Homili Hari Minggu Bisa ke-XXVI/B – 2018

Hari Minggu Biasa XXVI/B
Bil. 11:25-29
Mzm. 19:8,10,12-13,14
Yak. 5:1-6
Mrk. 9:38-43,45,47-48.

Merawat Kemajemukan

Kita memasuki hari Minggu Biasa ke-XXVI/B, hari terakhir dalam bulan Kitab Suci nasional, bertepatan dengan peringatan St. Hironimus. Tema bulan Kitab Suci nasional tahun 2018 ini adalah Mewartakan Khabar Sukacita Dalam Kemajemukan. Tema umum ini lalu dijabarkan sesuai dengan situasi konkret pada setiap keuskupan. Ada hal yang menarik perhatian kita semua yakni bagaimana nilai-nilai Injil atau Khabar Sukacita memiliki daya transformatif di dalam sebuah dunia yang majemuk. Kita semua mengakui bahwa ada banyak perbedaan di antara setiap pribadi namun individu tetaplah yang mutlak. Setiap individu itu unik dan memiliki hak asasi yang harus dihormati, meskipun dia berbeda dengan kita. Semangat Bhineka Tunggal Ika menjadi pedoman untuk menerapkan secara nyata nilai-nilai Injil atau menerapkan kehidupan Yesus Kristus dalam kemajemukan. St. Hironimus berkata: “Ignorantia Scripturae, ignorantia Christi” (Tidak mengenal Kitab Suci sama saja dengan tidak mengenal Kristus). Orang yang mengenal Kitab Suci pasti mengenal Kristus dan mencintai keberagaman.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mencintai keberagaman. Para bapak pendiri negara memiliki sebuah cita-cita yang luhur yakni merawat persatuan dalam kemajemukan. Ada begitu banyak pulaunya, suku, bangsa, agama dan ras tetapi semuanya bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Maka tidak ada claim sebagai status quo di negeri ini. Hanya orang yang tidak bernurani dan buta sejarah yang memperlakukan sesamanya sebagai pendatang. Tetapi orang yang mengerti sejarah nusantara akan terbuka untuk menerima semua orang apa adanya. Ada semangat keberpihakan sebagai saudara sebangsa dan setanah air, meskipun semuanya hidup dalam kemajemukan. St. Paulus sangat tepat dalam perkataannya ini: “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” (Rm 12:10). Hanya dengan kasih maka kita dapat bersaudara dalam perbedaan. Raja Daud pernah berharap dalam doanya: “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mzm 133:1).

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini mengantar kita untuk memahami betapa indahnya sebuah keberpihakan dalam kemajemukan hidup bersama. Dikisahkan dalam Kitab Bilangan bahwa Tuhan Allah pernah turun dalam awan dan berbicara dengan Musa yang saat itu masih bersama-sama dengan umat Israel di padang gurun. Tuhan mengambil sebagian Roh-Nya dari Musa dan ditaruh-Nya di atas tujuh puluh tua-tua Israel. Pada saat itu juga ketujuhpuluh tua-tua Israel penuh dan Roh dan mereka menjadi seperti nabi, tetapi itu hanya terjadi sebentar saja. Eldad dan Medad adalah dua orang yang namanya ikut dicatat tetapi tidak sempat hadir dalam oencurahan Roh Allah. Namun demikian Roh Allah juga turun atas mereka berdua di tempat perkemahan. Melihat peristiwa ini, seorang muda berlari mendapatkan Musa dan mengatakan bahwa Eldad dan Medad juga penuh dengan Roh Kudus, padahal mereka tidak ikut bersama tua-tua yang lain.

Apa reaksi yang terjadi terhadap Eldad dan Medad? Adalah Yosua bin Nun. Ia mengabdi bagi Musa sejak masa mudanya. Ia memohon kepada Musa untuk mencegah Eldad dan Medad yang penuh dengan Roh Kudus. Musa dengan tegas berkata: “Apakah engkau begitu giat mendukung diriku? Ah, kalau seluruh umat Tuhan menjadi nabi, oleh karena Tuhan memberi Roh-Nya hinggap kepada mereka!” (Bil 11:29). Musa menunjukkan kepemimpinannya dengan berpihak pada kemajemukan. Ia tidak hanya memikirkan tujuh puluh tua-tua Israel yang sudah menerima urapan Roh Kudus, tetapi bahwa Eldad dan Medad ikut mendapatkan Roh Allah, sepenuhnya adalah urusan Tuhan Allah bukan urusan manusia. Roh kenabian adalah bukti Tuhan memberikan Roh kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Artinya dalam kemajemukan sebagai sebuah bangsa yang sedang berjalan di padang gurun, bangsa Israel diharapkan untuk hidup bersama sebagai saudara. Tuhan sendiri mencintai kemajemukan umat-Nya, mengapa ada orang yang tidak mencintai kemajemukan? Seharusnya kita juga terbuka pada gerakan-gerakan Roh Allah dalam kemajemukan hidup kita.

Pengalaman bangsa Israel di padang gurun kembali terulang dalam komunitas Yesus. Penginjil Markus menceritakan bahwa Yohanes sebagai murid yang dikasihi-Nya datang dan berkata: “Guru, kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” (Mrk 9:38). Kita melihat sosok Yosua yang mengabdi Musa sejak masa mudanya, berekasi seperti Yohanes sebagai murid yang dikasihi Yesus. Reaksi Yesus sangat mirip dengan reaksi Musa dalam bacaan pertama. Ia berkata: “Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” (Mrk 9:39-40). Mata kita dibuka oleh Yesus untuk dapat hidup berdampingan sebagai saudara tanpa harus melihat perbedaan-perbedaan kita. Tuhan Yesus sebagai Musa baru mengajar kita untuk selalu berpihak dalam kemajemukan kita.

Bagaimana merawat kemajemukan kita saat ini?

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memberikan contoh-contoh praktis bagaimana kita dapat menunjukan nilai-nilai Injil dalam kemajemukan hidup kita. Misalnya, “Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya.” (Mrk 9:41). Kemajemukan semacam ini indah dan perlu dipelihara. Air secangkir dapat menyelamatkan dahaga saudari dan saudara kita yang mungkin saja berbeda dengan kita, tidak hanya dengan mereka yang sama suku, agama dan rasnya sama dengan kita. Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk menjaga diri kita supaya tidak tercemar dalam kehidupan bersama yang majemuk ini. Kita tidak boleh menjadi batu sandungan bagi anak-anak kecil dan tak berdaya. Menghargai martabat hidup mereka yang tak berdaya adalah perjuangan Yesus yang sekarang ini menjadi perjuangan Gereja.

St. Yakobus dalam bacaan kedua memanggil kita untuk merawat kemajemukan dengan memiliki sikap lepas bebas terhadap harta kekayaan. Orang yang melekat pada harta kekayaannya pasti tidak akan berempati dengan sesama yang lain. Semua harta sebenarnya memiliki nilai sosial ketika kita membuka mata terhadap orang yang miskin dan menderita. Semua harta yang kita miliki hanya sifatnya sementara, bisa membusuk dan karatan. Perkataan Yakobus ini membantu kita untuk semakin mengerti perkataan Yesus dalam Injil: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” (Mat 6:19-20).

Marilah kita merawat kemajemukan dengan mengutamakan nilai-nilai Injili kepada semua orang. Kita memerangi berita-berita hoax dalam berbagai media sosial dengan berkata benar. Apa untungnya anda menyebarkan berita hoax yang merugika pribadi atau kelompok tertentu? Mari kita mengontrol diri dari kebiasaan hidup yang materialis, hedonis sehingga melupakan sesama yang menderita. Mari kita menghargai anak-anak atau pribadi yang tidak berdaya. Banyak anak yang dieksploitasi, masalah pedofilia dan lainnya yang serupa dengan kebusukan-kebusukan di dalam Gereja masa kini. Mari kita berpikir yang positif terhadap sesama kita. Kita berbeda tetapi sebagai manusia kita adalah saudara. Rawatlah kemajemukan sebagai hal yang indah dalam kebersamaan.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply