Food For Thought: Membangun Kultur Kehidupan

Tinggal di dalam kasih!

Kita sedang berada di dalam masa Novena Roh Kudus. Saya kembali membaca dan merenungkan pesan-pesan akhir Tuhan Yesus Kristus, versi Injil Yohanes. Saya menemukan sosok Yesus yang luar biasa. Anak Allah yang rela menjadi manusia dan mengasihi manusia yang berdosa sampai tuntas. Yesus Kristus memang beda! Dari semua perkataan yang diucapkan-Nya pada malam perjamuan terakhir, saya sangat tertarik, membaca berulang-ulang untuk mensyukuri dan siap melakukannya dalam hidupku. Salah satu ayat favorite yang selalu saya renungkan adalah perkataan ini: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikian juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.” (Yoh 15: 9).  

Apa yang masuk di dalam pikiran saya ketika mendengar kutipan perikop dari Injil Yohanes ini? Saya semakin percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Dialah satu-satunya Penyelamat manusia bukan salah satu Penyelamat. Dia adalah kasih yang sesungguhnya bagi kita sebab Ia memberi segalanya. Ia tidak hanya mengajar tetapi melakukannya dalam hidup setiap hari. Yesus melihat bahwa para murid-Nya masih belum menyadari kasih-Nya maka Ia mengajak mereka supaya memandang kepada Allah dengan hati yang suci dan murni. Bapa selalu mengasihi Yesus sebagai Anak.  Yesus mengasihi manusia dengan kasih ilahi dari Bapa. Konsekuensinya adalah kita yang mengikuti Yesus Kristus merasakan kasih dan kebaikan Bapa di dalam diri-Nya. Semua pengalaman kasih ini membuat kita menjadi semakin serupa dengan Tuhan Allah yang adalah sumber kasih sejati, dan dengan demikian kita juga mengalami kasih Allah dan membagikannya kepada sesama. Kita juga mengalami kasih Tuhan Yesus, sebab itu kita harus berusaha untuk tinggal dan mengalami kasih-Nya. 

Tinggal di dalam kasih Tuhan. Rasanya begitu indah, penuh dengan kedamaian, kebaikan dan sukacita. Tinggal dalam kasih Tuhan adalah harapan bagi semua orang. Maka kita harus hidup dengan harapan untuk tinggal dalam kasih-Nya. Kasih-Nya selalu ada, tidak berubah tetapi selalu baru dalam diri manusia. Tinggal di dalam kasih membuat manusia mengalami transformasi yang luar biasa. Kultur kehidupan akan berjaya dan kultur kematian akan menghilang. Kultur kehidupan sangat kaya dengan kasih, kultur kematian penuh dengan kebencian, iri hati yang selalu bersumber pada rasa marah.

Kita perlu memupuk kultur kehidupan bukan kultur kematian. Para teroris di seluruh dunia sangat mencintai kultur kematian bukan kultur kehidupan. Mereka tidak segan-segan membunuh dirinya sendiri dan membunuh orang lain. Bom bunuh diri adalah sebuah model kultur kematian. Orang-orang seperti ini tidak tinggal di dalam kasih Tuhan. Orang yang tinggal di dalam kasih Tuhan menumbuhkan kultur kehidupan. Ini adalah hal yang penting dan harus dilakukan di dalam hidup kita masing-masing.

Saya mengingat Erich From. Dalam bukunya “The art of Loving”, beliau menulis: “Cinta adalah kekuatan aktif yang bersemayam dalam diri manusia; kekuatan yang mengatasi tembok yang memisahkan manusia dengan sesamanya, kekuatan yang menyatukan manusia dengan yang lainnya.” Perkataan yang sederhana tetapi sangat menopang orang yang memiliki hati nurani untuk menubuhkan kultur kehidupan dalam kasih. Kasih akan menghancurkan sekat atau tembok pemisah di antara manusia supaya manusia itu satu dapat bersaudara dan bersahabat.

Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip Nelson Mandela. Ia pernah berkata: “Tak ada orang yang terlahir untuk membenci orang lain karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya. Orang harus belajar untuk membenci. Jika bisa belajar untuk membenci, maka mereka bisa diajar untuk mengasihi karena kasih lebih alamiah bagi hati manusia ketimbang sebaliknya.” Mari kita membangun kultur kehidupan, menghancurkan kultur kematian dengan tinggal di dalam kasih Tuhan.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply