Homili 5 Juli 2018

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XIII
Am 7:10-17
Mzm 19:8.9.10.11
Mat 9:1-8

Belajar berpikiran positif

Pada sore hari ini saya menemukan sebuah tulisan tangan di atas selembar kertas yang sudah usang, bunyinya, “Pemikir positif itu melihat apa yang tak terlihat, merasa tidak berwujud, dan mencapai hal yang tidak mungkin.” Saya kagum dengan tulisan tangan seseorang yang begitu rapi, dan memiliki makna yang sangat mendalam. Saya sepakat dengan perkataan ini bahwa ketika kita berpikir positif maka kita melihat apa yang tidak terlihat. Kita berpikir positif tentang seorang saudara kita maka kita akan melihat apa yang tidak terlihat oleh mata manusiawi kita padanya. Kita akan menggunakan mata Tuhan untuk melihat keberadaan saudara kita. Kita bahkan merasa tidak berwujud dan mencapai hal yang tidak mungkin. Berpikir positif menjadi kekuatan bagi kita untuk hidup lebih manusiawi bersama sesama manusia.

Kita mendengar sebuah kisah Injil yang amat bertentangan dengan semangat untuk belajar berpikir positif. Dikisahkan oleh penginjil Matius bahwa pada waktu itu Tuhan Yesus naik perahu dan menyeberang danau Galilea ke rumah-Nya di Kapernaum. Ketika itu orang membawa kepada-Nya seorang lumpuh yang terbaring di tempat tidurnya. Tuhan Yesus melihat iman orang lumpuh dan sesama yang membawanya kepada-Nya. Iman mereka kuat. Ini adalah pikiran positif Yesus terhadap orang lumpuh dan sesamanya. Orang lumpuh dan sesamanya saat itu mampu melihat apa yang tidak mereka lihat dalam diri Yesus Kristus. Tuhan Yesus melihat iman mereka yang begitu murni. Sebab itu Ia berkata: “Percayalah, anak-Ku, dosamu sudah diampuni.” Buah dari pemikiran positif Yesus adalah mengampuni dosa-dosa si lumpuh ini.

Orang lumpuh tanpa nama dan saudara-saudaranya memiliki iman kepada Yesus. Mereka percaya bahwa Tuhan Yesus pasti akan melakukan yang terbaik bagi teman mereka yang lumpuh. Iman orang lumpuh dan sesamanya kepada Yesus adalah tanda berpikir positif. Tuhan Yesus membalas pikiran positif mereka dengan mengampuni dosa dan salah dari si lumpuh. Pikiran kita terarah pada si lumpuh yang berpikiran positif. Ia mungkin saja lumpuh secara fisik dan secara rohani. Kehadiran Yesus sangat bermakna baginya. Ia berubah dari suasana kelumpuhannya menjadi pribadi yang sehat. Ia memperoleh keselamatan dari Tuhan.

Pikiran positif selalu ditemani oleh pikiran negatif. Tuhan Yesus melakukan kebaikan, namun para ahli Taurat selalu melihatnya negatif. Tuhan Yesus melakukan kebaikan dengan mengasihi orang lumpuh dan menyembuhkannya. Tuhan Yesus melakukan kebaikan dengan mengoreksi cara hidup para ahli Taurat yang selalu melihat negatif dan berpikir negatif kepada sesamanya. Tuhan Yesus bertanya kepada mereka: “Mengapa kalian memikirkan hal-hal yang jahat dalam hatimu?” Ini adalah sebuah pertanyaan yang sederhana namun memiliki kekuatan untuk mengubah hidup manusia menjadi lebih bermakna. Hidup bermakna karena Tuhan selalu menyertai kita.
Tuhan Yesus konsisten dengan pandangan-Nya bagi para ahli Taurat. Mereka sangat munafik ketika berhadapan dengan Tuhan Yesus. Sebab itu Tuhan Yesus mentransformasi hidup mereka dengan membongkar segala kelemahan mereka. Ia menyembuhkan si lumpuh karena melihat imannya. Orang banyak yang melihat itu menjadi takut lalu memuliakan Allah sebab Tuhan Yesus telah memberi kuasa demikian besar kepada manusia.

Apa yang hendak kita pelajari dari kisah Injil ini?

Banyak kali kita selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang terbaik. Kita berjumpa dengan orang-orang yang selalu berpikiran positif seperti Tuhan Yesus, si lumpuh dan sesamanya, dan orang-orang yang menyaksikan mukjizat ini. Kita juga berjumpa dengan para ahli Taurat yang sangat legalistis, dan lupa bahwa yang terpenting adalah kasih dan keadilan. Kasih dan keadilan akan membawa manusia ke jalan yang benar dan bersatu dengan Tuhan. Maka komitmen kita adalah menjauhkan diri kita dari berbagai pikiran negatif dan membangun komitmen untuk selalu berpikiran positif.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply