Food For Thought: Emang kamu tuli?

Apakah kamu tuli?

Pada sore hari ini saya diundang untuk merayakan misa perutusan bagi PDKK sebuah Paroki di di Dili. Mereka mengadakan SHBDR (Seminar Hidup Baru Dalam Roh) selama tiga hari dari hari Jumat hingga Minggu sore ini. Dalam perjalanan menuju ke kapel untuk merayakan misa perutusan ini, saya singgah di sebuah kios untuk membeli air minum. Saya memanggil penjaga kios tetapi ia tidak menjawab. Maka datanglah seorang pemuda, dengan nada setengah berteriak ia berkata kepada penjaga kios: “Hey bro, apakah kamu tuli ya? Atau kamu sudah mulai buta? Romo ini memanggilmu beberapa kali tetapi kamu tidak menyahut.” Penjaga kios itu meminta maaf karena tidak sempat mendengar. Ternyata ia sedang menggunakan earphone, sambil bermain game dengan volume yang tinggi. Saya melanjutkan perjalanan ke gereja dengan perasaan tidak enak sebab pemuda tadi meneriaki penjaga kios.

Pengalaman ini sangat mendidikku juga. Saya berjanji untuk memiliki kepeduliaan kepada siapa saja yang ada di sekitarku. Saya berusaha untuk mendengar dan berbicara kepada siapa saja yang ada di hadapan saya. Saya harus bijaksana dalam menggunakan gadget dan berusaha supaya gadget itu jangan menghalangi relasi saya dengan sesama. Kontak mata dengan sesama jauh lebih bermakna dari pada kontak ke layar handphone. Saya harus berbicara baik-baik kepada orang lain, bukan dengan berteriak atau menghina mereka. Ini adalah bagian dari persiapan bathinku sebelum merayakan misa perutusan tadi.

Apa yang menjadi permenungan saya malam ini tentu memampukan saya untuk menjawabi pertanyaan: Apakah kamu tuli? Apakah kamu sudah mulai buta? Banyak kali saya juga mengucapkan pertanyaan yang sama kepada orang-orang lain. Saya beranggapan bahwa orang lain itu sudah tuli dan buta. Mungkin anda, saya dan kita lupa bahwa pertanyaan yang sama adalah pertanyaan bagi kita. Kita memiliki mata tetapi tidak melihat, memiliki telinga tetapi tidak mendengar. Hal yang terjadi adalah menjadi buta dan tuli terhadap penderitaan sesama. Lebih parah lagi ketika kita tertawa di atas penderitaan orang lain. Rupanya nurani kita sudah tumpul!

Paus Fransiskus dalam pesan Angelus mengatakan: “Janganlah kamu menjadi tuli dan diam terhadap penderitaan sesamamu”. Paus selalu menggunakan kata-kata sederhana untuk membuka wawasan kita supaya berempati dengan sesama yang menderita sengsara. Memang banyak kali kita tidak memiliki rasa empati, tidak mampu berbagi dengan sesama. Kita menjadi tuli dan diam tanpa tergerak hati oleh belas kasih kepada sesama manusia. Maka apakah kamu masih tuli sekarang? Apakah kamu masih buta? Bangunlah rasa empati, semangat berbagi kepada sesama. Prinsip kita: Saya bukanlah orang tuli. Saya bukanlah orang buta. Saya bukanlah orang bisu. Saya akan berempati dengan sesamaku.

Damai Tuhan,

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply