salomo tidak berhasil merawat kesetiaannya di usia senja maka murka-Nya pun turun kepada Salomo. Tuhan menegurnya dua kali namun Salomo tidak menghiraukan teguran Tuhan. Ia tetap mencondongkan hatinya kepada dewa dan dewi lain. Tuhan Allah menunjukkan murka-Nya dengan mengoyakkan Kerajaan Salomo. Tuhan akan memberikan kerjaan yang dipimpin Salomo kepada hambanya. Perkataan Tuhan ini terbukti. Setelah Salomo meninggal dunia, Tuhan membiarkan anak Salomo mengoyakkan Kerajaan. Kita akan mengenal kerajaan Israel di Samaria dan Kerajaan Yudea di Yerusalem.

Kita belajar dari kehidupan Salomo. Ia memang berusahan merawat kesetiaan sejak masa mudanya namun pada usia senja semuanya gagal total. Hikmat dan kebjiaksanaannya tidak bermakna apa-apa. Salomo adalah kita! Kita juga berjanji kepada Tuhan untuk merawat kesetiaan dalam komitmen, dalam pekerjaan, dengan pasangan hidup, dengan panggilan. Namun kesetiaan selalu gagal di tengah jalan karena kita lalai dan lupa mengandalkan Tuhan. Sekiranya hati kita tidak condong kepada dunia dan tawarannya mungkin kita akan tetap merawat kesetiaan kepada Tuhan. Kita harus berani memohon ampun dari Tuhan.

Dalam bacaan Injil, kita berjumpa dengan sosok seorang ibu di daerah Tirus. Ibu itu berkebangsaan Siro-Fenisia. Daerah ini memang berada di luar komunitas Yahudi, namun Ibu tanpa nama ini mewakili orang-orang asing, kafir yang sebenarnya sangat percaya pada Tuhan Yesus. Orang-orang seperti ini yang sangat merawat kesetiaannya kepada Tuhan. Bayangkan, ibu itu hanya mendengar bahwa Yesus lewat di daerahnya namun ia bergegas, berjumpa, menyembah dan berdoa seraya memohon supaya Tuhan Yesus mengusir setan yang merasuki anaknya.

Tuhan Yesus masih mengujinya, apakah ia benar-benar merawat kesetiaannya kepada Tuhan? Inilah perkataan Yesus: “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Mrk 7:27). Ibu itu merawat kesetiaanya dengan berkata: “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” (Mrk 7:28). Tuhan Yesus mengagumi iman ibu ini dan menyembuhkan anaknya yang kerasukan roh jahat.

Kisah injil ini mau mengatakan bahwa Tuhan Yesus datang untuk menyelamatkan semua orang. Artinya keselamatan yang diwartakan Yesus itu universal. Lalu bagaimana tanggapan manusia? Manusia dituntut untuk merawat kesetiaannya kepada Tuhan. Kunci untuk merawat kesetiaan kepada Tuhan adalah iman, harapan dan kasih sebagaimana ditunjukkan oleh seorang ibu dari Tirus.

Pada hari ini kita belajar untuk merawat kesetiaan kita. Jangan bosan merawat kesetiaanmu kepada Tuhan, kepada komitmen dan panggilanmu, kepada pasangan hidupmu, kepada pekerjaanmu. Jangan hanya mencoba untuk setia tetapi rawatilah kesetiaanmu sampai tuntas.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply