Food For Thought: Merenungkan Kasih dan Kemurahan Tuhan

Merenungkan kasih dan kemurahan Tuhan

Ada seorang pemuda yang mengaku pernah hidup dalam kegelapan. Pada saat itu ia berpikir sedang berada di zona nyaman. Setiap perbuatan salah dan dosa rasanya biasa-biasa saja. Namun pada suatu kesempatan ia menemukan sebuah catatan harian sahabatnya tentang kasih dan kemurahan hati Tuhan. Sahabatnya menulis: “Setiap kali aku menarik nafas aku hanya boleh berkata ‘Terima kasih’ Tuhan sebab Engkau mengasihiku apa adanya. Setiap kali aku melihat seluruh ciptaan-Mu, aku hanya berkata, ‘Terima kasih’ Tuhan karena Engkau menyediakan semuanya itu bagiku. Engkau memang sungguh baik bagiku, Tuhan.” Kalimat-kalimat ini mungkin merupakan sebuah doa harian yang selalu dipanjatkannya kepada Tuhan. Kalimat-kalimat ini juga yang mengubah seluruh hidupnya. Ia keluar dari zona kegelapan menuju zona yang terang benderang. Ia menjadi anak terang!

Pengakuan pribadi seorang pemuda ini membuat saya turut merenung. Banyak kali kita berhenti pada zona di mana kita merasa nyaman, meskipun sebenarnya zona itu tidak sehat, tidak elok bagi hidup pribadi kita. Misalnya banyak orang yang hidup dalam zona para pencuri, para koruptor, para pembuat hoax maka ia akan merasa biasa-biasa saja. Ketika ia keluar dari zona itu maka ia akan merasa malu dan berusaha untuk tidak memasuki zona gelap lagi. Ada kalanya kesadaran akan kasih dan kemurahan Tuhan, juga kebajikan sesama datang terlambat.

St. Paulus sangat tepat menggambarkan pribadi kita di hadapan Tuhan dan sesama. Banyak orang kesulitan untuk membuka dirinya supaya dipimpin oleh Roh Kudus. Akibatnya ia hidup dalam kedagingan yang tentu saja sangat menjauhkannya dari kasih karunia Tuhan. Ia akan merasa nyaman dalam zona ini: “Percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.” (Gal 5:19-21). Daftar ‘kedagingan’ ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kecenderungan untuk melakukannya dalam hidup. Inilah yang dikatakan St. Thomas Aquinas sebagai concupiscentia. Concupiscentia adalah suatu hasrat atau nafsu yang biasanya dihubungkan dengan sensual, atau hasrat seksual atau “hawa nafsu”. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa konkupisensi adalah suatu kecenderungan untuk berbuat dosa; kecondongan jahat ini juga dikiaskan sebagai fomes peccati (pemicu dosa).

Apa yang harus kita lakukan? Setiap pribadi harus berusaha supaya membuka diri supaya dapat dipimpin oleh Roh Kudus. Hanya dengan demikian ia akan menghasilkan buah-buah Roh Kudus yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5:22-23). Orang yang hidupnya dipimpin oleh Roh Kudus maka ia mampu mengasihi, dapat bersukacita, sabar, murah hati dan lain sebagainya. Buah-buah Roh ini akan memampukan kita supaya menjadi pribadi yang serupa dengan Tuhan dalam hal kasih dan kemurahan hati.

Saya senang untuk mengutip sebuah perkataan Paus Fransiskus berikut ini: “Apabila anda ingin menggapai hati Tuhan maka ambilah jalan belas kasih, dan biarkanlah dirimu diperlakukan pula dalam belas kasih.” Belas kasih Tuhan selalu kita alami ketika menyadari diri sebagai orang berdosa dan berani memohon belas kasih Tuhan.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply