Food For Thought: Seni mentaati

Seni Mentaati

Pada hari ini saya menemukan sebuah pembatas buku, di mana terdapat tulisan ini: “Orang yang taat tidak akan memikirkan dosa orang lain sebab ia sendiri sibuk memikirkan dosanya. Ibarat orang sakit tidak mungkin memikirkan penyakit orang lain, pasti ia akan sibuk memikirkan penyakitnya sendiri.” Saya membacanya selama beberapa kali, sambil menarik nafas dalam-dalam dan merenungkannya. Hasil permenungan tentang ketaatan ini membuka pikiran saya untuk semakin yakin bahwa orang-orang yang taat adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya dengan mendalam. Mereka mengetahui seberapa besar kekurangan dan kelebihannya. Orang-orang yang taat memiliki kemampuan untuk mendengar dengan baik dan karena mendengar dengan baik maka mereka juga mampu mengasihi. Sebab itu saya sepakat untuk mengatakan bahwa orang yang taat itu tidak akan memikirkan atau ikut campur tangan dengan dosa orang lain sebab ia juga tahu dirinya sebagai orang berdosa sehingga ia perlu mengubah dirinya terlebih dahulu. Banyak kali kita memang tergoda untuk lebih sibuk dengan dosa orang lain dari pada dosa kita sendiri.

Kita semua adalah pribadi-pribadi yang sudah mengikrarkan kaul ketaatan. Kaul ketaatan adalah salah satu nasihat Injil Tuhan Yesus Kristus bagi kita. Tuhan Yesus sendiri menunjukkan ketaatan-Nya sebagai Anak Allah kepada kita. Di dalam Kitab Hukum Kanonik dikatakan: “Dengan nasihat Injili ketaatan yang diterima dalam semangat iman dan cinta kasih dalam mengikuti jejak Kristus yang taat sampai mati, mewajibkan untuk tunduk terhadap pemimpin-pemimpin yang sah, selaku wakil Allah, bila mereka memerintahkan sesuatu seturut konstitusi masing-masing.” (KHK, 601). Perkataan ini sangat luhur dan jaminannya adalah kekudusan hidup. Kita perlu hidup sebagai orang yang taat seperti Tuhan Yesus Kristus yang kita ikuti dari dekat. St. Yohanes Paulus II dalam suatu kesempatan beraudiensi dengan para imam, beliau mengatakan: “Ketaatan kadang bisa sangat sukar, khususnya ketika terjadi perbedaan pendapat. Bagaimanapun juga ketaatan  merupakan tindakan fundamental dari Yesus sendiri untuk mengorbankan diri-Nya dan hal itu menghasilkan buah dalam penebusan yang diterima oleh seluruh dunia. Secara serupa, dalam ketaatannya, seorang imam mengambil bagian dalam kehinaan salib dan menyerahkan hidupnya bagi orang lain.” 

Ketaatan sejati hanya dapat kita temukan di dalam diri Yesus Kristus. Kalau kita rajin membaca Kitab Suci maka kita akan menemukan sosok Yesus yang taat sampai tuntas karena kasih-Nya kepada Bapa dan kepada manusia. Penulis surat kepada umat Ibrani berkata: “Karena itu ketika Ia masuk ke dunia, Ia berkata: “Korban dan persembahan tidak Engkau kehendaki, tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku, Kepada korban bakaran dan korban penghapus dosa Engkau tidak berkenan. Lalu Aku berkata: Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku.” (Ibr 10:5-7). Penginjil Yohanes bersaksi: “Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku.” (Yoh 6:38). Penginjil Matius juga bersaksi bahwa Yesus berdoa pada malam menjelang sengsara-Nya: “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat 26:39). Ini adalah beberapa kutipan yang menunjukkan bagaimana Tuhan Yesus menunjukkan ketaatan yang luar biasa di hadapan Bapa dan di hadapan kita sebagai manusia yang lemah.

Santu Paulus memiliki kesaksian tentang ketaatan Yesus yang sangat menakjubkan. Sebuah model ketataan yang harus kita ikuti sepanjang hidup ini. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus menulis himne Kristologis yang menggambarkan jati diri Yesus Kristus bagi kita. Mula-mula Paulus menyadarkan kita supaya belajar menjadi layak di hadapan Yesus. Untuk itu Paulus berharap supaya kita semua sehati sepikir, satu jiwa dan satu tujuan, tanpa mencari kepentingan  sendiri ataukah pujian yang sia-sia. Hal yang terpenting bagi pengikut Kristus adalah hidupnya serupa dengan Yesus Kristus yang rendah hati. Setiap pribadi berusaha untuk memperhatikan kepentingan sesamanya bukan hanya kepentingan pribadinya. Pengikut Kristus yang baik adalah yang mampu menaruh pikiran dan perasaannya dalam Yesus Kristus.

Selanjutnya, Paulus mengarahkan kita semua untuk memandang sosok Yesus dan mengikuti-Nya lebih dekat lagi. Sosok Yesus adalah seperti ini: “Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp 2:6-8). Kata-kata kunci yang mengarahkan perhatian kita kepada Yesus adalah Anak Allah yang berani mengosongkan diri (khenosis), mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia, merendahkan diri, taat sampai mati. Ini juga yang menjadi alasan mengapa Allah sungguh meninggikan Dia menjadi di atas segala-galanya sehingga segala makhluk taat kepada-Nya dan mengakui-Nya sebagai Tuhan.

Sambil kita memandang Yesus yang datang ke dunia karena taat kepada Bapa untuk melakukan segala pekerjaan Bapa dan kembali kepada Bapa karena taat kepada-Nya, St. Paulus mengajak kita semua: “Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat” (Flp 2:12). Kita diajak untuk senantiata taat karena Yesus yang kita ikut juga lebih dahulu taat kepada Bapa. Kita mentaati kehendak dan perintah-perintah Yesus di dalam hidup dan karya kita setiap hari.

Apa yang harus kita lakukan?

Dari sumbangan pemikiran Paulus kepada jemaat di Filipi ini kita dapat mengambil nilai-niliai luhur ketaatan atau boleh dikatakan sebagai seni mentaati ala Yesus:

Pertama, Kita semua mengikrarkan kaul ketaatan untuk mentaati kehendak Allah di dalam hidup setiap hari. Kita berjanji untuk mengikuti Yesus yang taat, miskin dan murni sampai tuntas. Apakah kita secara pribadi menyadari nilai rohani ketaatan kita kepada kehendak Allah dalam diri Yesus Kristus? 

Kedua, kita mengikrarkan kaul ketaatan untuk menjadi semakin serupa dengan Yesus dalam segala hal. Kita berjanji untuk mengikuti-Nya dari dekat maka ketataatan kita memang harus sejalan dengan hidup Yesus sendiri. Dia adalah Anak Allah tetapi tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai hal milik yang dipertahankan. Ia justru merendahkan diri-Nya dalam segala hal. Ketataan yang sempurna dibangun di atas dasar kerendahan hati. Apakah anda rendah hati? 

Ketiga, Kita memandang Tuhan Yesus, Anak Allah yang mengosongkan diri-Nya (berkhenosis), rela menjadi hamba, menjadi sama dengan manusia, merendahkan diri, taat sampai mati di kayu salib. Apakah kita juga berani mengosongkan diri, merendahkan diri dan taat kepada Bapa di Surga. Ketaatan yang sempurna berakar pada cara kita mengosongkan diri di hadirat Tuhan, taat dalam memikul salib sebagai wujud ketaatan kepada Bapa. 

Salib adalah suasana batin kita ketika kita rela berkorban bagi sesama supaya mereka mengalami keselamatan dan kebahagiaan kekal. Setiap pengorbanan sebagai wujud ketaatan kita akan menghasilkan kebahagiaan bagi mereka. Banyak kali kita mengatakan “salib” tetapi pengaruhnya terbatas karena kita tidak menyadari salib itu sendiri. Salib bukan hanya untuk dibanggakan tetapi dilakukan dalam hidup.

Seni mentaati seperti apa?

Yesus menunjukkan sebuah seni mentaati dengan memandang semata-mata Kerajaan Allah, mengusahakan pengembangan Kerajaan Allah sampai ke ujung dunia. Ia tetap menunjukkan seni mentaati dengan mendampingi dan memberkati kita semua. Ia menunjukkan ketaatan-Nya yang tertinggi kepada Bapa maka kita pun sejalan dengan-Nya yakni mengusahakan ketataan dalam hidup setiap hari. Ingatlah, Yesus sebagai Anak Allah saja taat, mengapa kita masih sulit menjadi orang yang taat? Kita masih angkuh, belum cukup menjadi pribadi yang rendah hati. Kita butuh seni untuk mentaati seperti Yesus sendiri.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply