Homili 17 Agustus 2018

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XIX
Yeh 16:1-15.60.63
MT (Yes) 12:2-3.4abcd,5-6
Mat 19:3-12

Bertahanlah terhadap godaan

Apakah anda sempat digoda, menggoda dan tergoda hari ini? Saya merasa yakin bahwa semua yang membaca tulisan saya ini mengakui sudah sedang mengalaminya hari ini. Sebab selalu ada kesempatan untuk mengalami godaan. Orang mengatakan selalu ada “occasione e tentazione” artinya “kesempatan dan godaan”. Apabila orang waspada maka ia mampu menghindari dan memenangkannya. Namun kalau ada orang yang tidak waspada maka ia selalu berada dalam zona godaan karena kesempatan datang sili berganti. Nasihat bijak yang selalu diungkapkan adalah bertahanlah terhadap godaan.

Tuhan Yesus mengalamai cobaan atau godaan tertentu dan selalu memenangkannya. Kita tentu mengingat saat Ia memulai tampil di depan umum. Ia pergi ke sungai Yordan untuk dibaptis. Selanjutnya Ia penuh dengan Roh Kudus pergi ke padang gurun untuk dicobai oleh iblis. Ketiga jenis cobaan dapat ditaklukan oleh Yesus. Yesus selalu mengalami cobaan sepanjang hidup-Nya. Para lawan-Nya seperti para ahli Taurat, kaum Farisi dan Herodian selalu berusaha dengan jebakan-jebakan tertentu tetapi Yesus selalu mengatasi semua cobaan. Ia bahkan menaklukan godaan terbesar yakni kematian, sebab Ia mengalahkan maut dengan bangkit dari kematian. Yesus mengalami godaan tetapi Ia mampu mengalahkannya sebab Ia selalu bersatu dengan Bapa dalam Roh Kudus.

Para suami dan istri juga mengalami godaan tertentu dalam hidup perkawinannya. Godaan harta kekayaan, godaan penampilan fisik lawan jenis yang terungkap melalui kata-kata manis dan lain sebagainya. Godaan terbesar adalah perceraian. Kita mengingat sebuah kisah dalam Injil Matius (Mat 19:3-12). Pada waktu itu orang-orang Farisi datang untuk mencobai Yesus dengan sebuah pertanyaan yang aneh: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” (Mat 19:3). Pertanyaan ini memang hanya untuk mencobai kebijaksanaan Yesus, namun memiliki implikasi yang luas dalam relasi pria dan wanita yang dipersatukan Tuhan sendiri. Yesus sendiri tidak menikah dan berhadapan dengan pertanyaan yang menggoda. Itulah godaan manusia kepada Tuhannya.

Reaksi Yesus sangat jelas. Ia tidak mengatakan Ya atau Tidak. Ia mencoba memfokuskan pikiran mereka pada tindakan Allah untuk menyatukan pria dan wanita dalam kasih. Sebab itu Ia berkata: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak dari semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikian mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.” (Mat 19: 4-6). Perkataan Yesus ini bukan tanpa dasar. Yesus tahu bahwa pria dan wanita selalu memiliki kesempatan untuk mengalami cobaan atau godaan apapun dalam hidup perkawinannya. Maka Yesus mengingatkan mereka akan semua yang sudah dikatakan dalam Kitab Perjanjian Lama tentang relasi kasih antara pria dan wanita. Bahwa godaan yang muncul itu dapatlah menjadi kesempatan untuk menguatkan relasi bukan untuk menghancurkan relasi kasih manusia dalam perkawinan.

Kaum Farisi melanjutkan pertanyaan untuk mencobai Yesus: “Jika benar pendapat Yesus kepada mereka, mengapa Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” (Mat 19:7) Lihatlah betapa keras hati manusia. Di dalam budaya patriarkal, hanya kelihatan kaum pria yang bereaksi. Sebenarnya kaum wanita juga memiliki reaksi yang sama terhadap pasangannya dan juga kepada Tuhan. Yesus dengan tegas mengatakan: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula bukanlah demikian. Ingatlah, Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Mat 19:8-9). Yesus melihat titik kelemahan dalam godaan hidup perkawinan yaitu ketegaran hati manusia. Hati manusia keras, tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Hal yang sama terjadi dalam hidup perkawinan. Ketika cinta hanya sebatas cashing atau tampilan fisik semata maka pada saat-saat tertentu selalu ada godaan yang menghancurkan sebuah relasi kasih.

Kaum Farisi merasa terjepit maka mereka berpikir untuk menghindar dari diskusi ini bersama Yesus. Mereka berkata: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.”Ini memang jalan pintas untuk mengalihkan pembicaraan mereka tentang relasi kasih dalam keluarga. Yesus mengerti maksud mereka, sebab itu Ia berkata: “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” (Mat 19:11-12).

Kisah Injil ini menarik untuk kita simak hari ini sebab salah satu tantangan sepanjang masa bagi keluarga-keluarga Kristiani adalah sejauh mana pribadi-pribadi yang menikah tetap setia satu sama lain hingga maut memisahkan mereka. Cobaan atau godaan akan tetap ada selagi manusia masih bernapas. Kalau saja setiap pasangan hidup bertahan dan berusaha untuk mengatasi godaan dalam hidup keluarga maka tentu saja keluarga kristiani akan mengubah dunia hunian kita ini menjadi lebih baik.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip Thomas A. Kempis. Dalam bukunya De Imitatione Christi, beliau menulis: “Pangkal segala kejahatan di dalam godaan itu terletak pada ketidaktenteraman batin kita dan kurangnya kepercayaan kita akan Tuhan.” (XIII:5). Bathin tidak tenteram sebab kita belum mampu mengendalikan panca indera, keinginan-keinginan manusiawi yang selalu hadir dalam hidup kita. Mari kita belajar dari Yesus untuk mengendalikan hidup kita di hadirat Tuhan dan sesama.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply